Datang
dan pergi, seakan menjadi siklus kehidupan yang menggelindang tanpa henti.
Waktu telah mempertemukan aku dengan dia, lantas ia menjadi peramai hari-hari,
menyibukkan diri untuk saling membalas pesan yang ternotifikasi, hingga berbagi
tautan foto berdua di sosial media. Tak ada yang bisa menjelaskan apa yang
dirasa, selain antara aku dan dia. Orang-orang boleh iri, bertanya penasaran,
hingga tak sabar untuk memaknai bahwa kita berdua cocok. Hati siapa yang tidak
mudah berbunga, ketika semua doa baik itu disuarakan seperti nyata? Tetapi,
adakah yang bisa menjamin semua itu terhubung terus menerobos satu ruang ke
ruang lain, waktu lampau, kini, dan masa depan? Aku katakan tidak.
Tanpa
perlu sampai unfollow akun Instagram dan memblokir nomor Whatsapp, senyap itu
bisa terjadi. Jangan menduga ada keributan kecil atau drama merajuk karena
tidak jalan di akhir pekan. Kita bukan mereka yang ketemu untuk mengucap janji
saling mengasihi, apalagi berlagak pemeran FTV merayu dengan sepucuk bunga
mawar di taman kota dan disaksikan oleh air mancur. Ah, itu manis sekali jika
terjadi.
Kita
itu ibarat musim hujan yang pelan-pelan menaikkan volume aliran sungai,
kemudian katak-katak bersenandung ramai membangunkan semangat petani untuk
menanam padi. Tanpa dipaksa berhenti dan merasa kehilangan, katak-katak itu
terbisukan oleh riuh redan aktivitas petani yang panen raya. Begitu saja, sama
sepertiku dengan dia.
****
Namaku
Putri, akrab dipanggil Puput. Aku sekarang sedang Praktek Kerja Lapangan (PKL)
di salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta. Selain itu, aku juga sedang
mengerjakan skripsi. Akhir-akhir ini dosen pembimbingku sering menghubungi
untuk segera menyelesaikan tugas akhirku itu. Sayang, waktunya terbatas.
Tuntukan pekerjaan yang padat membuatku tidak bisa konsentrasi mengerjakan
skripsi. Terkadang memang dilematis, antara menyelesaikan kewajiban Pendidikan
dan pekerjaan yang sama pentingnya untukku.
Bagiku
kegamangan pilihan tersebut tidak seberapa dibandingkan dengan masalah hati
yang tak kunjung mencapai fase lebih serius. Aku masih cukup pengecut untuk
menutupinya dalam bingkai persahabatan.
Pada
tengah malam yang temaram, aku sesekali sulit untuk terpejam. Aku buka jendela
kamar yang menghadap langsung dengan kebun rambutan. Aku bisa lepas memandang
langit yang purnama bertaburan bintang atau sedang gelap gulita, kosong satu
warna.
Aku
merenungi banyak hal atas apa yang terjadi pada 29 November 2014. Penandaan
yang membuatku sampai sekarang tak berani mengakui. Waktu itu Jakarta sedang
diguyur hujan cukup deras. Aku ragu terhadap lelaki yang menjanjikan akan
mengajak nonton Jakarta Blues Festival di Hall Basket Senayan. Namanya, Helmy.
Aku penuh tanda tanya sebenarnya, namun tertutupi oleh rasa senang yang susah
terkontrol. Dia lah cowok yang sempat menemani hari-hariku yang kemudian
menghilang. Sekarang, apa yang dia mau?
Cowok
berlesung pipit tersebut sudah seminggu ini mulai lagi menghubungiku. Skripsi
yang hampir terlupakan, menjadi sajian yang bisa dihangatkan. Dia mengingatkanku
untuk segera menyelesaikan skripsiku. Waktu seakan memutar semua kebiasaan yang
dulu kita jalani. Ajakan nonton Blues Festival, aku anggap sebagai peningkatan
status yang selama ini sempat terjalin. Apakah aku bahagia? Jujur, iya.
Reni
dan Andreas berkali-kali bertanya, tumben aku pulang lebih awal dari biasanya.
Bahkan ponselku sempat disahutnya hanya untuk mendapatkan informasi apa pun.
Namun aku cukup cerdik untuk menyembunyikan masalah ini. Kenapa aku tak
menceritakan ke rekan kerjaku itu? Sederhana saja, aku masih takut kecewa.
Sore
itu ternyata Jakarta sedang diguyur hujan deras. Belum ada tanda-tanda dia
sudah datang. Aku memilih duduk di depan resepsionis, mengingat teras kantor
tampias air. Belum lelah menunggu, mobil hitam dengan plat yang ku kenali
mendekati pintu masuk. Ketika aku mendekatinya, kaca mobil yang pelan-pelan
dibuka menampilkan senyum manis yang lama ku rindukan. Desiran yang dulu ada,
kembali tumbuh. Senyum yang membuat dadaku selalu berdesir. Seakan kepergiannya
dulu yang tanpa alasan tak pernah terjadi. Kekecewaan yang sempat berhari-hari
aku luapkan bahkan seperti butiran kerikil yang terbawa arus sungai.
“So,
langsung ke Senayan apa kita makan dulu?” tanyanya sebelum melajukan mobilnya.
“Sebaiknya
langsung ke tempat, aku baru saja makan. kayaknya kita bakal telat,” balasku
dan dia mengangguk.
Sepanjang
perjalanan, aku hanya bisa menyaksikan kabut yang menyamarkan orang-orang
berpayung, pedagang asongan, dan polisi yang mengatur lalu lintas. Aku juga tak
sempat merasakan dinginnya anak-anak yang berbasahan ngojek payung. Akan
tetapi, aku merasakan kebahagiaan yang sulit didefinisikan berada di samping
lelaki yang ku kagumi. Aku bahkan jadi canggung walau hanya ngobrol ringan.
“Bagaimana
pekerjaanmu, ada kendala?” ujarnya memecah keheningan.
“Ah,
biasa saja. Namanya kerja pasti selalu menemui masalah” jawabku kaku.
Hanya
itu obrolan yang bisa kita buka. Selanjutnya, aku memilih diam hingga sampai ke
lokasi. Dia juga tidak membuka obrolan lagi, bahkan cenderung serius
mengemudikan mobilnya.
****
Sangat
menyenangkan. Itulah kesanku usai menonton Jakarta Blues Festival itu. Bukan
karena aku menyukai pertunjukan itu. Kalian tentu tahu, kebahagiaanku terletak
pada sosok Helmy yang tadi selalu menggenggam erat tanganku. Ia bahkan mencoba
menghangatkanku dengan jaket yang diselimutkan ke tubuhku. Udara dingin tetap
menyelinap masuk ke tubuhku. Akan tetapi, perhatian dia mampu mengalihkan rasa
itu menjadi kehangatan. Tiba-tiba aku sadar telah senyum-senyum sendiri.
Untungnya dia tidak melihat.
“Kita
makan dulu yuk,” ajaknya. Aku menurut saja kemana pun ia membawaku. Rasanya,
seperti bunga yang mulai bermekaran usai musim semi tiba. Daun-daun kembali
tampak hijau menyala. Ibarat musim hujan di hari pertama yang menimbulkan efek
harum tanah yang menyengat hidung. Berkali-kali aku berdoa ke Tuhan untuk tak
cepat mengakhiri hari itu.
Kita
pun akhirnya mencari tempat makan. Jangan bayangkan kami makan di sebuah cafe
atau tempat makan cepat saji. Helmy mengajakku makan di warung pecel lele yang
biasa berdiri di pinggir jalanan. Aku tak mempermasalahkan pilihannya, lagi
pula selalu bersamanya sudahlah cukup melebihi apa pun.
Selesai
makan, dia mengantarkanku pulang. Tak ada obrolan yang serius ketika kita
makan. Entah angin apa yang mendorongku untuk mengingat kembali peristiwa masa
lampau. Masa ketika aku berani mengatakan bahwa aku menaruh hati padanya.
Setelah itu, dia pelan-pelan menghindariku. Bahkan selanjutnya ia seperti tak
mengenalku. Kita dulu memang sahabat dekat, selalu bersama untuk hal-hal tugas
kuliah atau obrolan personal.
Pertanyaan
tentang hadirnya kembali dia di kehidupanku mulai ku pikirkan. Perjalanan
menuju Citayam bukan waktu yang sebentar. Helmy harus mengurai kemacetan di
sepanjang jalan raya Pasar Minggu, Lenteng Agung, hingga Margonda dan memasuki
jalan dua arah di daerah Citayam. Aku mengumpulkan keberanian diri untuk
mengungkapkan kembali perasaanku. Lebih tepatnya aku bertanya apa yang
membuatnya kembali menyapaku.
“Kalau
boleh tahu, apa arti semua ini?” tanyaku padanya.
Ia
tidak langsung menjawab. Ia pandangi wajahku lekat dan kembali menatap ke
depan. Aku sudah menunggu, tapi dia seperti mencari waktu yang pas untuk
berbicara. Pelan-pelan mobilnya ia arahkan ke tepi jalan. Lalu mobil itu
berhenti di kawasan menuju persimpangan antara Universitas Indonesia dan
Margonda.
“Sorry
ya Put, gue selama ini hanya menganggap hubungan kita tak lebih dari teman,”
hatiku membeku mendengar pengakuan itu.
Apa
maksudnya semua ini. Apabila kebersamaan kita ini hanya persahabatan, kenapa ia
begitu perhatian padaku. Perhatian yang tak biasa. Mungkinkah karena aku jatuh
cinta padanya, sehingga semua yang dilakukan ku anggap sebagai harapan untuk
dicintainya. Beragam pertanyaan muncul tanpa ada jawaban.
Ternyata,
selama ini aku yang salah? Semuanya sudah jelas bahwa cintaku hanya bertepuk
sebelah tangan. Mendengar kalimat itu saja aku sudah merasakan kekeringan yang
amat dasyat di hatiku. Seperti kebakaran hutan di musim kemarau. Panasnya
bertumpuk dan menimbulkan kepulan asap yang menyesakkan pernafasan.
Aku
tidak bisa. Ya, aku tidak bisa bertahan bersamanya memakai topeng persahabatan.
Bukan itu yang aku inginkan, bersamanya sebagai sepasang kekasih adalah
keinginan terbesarku. Senyuman manis itu, mata, hidung, dan bibir serta gayanya
yang mampu meluluhkan hatiku ingin ku miliki tak sekedar sebagai sahabat.
Apakah dia tidak menyadari itu?
Ah,
sudahlah. Sejak saat itu, aku bertekad untuk melepasnya. Melepas semua harapan
bersamanya. Aku tidak ingin terbelenggu hanya karena terus memikirkannya. Semua
ini memang tidak gampang. Kalian pikir, perempuan mudah begitu saja membuang
rasa sayangnya? Sekalipun bibirnya berucap sanggup, tetapi hatinya masih
bertahan. Ketegaran yang tampak sebenarnya topeng menutupi kerapuhan jiwa.
Apabila
dulu aku mempertanyakan kepergiannya. Maka detik ini, aku sudah menemukan
jawabannya bahwa seseorang yang kembali mengganggu hidupku tak sedang merubah
hatinya menjadi mencintaiku. Dia hanya ingin mengajariku bagaimana bisa segera
melepaskan harapan masa lalu yang masih menggantung. Kini aku menyadari bahwa
dia bukanlah seseorang yang dikirim Tuhan untukku. Aku harus melepasnya.
****
Lamunanku
tentang kejadian seminggu lalu itu berakhir tatkala bintang-bintang semakin
memenuhi angkasa. Mereka seperti menjadi saksi hatiku bahwa kini tidak ada lagi
keinginan untuk memilikinya. Aku harus fokus dengan skripsi dan karierku yang
mulai mendapat tempat di televisi itu.
Lusa
aku sudah punya janji untuk menemui dosen pembimbingku dan melaporkan hasil bab
4 ku. Semoga semua yang ku buat dilancarkan olehnya tanpa revisi yang berarti.
Tadi siang aku juga mendapat angin surga bahwa atasanku meminta untuk
memperpanjang masa PKL-nya. Awalnya aku bingung soalnya masih punya prioritas
kuliah. Namun setelah ku pertimbangkan dan saran dari orang tua, aku
menyanggupi untuk terus bekerja di media televisi itu.
Meskipun
aku gagal mendapatkan cinta dari Helmy, seharusnya aku tak boleh gagal untuk
menghadapi tugas akhir dan karierku ke depan. Masih ada harapan untuk
mewujudkan keduanya secara bersamaan. Ini semua ibarat obat penawar racun yang
memang pahit rasanya, tetapi bisa menyembuhkan bahkan membuatku jauh lebih
baik.
“Put,
obrolan kita tentang proyek film kemarin jadi kita garap kan?” pesan dari Helmy.
“Oke,
minggu ini kita kumpulkan tim dan segera siapkan skenarionya,” balasku tanpa
beban.
Cinta
memang soal rasa. Maka bukan dengan menjaga jarak dengan dia yang bisa
menghilangkan perasaan itu. Bukan pula dengan tak lagi mengirim pesan, tak lagi
menyapa, atau memblokir semua akun media sosial dia yang sukses membuat kita
melupakannya. Selagi aku membiarkan rasa ini tetap ada di dalam hati, maka
seumur hidup pun aku tak akan mampu membuang dirinya di hidupku.
“Caraku melepaskanmu bukanlah dengan
membiarkanmu pergi. Melainkan dengan cara tidak lagi menganggapmu penting”
mau nangis😠semua kata kena banget, asli. ini bisa ngebuka pikiran pembaca jg sih, kalo untuk menjaug gak perlu memblokir, menghapus dan lain sebagainya apapun itu yg berhubungan dengan dia. bener. cuma dg bertekad anggap dia ga penting aja, bisa se-berhasil itu untuk lupa. cuma dg fokus ke masa depan aja, bisa se-normal itu jalanin kehidupan. aaah, permasalahan masa muda, terkadang di umur2 tertentu, manusia menganggap cinta adalah sebagian dari jiwa. jadi penting bgt. dan sekalinya patah, fatal. rasanya harus mati untuk akhiri perasaan kalut dan sakit. sheila on 7 -canggung, mungkin mewakili moment saat itu. dimana putri berusaha kembali bersikap 'biasa saja'. patut diacungi seribuuu jempol, perempuan hebat yg terima dg lapang dada apa yg menjadi keputusan si laki2. perempuan mantapp yg sukses fokuskan pikiran ttg masa depan ketimbang urusan cowo. perempuan emas, yg nantinya akan dapat laki2 yg 1000x lebih membahagiakan dan mencintai dia apa adanya!
BalasHapusah pokonya bagus☹ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
Semoga bisa menguatkan tekadmu juga ya..
Hapus