Langsung ke konten utama

Memeluk Dua Jiwa (Part 3)

Wawancara berlangsung dengan lancar. Beberapa poin yang menjadi fokus berita telah Fandy dapatkan. Ia mendapat pujian dari redakturnya karena wawancara eksklusif berjalan sempurna. Siangnya ia langsung meliput peristiwa lainnya. setidaknya ada tiga agenda besar yang dibebankan ke dirinya. Pertemuan dengan Elang, baru sempat ia renungkan setelah kembali ke kosan. Sebenarnya, tidak banyak hal yang membuat dirinya berkesempatan untuk ngobrol. Lebih tepatnya, Fandy berusaha menghindari obrolan empat mata dengan Elang. Tapi ada perasaan yang sulit terjelaskan sampai detik ini ketika ia berbaring di tempat tidur. “Kenapa ada perasaan rindu?” Itulah yang terbesik sedikit atas pertemuan tadi. Benar, ia sangat marah dan kecewa atas kejadian di masa lalu. Namun, mengabaikan bahwa Elang pernah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya adalah hal yang tak mungkin. Masa remajanya banyak diisi bersama Elang. Tentunya, satu kesalahan tak akan bisa menghapus banyak hal baik yang sudah mereka lakukan bersama. Lamunan yang tak berkesudahan, membuat Fandy tak menyadari bahwa sejak tadi ponselnya berdering. Sebuah nomor yang tak dikenal berkali-kali menghubunginya. Kalau saja Fandy menyempatkan diri memegang ponselnya, ia akan tahu bahwa seseorang sedang ingin bicara dengannya. Dia adalah Elang. Lelaki itu tak putus asa menghubungi Fandy. Tiga panggilan tak terjawab, ia sudah mulai cemas. Ia beradu dengan pikiran buruk. “Mas, kamu sejak tadi mondar-mandir kenapa dah?” Radit, sepupunya yang baru saja sehari datang dari Surabaya heran dengan kelakuan Elang. “Ah enggak!” Elang tak menghiraukan Radit. “Makan dulu lah mas! Ini keburu dingin. Hargailah masakanku.” Radit mengingatkan. Elang kali ini menyadari bahwa di meja makan sudah tersedia masakan yang ia sukai. “Hehe.. iyaa. Ayo makan!” Elang segera duduk dan mengambil nasi. “Kamu kayak orang lagi jatuh cinta mas,” selidik Radit. “Jangan ngobrol. Ini di meja makan!” gertak Elang. “Aku ikut senang lah kalau memang begitu. Kan lama banget kamu jomblo sejak musuhan sama Fandy,” ucap Radit yang tampaknya salah bicara. Karena usai dia berbicara begitu, Elang langsung menghentikan aktivitasnya. Menyadari kesalahannya, Radit langsung minta maaf. Sayangnya, Elang sudah tak lagi selera makan. Padahal baru beberapa sendok ia telan. Ia segera ke kamar dan menguncinya, supaya Radit tak bisa masuk. Rasa bersalah Radit pun jadi bertambah. Ia lupa bahwa obrolan tentang Fandy adalah hal yang sangat sensitif. Radit sedikit banyak mengetahui tentang masa lalu antara Elang dan Randy. Ia pikir kejadian itu sudah dilupakan begitu saja. Tak mau ikutan pusing, ia menyibukkan diri dengan main game. Ia tahu, tidak ada gunanya menemui Elang. Sebaiknya menunggu momen yang lebih baik, ketika Elang sudah bisa tersenyum lagi. Keputusan Radit sudah tepat. Elang tak putus asa untuk menghubungi Fandy. Namun belum juga diangkat. Ia begitu kalut. Sebentar, dia mulai menyadari sesuatu. “Kenapa aku malah ingin ngobrol?” Elang beradu pikiran dengan dirinya sendiri. Hal yang tidak diketahui oleh Elang, di kamar Fandy sudah tidak akan aktivitas apa pun. Lelaki itu telah tertidur lelap. Bahkan pesan yang dikirim oleh Kristin tak diketahuinya. Hingga waktu berlalu begitu saja. Bangun tidur, ia kaget melihat ada notifikasi panggilan dari nomor yang tak tersimpan. Ada juga pesan dari Kristin yang mengingatkan supaya tidak lupa makan malam. “Maaf sayang, semalam sudah ketiduran. Kamu sudah bersiap ke kampus kah?” dikirimlah pesan itu ke Kristin. Ternyata tak butuh waktu lama pesan itu dibalas. Fandy senang ketika tahu Kristin sudah dalam perjalanan ke kampus. Ia pun lalu bergegas mandi mengingat sudah ada beberapa agenda liputan yang perlu ia kerjakan. “86 Bos. Ini segera meluncur” balasnya pada atasannya ketika ditanya posisi. Hari ini bakal melelahkan. Karena ada isu besar yang bakal dirilis secara live pada malam hari. Fandy perlu menyiapkan tenaga lebih. Ia coba fokus pada pekerjaan yang dijalani. Memilih sebagai jurnalis memang impian yang sejak SMA. Bahkan dulu ia aktif mengelola Mading dan Bulletin sekolah. “Fan. Kamu break dulu siang ini. Simpan tenaga buat nanti malam.” Pesan yang cukup melegakan yang diterima dari redakturnya. Ia yang tadi pagi tak sempat sarapan, kini ia berada di sebuah warung nasi padang. Ia foto terlebih dahulu makanan yang dipesan, lalu dikirim ke Kristin. “Mau gak?” tulisnya melengkapi keterangan gambar. “Loh! Kita samaan dong” balas Kristin yang ternyata sedang menikmati rendang. “Makan dulu. Malah ketawa lihat hape,” sindir temannya yang ikut makan di sampingnya. “Cari pacar bro! Biar tahu rasanya begini,” timpal Fandy. “Bangsat lo!” pungkas temannya sambil tertawa. Selesailah waktu santai Fandy. Pukul enam, dia menuju lokasi liputan. KPK akan mengumumkan operasi tangkap tangan terhadap salah satu pejabat di kementerian pangan. Bukan hal mengejutkan baginya. Indikasi tersebut sudah ia perkirakan, mengingat banyak program tentang pangan tidak berjalan dengan baik dan maksimal. Sampai di lokasi, sudah banyak kamera wartawan yang berjejer di pintu loby gedung KPK. Fandy dan tim mencari cara supaya tetap bisa mendapatkan gambar yang tepat. Maka ia sebarkan pandangan dan tertuju pada satu titik yang belum ditempati yang lainnya. Berjalan menuju titik tersebut, secara spontan, ada sosok yang mendekat ke arahnya. “Fandy!!” teriaknya. Semua pasang mata yang tadi fokus menunggu rilis dari pejabat KPK, jadi berbalik ke sumber suara. Menyadari telah melakukan hal konyol, orang itu yang tak lain adalah Elang, segera menunjukkan tangan meminta maaf. Sedangkan Fandy menundukkan kepala. “Siapa sih dia? Lo kenal ya? Dari kemarin kayaknya coba ngobrol sama lo?” bisik satu timnya Fandy. Pertanyaan itu tidak dijawab. Elang sudah lebih dulu mendekat. “Fan. Gue tahu lo bakal ke sini. Lo gak mau angkat telepon gue?” Elang memburu pertanyaan. Fandy bingung dengan pertanyaan itu. Kemudian ia menyadari bahwa ia melewatkan sebuah nomor tak tersimpan yang melakukan panggilan berkali-kali? “Oh ini nomor lo?” Fandy menunjukkan nomor yang tak tersimpan di panggilan masuk. “Sorry gue gak tahu. Dan tolong, jangan ganggu gue. Sekarang lagi kerja,” ucap Fandy. “Gue tungguin sampai selesai.” Balas Elang. “Lo yakin mau ngobrol dengan keadaan gue capek?” timpal Fandy. Elang tampaknya menyadari bahwa dirinya terlalu memaksakan diri. Ia pun memilih untuk mundur. “Kabari ya kalau lo sudah siap buat ngobrol,” Elang coba meyakinkan bahwa mereka masih bisa bicara empat mata. Belum sempat mendapat jawaban, Fandy sudah ditegur temannya untuk segera merapat ke loby karena konfrensi pers segera berlangsung. Elang hanya mematung sendirian. Bahkan ia lupa bahwa kedatangannya ke sini tidak hanya untuk bertemu Fandy, melainkan mendampingi atasannya mengurus kasus korupsi yang terjadi di internal kementerian. Ia melanjutkan tugasnya dengan hati yang susah dijelaskan. Tidak ada semangat seperti biasanya. Hal yang sama juga terjadi pada Fandy. Setelah pulang liputan, pikirannya kembali terusik tentang Elang. Malam ini adalah obrolan yang terbilang lebih panjang dari sebelumnya dengan jarak yang lebih dekat pula. Perasaan campur aduk kembali menggelayut dalam hatinya. Perlukah ia memberi kesempatan untuk Elang bicara empat mata dengannya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b