Sumber : Tribunnews.com |
*****
Aku memiliki rambut sepundak. Bentuknya yang lurus namun mengembang dan warnannya yang gelap tegas, membuat banyak teman-temanku penasaran di mana tempat perawatanku. Padahal aku jarang menggunakan jasa salon kecantikan. tetapi mereka tidak percaya, apalagi melihat wajahku yang bersih dan cerah, semakin membuat mereka memusuhiku karena dikira pelit berbagi tips kecantikan.
Maka
bolehlah aku dengan percaya diri mengatakan menjadi salah satu primadona di
kota Palembang, apalagi di kampusku yang bernama UNSRI. Kalau boleh berbangga
lagi, kekasihku yang bernama Dimas Anggara Wijaya adalah lelaki yang selalu
tampil mempesona. Aku sudah menemaninya sejak menjadi ketua OSIS SMP, Kapten
Basket SMA, dan Ketua BEM UNSRI. Sekarang dia bekerja sebagai Manajer di
Perusahaan Pupuk di Palembang. Lengkapnya sudah kesempurnaan yang melekat dalam
diriku.
Semua
berjalan tanpa ada hal besar yang mengusik karir dan kisah asamaraku. Hingga
hampir tak merasakan waktu telah berlalu hampir 10 tahun bersamanya. Siapa pun
pasti mengatakan bahwa itu bukan waktu yang sebentar. Salah satu temanku
bernama Mitra, pernah sesekali berkomentar “Kamu gak bosen selama 10 tahun
pacarana doang?” katanya. Aku tak menanggapi komentarnya itu. Karena aku sudah
punya target tersendiri kapan harus memikirkan tentang pernikahan. Setidaknya
setelah adikku bernama Aldo, selesai dengan pendidikannya. Karena aku selama
ini yang mencukupi segala kebutuhan adikku tersayang itu.
Hubunganku
dengan Dimas harus teruji dengan jarak yang memisahkan kita. Aku sempat
berfikir bahwa ini akan menjadi ujian yang berat, mengingat hampir setiap hari
kita bertemu. Ternyata kami tetap bisa menjalin hubungan melalui video call
atau sekadar chatting. Tak ada gejala dia bosan atau main di belakang. Aku
masih mengenal semua teman-temannya yang sering diunggah fotonya dalam
Instagram.
Dua
tahun kami menjalani hubungan jarak jauh, kalau kata anak jaman sekarang ya
LDR-an. Belakangan, aku melihat ada gejala yang aneh dari dirinya. Sering dia
membahas mengenai pernikahan, soal liburan bareng, atau membicarakan rumah
impian. Tampaknya dia sudah berniat untuk melangkah lebih serius denganku.
Harusnya aku senang, tetapi yang ku alami justru sebaliknya. Aku merasa masih
memiliki beban yang sulit untuk memikirkan tentang pernikahan. Karirku di musik
baru menggeliat naik dan sering mendapat undangan manggung. Rasanya kurang
tepat apabila membahas ini sekarang.
Di
sela-sela aku manggung, ternyata ada pesan masuk dari Dimas. “Sayang, minggu
ini kamu bisa pulang ke Palembang? Aku ingin ngomong hal penting, semoga kali
ini kamu bisa mengosongkan waktumu,” tulisnya.
“Ada
apa, Dim?” tanyaku butuh penjelasan sekarang.
“Ditunggu
di Palembang. Kali ini aku gak mau lewat chat,” balasnya.
Baiklah,
batinku. Aku tak mau egois. Bisa jadi inilah waktu yang tepat untuk
membicarakan tentang masa depan kita. Walaupun dalam pikiranku, bukan waktu
yang tepat. Yah, dalam banyak hal terkadang memang waktu tak pernah tepat untuk
hadir. Harusnya aku dalam keadaan bahagia kan? Dimas akan melamarku, ku tebak
sendiri.
“Hei,
kamu cerah sekali malam ini, dapat chat apa dari doi?” Leo pengiring musikku
tampak penasaran.
“It’s
not your business, Boy,” balasku berlagak.
“Oke
Hunny. Kapan pun kamu butuh teman curhat bisa datang ke aku,” sindirnya.
“Hey,
kamu panggil aku kayak begitu lagi. Tangan ini siap nonjok kamu,” tanggapku tak
terima dengan panggilannya.
“Eits..
mentang-mentang anak Karate,” balasnya.
Leo
memang anak yang asik untuk bercanda dibandingkan dengan teman-teman yang lain.
Hanya saja kami memang tak pernah membicarakan masalah pribadi.
Hari
minggu yang ditunggu sudah memaksaku bangun lebih cepat Aku mengambil
penerbangan pagi menuju Palembang. Aku segera mengabari Papa bahwa anaknya pagi
ini pulang. Semalam lupa memberikan kabar, beliau tidak suka dengan kejutan.
Apalagi aku juga lebih nyaman kalau dijemput olehnya. Dimas aku suruh jemput
papa, supaya ada temannya. Sayangnya, Papa memberikan kabar kalau dia tidak
bisa menjemputku. Dia ada urusan bisnis ke daerah Banyuasin.
Sampai
di Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Baharrudin II, aku berjalan ke luar
sambil menghubungi Dimas. Ternyata sebelum teleponku tersambung, aku sudah
melihatnya menunggu di pintu keluar. Ia tampak lebih segar dari biasanya.
Penampilannya juga tak biasa, sejak kapan ia suka pakai Hoodie? Ternyata ada
hal-hal kecil yang tidak aku ketahui dalam jarak yang memisahkan kita.
Dalam
perjalanan, ia tak banyak bicara. Hanya saja aku merasakan hal yang ganjil dari
dirinya. Tapi aku tak berani mengutarakan itu, bisa jadi hanya perasaanku saja.
“Nanti
malam, aku jemput kamu ya?” ucapnya ketika aku sudah di teras rumah. Aku
mengangguk.
“Kamu
gak mau mampir dulu,” tanyaku.
“Papa
mu lagi gak di rumah kan? Sebaiknya kamu gunakan untuk istirahat,” ucapnya.
Aku
setuju. Memang rasanya lelah sekali. Apalagi tampaknya malam nanti aku harus
mempersiapkan kalimat yang pas apabila dia benar-benar ingin mengajakku
menikah.
Tiba-tiba
aku menerawang mundur hingga sepuluh tahun lalu. Bagaimana awalnya kita kenal
dan jadian, pahit dan manisnya saling memahami, karakterku yang sedikit keras
kepala bisa diimbangi oleh Dimas yang pembawannya kalem. Apalagi sifatnya yang
dewasa membuat kita bisa bertahan sampai 10 tahun.
Lamunanku
terhenti ketika terdengar bunyi piano yang dimainkan oleh Aldo, adikku.
Ternyata dia tak pernah lelah untuk belajar. Tak sia-sia kemarin dia merengek
untuk dibelikan piano yang lebih bagus. Segera aku menghampirinya yang tak
sadar dengan kedatanganku.
“Eh,
Kak Tari. Kapan datang?” ucapnya kaget aku peluk dari belakang.
“Kamu
sih terlalu serius mainnya,” sahutku.
“Kan
piano baru dari Kakak. Lebih enak mencetnya,” ia tertawa.
Tak
sadar aku meneteskan air mataku. Apabila selama ini aku membelanjakan uangku untuk
hal-hal yang tak begitu penting, ternyata dari Aldo aku bisa melihat bagaimana
jerih payahku manggung dari satu Café ke Café lainnya menjadi lebih berharga.
Aku peluk dia sekali lagi dan Aldo pun ikut memelukku tanpa bertanya apa pun.
Tampaknya dia belum paham kenapa aku menangis.
Malam
yang dinantikan tampaknya tak terhindari. Tak ada pesanan dari Dimas aku harus
memakai baju apa. Tampaknya memang ini tak terlalu spesial seperti yang aku
pikirkan. Maka ku putuskan memakai baju yang membuatku nyaman. Kaos, jelana
jeans, dan sepatu kets. Aku tampil casual saja.
Tibalah
Dimas menjemputku. Ia tak mengomentari pakaianku. Aku tertarik untuk bertanya.
“Tumben
kamu tak komentar dengan penampilanku malam ini,” tanyaku.
“Bukankah
memang itu karaktermu, apa aku harus memaksamu menjadi orang lain?” balasnya.
“Aku
gak pernah merasa menjadi orang lain. Menurutku wajar saja aku melakukannya
untuk kamu,” balasku.
“Kamu
bahagia?” tanyanya yang mendadak membuatku terhenyak. Pertanyaannya kenapa
tampak berbeda ya.
“Maksud
kamu apa ya?” aku sungguh tidak nyaman dengan kalimatnya.
“Kita
masih punya waktu makan malam lebih dulu kan sebelum ngomongin banyak hal?”
ucapnya menggantung.
“Kamu
kenapa aneh ya?” pertanyaanku tak dibalasnya.
Baiklah
aku pun tak ingin memperpanjang lagi masalahnya.
Sampailah
kita di York Café, yang merupakan salah satu pilihan tempat makan terbaik di
Kota Palembang. Café tersebut bernuansa Kota London, ada gambar Ratu Elisabeth.
Pilihan menu makanannya pun bervariasi. Konsep rumah makan tersebut lebih ke
ruang terbuka. Aku sudah pernah sekali ke sini dengan Dimas. Kalau tidak salah
ingat, ketika aku ulang tahun yang ke 20 tahun.
Malam
ini pengunjungnya sangat ramai sekali. Kami harus menunggu cukup lama untuk
dapat menikmati makan malam. Tetapi penantian lama itu terbayarkan dengan
makanannya yang pas di lidah. Sayangnya, aku tak melihat itu di Dimas, ia
begitu gelisah sejak pertama masuk ke Café ini. Kenapa hanya aku yang terkesan
biasa saja?
Sekarang
giliran inti pertemuan kita malam ini. Tampaknya Dimas sudah ingin mulai
pembicaraan. Suasana Café sudah mulai berkurang pengunjungnya. Sekilas ku
perhatikan pelayannya pun mulai tak bertenaga untuk melayani pengunjung. Langit
tampak temaran ditaburi bintang yang tak banyak.
“Kamu
ingat, sudah berapa tahun kita pacaran?” Dimas bersuara.
“Kurang
lebih 10 tahun kan, Dim. Lama ya?” ku kulik lebih dalam isi hatinya.
“Lama
atau singkat sebenarnya tak menjadi persoalan penting, Tar. Aku hanya mulai
berfikir tiga bulan terakhir, tampaknya aku sekarang mulai menemukan artinya,”
Dimas tampak berat mengatakan.
Perasaanku
mendadak takut. Apa yang dibicarakan Dimas seperti jauh dari harapan yang aku
gantungkan di awal.
“Arti
apa yang kamu maksud?” ku pertegas penyataannya.
“Aku
mau tanya sama kamu. Sebenarnya kamu siap tidak menjalani hubungan ini sama
aku?” Dimas menatapku sayu.
Aku
menunduk. Tak berani menatapnya yang tampak jelas raut wajah lelahnya. Ya Tuhan,
apakah aku sudah sangat jauh mengajaknya berpetualang? Batinku terasa sesak.
“Tar,
ada waktunya kita akan mengerti kapan terus berjuang dan kapan harus bilang ‘enough’.
Aku gak tahu, apa yang membuatmu terus menghindari pembicaraan tentang
pernikahan. Aku sangat menerima dengan karir yang sedang kamu bangun. Aku bisa
menerima itu semua. Apalagi? Soal Aldo, aku pun tahu bagaimana kamu berjuang
untuk mencukupi kebutuhannya. Tapi yang tidak aku tahu, kenapa kamu gak percaya
kalau aku sanggup melakukannya bersamamu?” Dimas tampak berkaca-kaca.
Sebelum
aku menjawab pertanyaan Dimas. Aku mengecek ponselku yang bergetar berkali-kali
tanda ada panggilan. Ternyata dari Mitra, temanku. Lalu ku lihat ada pesan
masuk yang berbunyi:
PENTING!!!
BACA CHATKU.
Sekarang
tidak ada yang lebih penting selain Dimas. “Tidak ada yang ragu sama kamu, Dim.
Aku hanya butuh waktu untuk melakukan semuanya sebelum kita membicarakan
masalah pribadi kita,” balasku.
“Maaf
Tar. Aku gak bisa begini terus. Aku rasa sudah jelas semuanya. Kamu sedang
tidak percaya sama aku. Kenapa kamu seolah-olah Aldo bukan bagian dari aku,
karirmu bukan bagian dari aku. Kita sudahi saja sampai di sini,” tegasnya.
“Dim,
kamu sadar atas apa yang kamu katakan?” aku mulai tak bisa mengendalikan
emosiku.
“Segampang
itu kamu nyerah ketika kita sedang berjuang selama 10 tahun, aku kok gak ngelihat
kamu, Dimas pacarku ya? Ini ada apa?” air mataku tak bisa terbendung lagi. Aku berusaha
menahan. Aku tak boleh kelihatan cengeng di depan dia.
“Tar,
justru 10 tahun itu bukan waktu yang sebentar untuk kita saling mengenal,
saling memahami, dan seharusnya sudah ada keputusan melakukan hal lebih baik
lagi. Kamu pikir, enak berada di posisi aku? Sorry, kalau ini menyakitkan buat kamu.
Aku hanya sedang ingin membuatmu menyadari, gak semua hal yang kita inginkan
bisa kita raih secara bersamaan. Harus ada satu atau dua yang dikorbankan,
sekarang tinggal kamu mau memilih aku atau karir dan segala tanggungjawabmu. Tapi
tenang, aku tidak memintamu memilih, aku lah yang sadar diri untuk mundur. Mari
aku antarkan pulang!” Dimas bangkit.
Aku
menggeleng. Aku sangat kecewa dengan keputusannya. Dia ternyata belum bisa
memahamiku. “aku bisa pulang sendiri, lepaskan genggamanmu!” aku meletakkan
beberapa lembar uang di meja dan bergegas pergi meninggalkan Dimas. Aku tak
sudi masih harus ditraktir oleh orang yang tak mengerti aku.
Tanpa
ku pikirkan matang, aku tidak tahu pulang menggunakan apa. Lalu teringat Mitra
yang tadi berkali-kali menghubungiku. Sejenak aku membaca pesan Mitra yang tadi
tertunda.
PENTING!!!
BACA CHATKU
“Kamu
katanya pulang? Aku samperin ke rumah, kata Aldo kamu pergi dengan Dimas. Aku
tak mau kamu langsung percaya, ini perlu dijelaskan oleh Dimas. Ternyata Dimas
dengan Nurul selama ini memiliki hubungan khusus di belakangmu. Apa kamu tidak
menyadari ada yang berbeda dengan Dimas?”
Pesan
itu sangat mengagetkanku. Ini apalagi?
Nurul
kan teman baikku. Kita sudah cukup dekat untuk berbagi cerita dari hati ke hati.
Tapi Mitra juga bukan orang lain buatku, tidak mungkin dia membuat kabar
bohong. Aku bergegas kembali ke tempat tadi.
Dimas
sedang melakukan pembayaran makan kita tadi. Aku menemuinya untuk menunjukkan bunyi
pesan itu.
“Kamu
ngomong panjang lebar tadi, sebenarnya ingin mengatakan ini kan?” dia kaget aku
tiba-tiba datang lagi.
“Kamu
masih merasa tidak bersalah?” Dimas malah menyudutkanku.
“Hei,
soal aku salah atau tidak, tindakanmu ini lebih menjijikkan dari apa pun. Jika tadi
aku sangat menyayangkan keputusanmu, sekarang aku ikhlas!!!” ucapku dengan nada
tinggi di depan dia.
Aku
langsung meninggalkan dia. Aku menghubungi Mitra untuk menjemputku. Rasanya ingin
sekali menangis sepuasnya untuk semua permainan yang menyakitkan ini. Aku langsung
teringat wajah Papa dan Aldo. Aku masih punya mereka, aku gak boleh lemah hanya
karena ini.
Tak
menunggu lama, Mitra datang dengan motornya. Mitra terus mencoba menenangkanku.
“Sekarang kamu bisa belajar bahwa waktu lah
yang memanggil kesetiaan. Bukan tentang seberapa lama ia bersamamu, tapi secepat
apa dia mulai menerima kelebihan dan kekuranganmu”
Aku
mengangguk dengan sesenggukkan. Tak ada kata yang terucap selain bersyukur
bahwa aku masih punya tempat untuk berbagi. Mitra, malam ini sejarah akan
mencatat namamu sebagai sahabat terbaikku. Benar sekali, waktu dengan
sendirinya akan memanggil kesetiaan orang-orang di dekatku. Kehilangan Dimas adalah
kehilangan kesalahan terbesar dalam hidup.
Keren bangeeeeet bikin lagi yang banyak
BalasHapusKEREEENNN!! Ditunggu tulisan" selanjutnyaaa
BalasHapushmmm sedihhh
BalasHapus