Langsung ke konten utama

Waktu Bersamamu



Ilustrasi Copyright : Evan S.
Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan.

Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Kalau diingat, sangat menyakitkan.

Mas Bayu, kamu apa kabar? Tanpa kuasa aku bergumang sendiri di ruang tunggu bandara.

Ku lirik jam tanganku, waktu boarding masih 10 menit lagi. Ku putuskan untuk mengabari Oma kalau sebentar lagi aku akan terbang ke Surabaya. Aku juga membalas pesan Mama yang menanyakan apakah aku sudah boarding. Pada waktu yang bersamaan, Kak Tania mengabarkan bahwa ia bersiap menuju Melbourne Airport menuju Jakarta. Kakakku itu sudah 2 tahun tak pulang waktu natal. Dan tahun ini ingin merayakan natal bersama keluarga. Ia dapat cuti panjang.

Informasi boarding pesawat sudah diumumkan. Aku sekarang ikut antrian masuk bersama penumpang lainnya. Ku ambil koran yang ditata di rak pintu masuk pesawat. Headline berita hari ini adalah kegiatan Reuni 212 yang digelar di Monumen Nasional. Aku tertarik membaca berbagai pandangan tokoh mengenai kegiatan tersebut. Kalau masih ada Mas Bayu, maka aku bisa meminta tanggapannya mengenai kegiatan tersebut. Ah, kenapa pikiranku kembali teringat mas Bayu.

Nomor kursi yang ku duduki telah siap ditempati. Aku sengaja memilih tempat duduk dekat jendela, supaya bebas memandang luasnya angkasa. Di waktu yang bersamaan peringatan penerbangan dibunyikan, ingatanku kembali ke peristiwa lima tahun silam.

*****

22 Maret 2014

“Calv.. kamu tega ya. Bayu itu baru balik dari Bandung loh!” Kak Tania menatapku tajam.

Mama dan Papa pun menatapku kesal. Semua orang tak ada yang mendukungku. Benarkah aku kekanak-kanakan? Ku lirik Mas Bayu yang duduk di sofa. Dia memang tampak kelelahan. Aku jadi menyesali sesuatu.

“Mas Bayu kayaknya kelelahan ya?” aku berucap ragu.

Dia membuka matanya. Raut wajahnya dibuat penuh semangat. Aku tahu dia lelah, tapi…

“Kakakmu itu hanya khawtair sama aku Calv. Tenang saja, aku masih siap kok nganter kamu ke mana saja,” ucapnya meyakinkan.

“Yakin?” aku senang mendengar jawabannya.

“Ayok buruan. Tuh Mama sama Papa sudah siap makan kamu..” godanya usil yang membuat kami sekeluarga tertawa.

Semangatnya tinggi, tapi badannya rapuh. Bagaimana pun usahanya buat aku senang, nganterin aku Futsal, beli sepatu, dan makan es krim, Besoknya aku jadi sasaran kemarahan Kak Tania karena Mas Bayu sakit.

17 Agustus 2014

Mataku terbuka. Tubuhku susah digerakkan. Rasanya sakit semua. Tampaknya aku sudah lama sekali pingsan. Tak ada satu pun orang yang lihat. Ketika aku menggerakkan tangan, aku menyentuh kepala seseorang. Ketika aku berusaha bangun untuk melihat siapa sosok itu, ternyata Mas Bayu.
Ku lihat tidurnya sangat nyenyak, tapi aku kasian dia tidur duduk di kursi dan bertumpuan di tempat tidurku. Untuk membangunkannya, ku usap rambutnya yang ikal pelan-pelan. Sejak kapan Mas Bayu ada di sini? Batinku dengan perasaan bahagia sekaligus tidak enak hati telah merepotkan.
Lama ku usap, dia tak kunjung sadar. Hingga aku tak sengaja menyentuk telinganya. Dia terhenyak kaget. Kepalanya langsung tegak.

“Eh, kamu sudah siuman Calv?” Ucap Mas Bayu sambil merapikan rambutnya.

“Sejak kapan mas?” tanyaku.

Belum sempat terjawab, pintu ruangan terbuka. Muncul Kak Tania dan Mama membawa makanan.
“Wah, doamu terkabul ya Bay.” Mama berkomentar.

Aku menatap Mas Bayu meminta penjelasan. Namun malah Kak Tania yang jawab.

“Bayu itu sudah tiga hari di sini, nunggu kamu. Dia gak mau disuruh pulang, katanya sebelum lihat kamu siuman, dia gak bakal pergi. Kasian tuh demi kamu dia bolos kuliah kan,” ucapnya.

Mendengar jawaban Kak Tania, aku jadi merasa bersalah.

“Jangan dengerin ucapan kakakmu Calv. Itu berlebihan. Tenang kok, bolosnya gak sebanyak itu. Hanya sehari, karena dua harinya memang gak ada dosen,” jelas Mas Bayu.

Selalu begitu. Mas Bayu tak mau aku kepikiran. Tapi ucapan Kak Tania menjadi bukti bahwa aku semakin takut kehilangan dia. Bagaimana pun aku sadar, Mas Bayu berbeda dengan keluarga kami.

25 Desember 2014

Aku sedih. Kata Kak Tania, Mas Bayu tidak bisa datang ke rumah untuk merayakan natal bersama keluarga kami. Dia memilih pulang kampung ke Surabaya. Berkali-kali Mama dan Papa mengetuk pintu kamar, aku tak bergeming. Aku malas keluar kamar kalau tak ada Mas Bayu. Namun ketukan pintu terus menerus berbunyi, tak ada lagi suara Mama atau Kak Tania. Ku diamkan saja ketukannya semakin keras. Akhirnya aku kesal juga dengan ketukan itu.

“Sudahlah Ma. Biarin aku….” Suaraku tercekat.

Ternyata di depan mataku bukan Mama atau Kak Tania, melainkan Mas Bayu. Aku segera memeluknya. Tangisku pecah.

Tega sekali keluargaku memberi kejutan ini. Mas Bayu malah ikutan mengejek.
Ia lalu mengeluarkan sebuah benda dari sakunya. Ternyata sebuah gantungan kunci berbentuk logo kampus UGM.

“Janji sama Mas Bayu. Pada Natal ini, kamu bilang ke Tuhan bahwa nanti lulus SMA, akan masuk UGM. Ayoo!!” ucapnya.

Aku semakin tak kuasa menahan tangisku. Ucapan Mas Bayu telah memotivasiku untuk bisa diterima di kampus ternama itu. Aku semakin mengeratkan pelukanku di badannya. Namun tak lama terdengar suara Adzan. Aku menatapnya paham.

“Salatnya di kamarku saja ya mas. Ada sajadahnya kok,” ucapku dibalas anggukan.

Desember itu ternyata menjadi momen terakhirku mendapatkan perhatiannya.

11 Januari 2015

Usai melaksanakan ibadah minggu, Kak Tania pergi berdua dengan Mas Bayu. Aku ingin ikut bareng mereka, tapi kali ini Mama dan Papa sangat tegas melarangku. Entahlah sepertinya sudah ada firasat bahwa aku tak akan bertemu dengannya lagi.

Ternyata benar saja, Kak Tania pulang sendiri. Ku lihat wajahnya abis nangis. Mama dan Papa segera menghampirinya.

Duaaaar…. Bagaikan disambar petir. Hatiku benar-benar hancur mendengar bahwa Kak Tania dan Mas Bayu memutuskan untuk berpisah. Bukan karena mereka sudah tak saling sayang. Melainkan perbedaan keyakinan di antara mereka yang membuat hubungan itu tak ada masa depan. Lalu untuk apa mereka memutuskan bersatu selama ini kalau hanya untuk pergi?

Pasca mendengar kabar itu, hari-hariku buruk. Nilai semesterku merosot hingga Mama ku khawatir aku tidak lulus sekolah.

*****

Waktu berlalu lima tahun penuh perjuangan. Lamunanku tersadarkan ketika pramugari menawarkan makanan dan minuman untukku.

Usai makan, aku kembali mengingat semuanya. Ternyata Mas Bayu memang sangat berarti buatku. Dia layak untuk tetap diingat dan dikenang walau tanpa kabar lagi. Seandainya dia ada di depanku sekarang, maka inilah yang akan ku katakan:

Entahlah Mas, semenjak kamu pergi tanpa pamitan, semua kebiasaan yang melibatkanmu tak lagi aku lakukan. Enggak mudah mas, menghapus begitu saja apa yang sudah pernah kita lewati, perhatian yang kamu berikan, dan canda tawa yang kerap kamu tampilkan, masih terasa segar di ingatan. Apakah kamu berfikiran yang sama Mas?

Mbak Tania, tanggal 23 Desember nanti tunangan, dia juga memenuhi janjinya untuk menikah bersama orang yang rajin ibadah, dia aktif di Gereja Bagaimana denganmu mas? Apakah kamu sendiri sudah menikah? Atau jangan-jangan malah kamu sudah punya anak, yang aku bayangkan, anakmu akan segokil kamu Mas.

Lima tahun ternyata tidak merubah semuanya Mas. Aku, Mama, Papa, bahkan Kak Tania sendiri, aku menyaksikan masih suka salah menyebut calon suaminya dengan namamu. Untung saja Mas Andi tidak pernah mempermasalahkan tabiat itu, dia sangat menyayangi Kak Tania. Sama seperti kamu dulu hadir untuk membuat keluarga ini serasa hidup mas.

Kamu tahu Mas, sajadah yang sengaja Mama belikan untukmu supaya tidak kesulitan ketika ingin Salat, masih tersimpan di lemariku. Bahkan sesekali barang itu aku peluk ketika merindukanmu, Mas. Melihat barang itu, bahkan aku sering melihat gerakan yang tak pernah aku mengerti, tapi aku melihat ketaatanmu pada-Nya, Mas.

Mas, sebelum kamu hadir di keluarga kami, aku takut berteman dengan orang-orang yang seiman denganmu. Bahkan beberapa kali aku mengalami tindakan yang tidak patut hanya karena aku seorang Kristen. Lalu kamu hadir merubah segalanya, Mas. Islam tampil dengan Kasih, sama seperti apa yang diajarkan Tuhan Yesus pada kami. Hal yang tak pernah aku lupakan, setiap minggu kamu datang mengedor pintu kamarku, tak segan membopongku ke kamar mandi, supaya tidak telat untuk ibadah Minggu.

Kamu masih ingat, Mas?

Mama, Papa, dan Kak Tania memarahiku gara-gara memintamu mengantarkanku beli sepatu Futsal di Mall Taman Anggrek. Padahal waktu itu baru saja kamu pulang dari Bandung. Aku merengek tidak peduli, dan kamu berhasil meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja. Namun ketika kamu tertidur di mobil, baru aku sadar bahwa kamu sangat kelelahan, Mas. Demi aku, kamu melakukan semuanya.

Kamu tahu Mas, Kak Tania sering cemburu sama adiknya ini gara-gara kamu lebih perhatian ke aku dibandingkan ke dia. Bahkan intensitas pertemuanmu denganku bisa dibilang lebih banyak. Aku tak bisa menghitung, berapa kali kamu menjemputku sekolah di SMAK 1 BPK Penabur. Terkadang, kamu menjemput aku lebih dulu sebelum ke arah Semanggi menjemput Kak Tania selesai kuliah.

Tapi kenapa kamu pergi meninggalkan aku, Mas?

Kak Tania bilang, kamu tidak sanggup melihat wajah sedihku ketika berpamitan. Mas, kamu pikir dengan kamu pergi tanpa bisa aku ngasih tahu kamu betapa berartinya kamu buatku, aku akan bahagia?

Kamu salah, Mas. Setelah lima tahun, aku baru bisa menuliskan betapa aku sangat kehilangan kamu. Butuh waktu dan hati yang lapang untuk bilang, aku kangen kamu. Selebihnya, rasa kecewa, marah, dan benci masih menggunung atas kepergianmu. Kamu telah mengingkari janjimu untuk selalu menjagaku.

Kenapa kamu hadir hanya untuk meninggalkanku, Mas? Kenapa?

Sejak awal kamu kenal Kak Tania dan masuk ke dalam keluarga kami, seharusnya aku sudah menjaga diri untuk tidak tenggelam dalam perasaan senyaman ini denganmu, Mas. Seharusnya aku tidak boleh terlalu berharap bahwa kamu akan menjadi Kakak Iparku. Kamu dan Kak Tania, tidak seperti pasangan pada umumnya. Tapi, aku seperti ada harapan ketika kamu mau belajar tentang agama kami, Kak Tania belajar tentang agamamu. Ada sebuah asa bahwa kelak kalian akan berada di altar suci pernikahan yang entah dengan cara kami atau dengan caramu, sungguh aku menghormati keputusan hidup kalian, bahkan Mama dan Papa pun sepakat akan hal itu.

Siapa yang mengira bahwa ternyata keputusan terakhir justru membuat kalian benar-benar tak akan pernah bersatu dalam ikatan pernikahan. Kak Tania pun kini akan segera menikah dan itu semakin memudarkan harapanku bahwa cinta kalian akan bersatu kembali.

Mas, di mana pun kamu berada. Semoga Tuhan selalu memberkatimu. Dalam doa yang Khitmad ini, aku berharap ada mukjizat yang membuatmu membaca tulisan ini. Besar harapan Kado Natalku tahun ini adalah kamu datang ke Yogya. Kenapa ke Yogya? Seperti yang pernah aku sampaikan ke kamu, Mas. Aku berhasil masuk UGM, atas usahaku membujuk Mama dan Papa supaya mengizinkanku kuliah di tempat itu. Kalau kamu masih ingat jurusan apa yang aku inginkan, Puji Tuhan aku diterima.

Sekarang, yang terpenting bukan lagi kamu bersatu sama Kak Tania. Toh dia akhirnya bisa memilih lelaki yang sebenarnya sesuai harapanmu, Pemuda Gereja. Keluarga kami, khususnya aku berharap kamu bisa berdamai dengan masa lalu mu, Mas. Menerima kami yang pernah menjadi bagian dari hidupmu, lalu kamu menyapa kami dengan hati yang damai. Sama seperti kami yang sudah damai menerimamu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keluarga ini.

Aku percaya, kamu masih menjalankan ajaran agama yang inklusif. Kamu masih Mas-ku yang menghargai perbedaan, menjaga kerukunan umat beragama, dan menebarkan pesan kemanusiaan. Kamu tidak sendirian Mas, banyak di luar sana yang sependapat denganmu.

Aku tunggu di Yogya ya, Mas. Salam Kangen Dari Adikmu. Calvin..

Informasi pesawat segera landing telah menyelesaikan lamunanku. Ku tutup koran yang tadi sempat ku baca. Aku membesarkan hati untuk keluar pesawat. Aku tak boleh larut dengan masa lalu. Oma katanya ikut menjemputku di Bandara Djuanda.

Sampai di pintu keluar, aku terpaku berjarak satu meter dengan orang yang ku kenali. Tidak hanya ada Mas Parjo, supirnya Oma. Ah dia….

Mas Bayu……?


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b