Banyak perempuan yang
mengidamkan mendapat lelaki yang saleh, baik, perhatian, dan selalu mengajak
pada kebaikan. Aku juga termasuk salah satunya, itulah kenapa aku menerima Afdan
sebagai kekasihku. Selain apa yang ku sebutkan tadi, Afdan termasuk deretan
lelaki yang memiliki wajah tampan. Satu hal penting yang menjadi entry point ku adalah dia tak mempermasalahku yang
tidak memakai hijab. “aku tahu kok, menuju ke sana butuh proses,” ucapnya. Hal itu
tentu saja membuatku semakin mantap menjalin hubungan serius dengannya. Tapi belakangan
dia berubah, semakin dia mengikuti kajian-kajian agama dengan Ustad Youtube. Aku
mulai merasakan ketidaknyamanan. Kenapa perasaan ini berubah?
****
“kalian sudah tiba di
lokasi?” Redaktur ku mengirimkan pesan.
“belum Mas Tama, ini kami
terjebak macet,” balasku.
“Inisiatif naik ojek
dong, ini media lain live di sana,” timpalnya.
“Ya Allah mas, ini kalau
gak hujan, pasti kita lakukan,” balasku kesal.
“Manja sekali wartawan
jaman sekarang,” hardiknya.
Astaghfirullah,
ini kalau bukan bos sudah aku maki-maki balik.
“Sudahlah Ana, jangan
ditekuk begitu mukanya. Kayak gak kenal Mas Tama saja,” Billy kameraman mencoba
menenangkanku. Dia bisa membaca isi chatku. Karena posisi duduknya di
sampingku.
Tak hanya media televisi
yang sudah live. Media online pun
dari semalam sudah memberitakan laporan dari BMKG dan BNPB. Kalau kalian suka
buka twitter, maka berita bencana Tsunami Banten sudah menjadi trending topic.
Tak ada yang bisa membendung aliran informasi berupa gambar dan tulisan
langsung dari warganet mengenai kabar terbaru. Seakan mereka tidak peduli bahwa
di dalam mobil ini ada seorang perempuan menahan kesal karena telat liputan.
Eh, tunggu!!. Bukan telat, tapi harusnya yang datang ini bukan aku, melainkan
Septi. Tapi dia dialihkan untuk liputan ke Donggala. Aku biasanya liputan
politik.
Satu jam kemudian,
tibalah kami di lokasi bencana. Informasi yang disampaikan oleh BMKG kurang
akurat. Ternyata dampak dari gelombang pasang yang kemudian diralat sebagai
tsunami tersebut cukup parah menghancurkan penginapan di bibir pantai. Jangan
tanya lagi apa nasib orang-orang di dalamnya, hanya kuasa Allah lah yang
membuat mereka bisa menyelamatkannya. Seketika aku tertegun, melihat secara
langsung untuk pertama kalinya bencana. Rasa kemanusiaanku tergugah ketika ada
orang-orang berlarian.
“Ini ada apa Billy?”
tanyaku penasaran.
“An, kita amankan diri
dulu,” Billy teriak sambil menggenggam tanganku.
“Tsunami..... Tsunami....”
begitulah teriakan bersautan yang ku dengar selanjutnya.
Astaghfirullah,
apakah aku akan mati di sini? tiba-tiba aku menyesali keputusanku untuk
bersedia mengambil alih tugas ini.
Ku lihat aparat pun
tampak berlarian. Kabar ‘burung’ yang beredar ada tanda peringatan tsunami.
Kami pun mencari jalan menjauh dari bibir pantai, padahal jalan utama di
sepanjang pantai itu berdekatan dengan bibir pantai.
Cukup jauh kami berlari,
ternyata informasi tersebut hanya hoaks. Betapa kesalnya aku, wartawan kena
tipu. Sial
ketika kami cukup ada tempat aman untuk beristirahat. Billy mendekatiku “Kamu gak Salat dulu An,
kayaknya sudah waktunya,” ucapnya. Aku menoleh ke arahnya. Tak percaya dia mengingatkan
hal itu. Cukup senang dia peduli dengan salatku, kan dia tidak Salat.
“Hei, malah bengong. Itu
ada Mushola. Apa perlu diantar?” imbuhnya. Aku segera menggeleng. sialnya, malah perutku berbunyi.
“Kamu lapar?” dia cukup peka dengan suara yang membuatku malu.
“Ada roti di mobil. Aku
ambilkan ya,” tanpa perlu menunggu jawabanku. Dia berjalan menuju mobil yang
terparkir cukup jauh. Aku sendiri memutuskan untuk segera melaksanakan Salat Dzuhur.
Usai salat, Billy sudah
menunggu di teras mushola. Dia menyalakan rokok, aku lalu menghampirinya.
“Ternyata kamu perokok ya? ” sapaku duduk bersebelahan dekatnya.
“Eh maaf...,” sahutnya sambil mematikan rokoknya.
“Eh, kenapa harus
dimatikan? Aku memang tak suka dengan cowok perokok, tapi tidak untuk membatasi
hakmu,” ucapku. Dia tersenyum.
“Aku sudah ambil sesisir,
kamu makanlah. Lumayan buat ganjal perut kan?” ia mengingatkan soal perutku tadi yang kelaparan. Ku lihat senyumnya mengembang. Ia tampak manis sekali. Eh, apa yang baru saja ku pikirkan? Astaghfirullah..
Belum separuh roti ku kunyah, ada notifikasi pesan dari Afdan. “Jangan lupa salat, pekerjaan tidak akan
menghantarkanmu ke Surga. Aku gak mau dengar ada alasan masih liputan ya,”
tulisnya. Aku mengernyitkan dahi. Kenapa dia tidak bisa lebih halus sedikit gaya chatnya. mengesalkan..
Aku sengaja tak meresponnya. Dia pikir aku anak kecil yang harus diingatkan jangan lupa makan, tidurnya
jangan malam-malam, salatnya dijaga. Dia itu lebih cerewet dari Umi. Dia selalu
membuatku kesal.
“Mas Tama ngasih perintah
lagi?” Billy mengalihkanku dari ponsel.
“Eh, enggak. Ini Afdan,
pacarku,” jawabku cepat.
Dia hanya ber-ooh.
Segera aku menanyakan
bagaimana liputan kita. Billy pun memberikan teknik yang biasa dia lakukan
ketika meliput bencana. Setidaknya aku harus memahami bagaimana sudut pandang
berita yang ingin ditampilkan. Mas Tama memang sudah memberikan gambaran detail.
Tetapi aku butuh sense berita dari pelakunya langsung. Kami pun langsung menuju
lokasi dan melakukan peliputan.
****
Pemandangan menyesakkan hati membuatku ngilu. Ku lihat Billy tampak serius mengambil gambar video. “Kasian mereka ya.." aku menyela kegiatannya.
“Kamu tidak menyesal kan,
datang ke sini?” dia malah bertanya perasaanku.
“Enggaklah. Sudah
kewajiban kan aku melakukannya,” jawabku.
Untuk kedua kalinya dia
ber-ooh. “kenapa, kamu tidak setuju ya?” kulikku.
“Memangnya aku lagi
nyebar kuisioner, harus ada setuju dan tidak setuju, ” timpalnya.
Aku spontan tertawa. Dia
bisa bercanda juga.
“Gitu dong, senyum,”
ucapnya. Aku langsung mendadak kikuk. Ternyata dia memperhatikan tingkah
lakuku.
“Semoga kerja bareng
pertama ini gak meninggalkan kesan buruk ya,” ucapku. Dia menatapku senyum.
“Enggaklah, aku orangnya
santai kok,” balasnya.
Ternyata balasannya tidak
sesuai harapanku. Aku pikir dia akan bilang, aku senang kok bisa liputan bareng
sama kamu. Ah, liar sekali ini pikiranku.
Selesai. Aku sampai di
rumah jam 10 malam. Tak lupa salat isya sebelum tidur.
***
Hari berikutnya, aku
melewati pekerjaan yang sama membosannya dari hari-hari sebelumnya. Aku
ditemani Fauzan dalam meliput berita politik. Mendengarkan para pejabat itu
berkomentar mengenai banyak hal malah membuatku malas. Mereka ngomongnya tidak
tertuju pada sasaran. Malah terkadang mereka sengaja membuat jawaban yang
berputar-putar.
Tak lama kemudian, Afdan
mengirimkan sebuah link video ceramah agama yang berjudul “Hukum Perempuan
Menutup Aurat”. Ini apalagi si Afdan, orang lagi kerja malah dikirimin ceramah
agama.
“Apa maksudnya?” tanyaku
“Cuma mau mengingatkan
kamu. Tak ada salahnya kan mengingatkan dalam kebaikan,” balasnya.
“TERIMA KASIH,” balasku dengan huruf kapital. Tanda aku sedang kesal padanya.
“Nanti pulangnya aku
jemput ya,” lanjutnya.
“Aku diminta standby
sampai malam loh sama bos, yakin mau nunggu?” balasku.
“Buat kamu, apa sih yang
enggak,” balasnya.
Aku bukannya senang,
malah ingin muntah. Semenjak Afdan ikut kajian-kajian begitu, sikapnya semakin
membuatku tidak nyaman. Dia sering sekali mengirimkan konten-konten ceramah
yang sejatinya sudah aku pelajari sejak sekolah dasar. Abah dan Umi kan
menyekolahkanku di sekolah berbasis agama.
“Kamu kenapa?” tiba-tiba
Fauzan sudah di depanku.
“Eh, sudah siap buat
live?” tanyaku tak menjawab pertanyaannya.
“Gak jadi. Kamu memang
gak baca grup WA?” tanyanya.
Baru juga tidak memantau
grup, aku sudah ketinggalan informasi penting. Ternyata kami disuruh segera
kembali ke kantor. Ada rapat penting.
Dua jam perjalanan, tibalah
kami di kantor. Menaiki lift menuju lantai 5, tempat kami bertugas. Mas Tama
sudah ada di ruang rapat bersama beberapa pimpinan lainnya.
Aku menuju toilet
sebentar untuk buang air sekaligus merapikan rambutku dan wajah yang mulai
berminyak. Sebelum masuk toilet aku berpapasan dengan Billy.
“Kamu dapat undangan
rapat juga?” Billy menyapaku.
“Eh iya, Bil.
Ngomong-ngomong rapat apaan sih?” tanyaku ingin berbasa-basi dengannya.
“Kita lihat saja nanti.
Sana mukanya di wudhu-in dulu, biar cerah,” ujarnya.
Dia lalu pergi tanpa
menunggu responku lagi. Aku tak menyangka dia akan mengucapkan hal seperti itu.
Bagaimana dia sampai memiliki pengetahuan bahwa wudhu bisa mencerahkan wajah?
Ah daripada aku
memikirkan dia, sebaiknya memang aku harus segera merapikan diri.
Ketika aku masuk di ruang
rapat, tinggal ada satu bangku. Artinya aku yang paling terakhir masuk. Sial,
semua mata memandangku. Apakah aku lama ditunggu oleh mereka. Aku berbisik ke
Fauzan yang ada di sebelahku.
“Tenang, kamu gak datang
terlambat kok. Mereka memang belum mau memulai” jawaban Fauzan menenangkanku.
Mas Tama sudah bersiap
untuk bicara. Tangannya diletakkan di atas meja. Ia membenarkan kacamata. Semua
peserta rapat seakan terhipnotis untuk memperhatikan ke pimpinan rapat.
“Aku tak mau basa-basi ke
kalian. Bambang, silakan disebar itu kertas yang kamu fotocopi tadi,” ucapnya.
Tak butuh waktu lama,
Bambang sudah mengedarkan ke semua peserta rapat.
“Silakan dibaca!! rapat
selesai,” balasnya.
Aku tercengang dengan hal
yang sangat ganjil ini. Dia menyuruh kami semua datang ke kantor hanya untuk
menyerahkan selembar kertas. Apa dia tidak memiliki ponsel yang canggih hanya
untuk membagikan di masing-masing kontaknya atau kalau terlalu lama bisa
langsung dibagikan di grup WA.
Setelah ku buka lembaran
yang dibagikan. Aku tambah kesal ternyata aku dipindahkan ke Bidang Hukum dan
HAM.
“Mas, kamu yakin nempatin
aku di sini?” spontan aku berteriak. Mas Tama yang sudah hampir menutup pintu,
ia tahan.
“Kalau mau resign, malam
ini surat bisa langsung dikirimkan. Sebulan kemudian, kamu bebas dari pekerjaan
ini, mudah kan?” ucapnya tanpa rasa bersalah.
Aku menunduk lesu. Semua
mata menatapku tak suka. Mungkin batin mereka, berani sekali aku melawan
keputusan Mas Tama. Liputan di politik saja aku sudah pusing, apalagi ini nanti
berbicara pasal-pasal dan mengartikan putusan pengadilan.
Satu per satu dari mereka
meninggalkan ruangan. Fauzan pun pamit kepadaku dengan ekspresi datar. Dia pun mungkin
tak suka dengan keputusan Mas Tama. Aku menyadarkan kepalaku ke kursi. Rasanya
sudah tak sanggup dengan lingkungan kerja yang penuh tekanan seperti ini.
“Aku pikir kamu akan
senang, ternyata kita satu tim,” Billy tiba-tiba sudah duduk di dekatku.
Mendengar begitu, aku
langsung mengecek tabel yang bawah. Ternyata benar, Kameraman yang menjadi
rekan kerjaku adalah Billy. Entah kenapa perasaanku jadi lega. Belum sempat aku
menanggapi obrolannya. Telepon dari Afdan sudah berdering di ponselku.
“Kamu sudah selesai?”
“Iya, ini barusan
selesai. Kamu di mana?”
“Maaf ya An, aku baru
berangkat. Tadi gak enak diajak temanku ikut kajian sebentar. Ternyata…”
“Oke aku tunggu ya,” aku
mengakhiri panggilannya sebelum dia selesai bicara. Aku sedang tak ingin
membahas aktivitasnya yang rajin sekali ikut kajian-kajian itu.
“Kamu ngapain masih di
sini?” tanyaku ketus ke Billy.
“Hei, aku pikir kamu
butuh teman ngobrol. Minimal kasih nomor WA mu, kita kan akan satu tim,”
ucapnya.
“Oh iya, aku hampir lupa
ya, sekarang kita akan satu tim,” responku tak menjawab omongannya.
“Jadi, mau ke Café depan?
Segelas es cokelat bisa jadi menenangkan pikiran kesal,” ia mencoba merayuku.
Aku mengiyakan. Ku cari
tali rambutku di tas. Tampaknya aku sudah tak nyaman menggerai rambut lagi. Aku
pikir lumayan untuk mengurangi kejenuhan menunggu Afdan datang.
Di Café, Billy yang
sering banyak berbicara. Ia menceritakan pengalaman hidupnya berkarir. Ia
sempat kerja di Bank, Marketing, dan terakhir sebagai Kameramen. Ini bukanlah
pekerjaan yang diinginkan. Ia merasa terjebak dalam hobi yang memang sejak lama
ia lakukan. Suka membuat video dokumenter ketika di SMA atau pun ketika di
Kampus.
“Tapi kayaknya kamu enjoy
begitu, Bil?” kulikku.
“Susah sih jelasinnya
kalau kamu gak dapat pengalaman sendiri,” Billy masih menyimpan rahasia.
Belum sempat aku megulik
lebih banyak pertanyaan ternyata Afdan sudah tiba. Aku pamit ke Billy. Namun
sebelum aku beranjak pergi. Billy mengatakan sesuatu.
“Kita akan tetap satu tim
kan?” ucapnya.
Ternyata dia masih
memikirkan omonganku soal rencana resign dari profesi ini. Memang niatan itu
sudah mantap. Tapi entah kenapa aku jadi termotivasi mendengar jawaban Billy
bahwa aku harus menemukan pengalaman yang membuatku kenapa Allah memberikan
rezeki di Wartawan.
“Sampai jumpa besok,”
balasku tak menjawab keingintahuannya.
****
Tak ada yang resign.
Liputan demi liputan dilalui dengan suka duka yang tetap sama. Aku bahkan
semakin tak ada waktu untuk bersama Afdan. Dia sering sekali melakukan video
call ketika aku sedang liputan. Tentu aku tak enak sama Billy atau teman-teman
yang lain.
Sehari bisa tiga kali
pindah lokasi, usai liputan atas putusan pengadilan mengenai tindak pidana
narkoba, aku mendapat bahwa ada operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK
terhadap Pejabat Tinggi di Kementerian Hukum dan HAM. Ternyata tidak ada
jeranya setelah beberapa bulan yang lalu sudah sempat tangkap tangan.
Kasus Hukum ternyata
bervariasi. Hingga akhirnya aku bisa mengambil kesimpulan bahwa pejabat tidak
akan pernah puas digaji berapa pun selama mental mereka untuk tidak korupsi
belum dihilangkan. Apalagi terkait pembunuhan, pemerkosaan, dan kekerasan dalam
rumah tangga, perdagangan manusia, hingga pelanggaran HAM. Hingga suatu ketika
ada seseorang yang menghampiriku.
“Mbak sudah lama kerja
begini?” tanya seorang ibu berusia renta.
“Lumayan Bu, ada apa?”
tanyaku penasaran.
“Enak ya mbak, bisa
menolong orang banyak. Hanya dengan pintar berbicara dan sebuah kamera telah
mencerahkan seluruh Indonesia atas informasi yang disebar. Membuat semua ibu
lebih berhati-hati menjaga anaknya,” ucap ibu tersebut tampak polos.
Aku tertegun. Menolong
orang banyak? Selama ini aku tidak pernah memikirkan sampai ke sana. Aku hanya
bekerja dan mendapatkan gaji. Selama ini pekerjaan yang aku benci ternyata
membuat manfaat bagi orang banyak. Ah,
semua pekerjaan pun kan pasti bermanfaat bagi orang banyak.
Tukang sayur misalnya,
dia menjual dagangan yang kemudian dimasak dan dinikmati oleh anggota keluarga
di sebuah kompleks. Polisi menjaga lalulintas, dokter menyembuhkan orang sakit,
dan guru telah berjasa mencerdaskan kehidupan bangsa. Lalu apa bedanya?
Pertanyaan itu belum bisa
terjawab atas pernyataan ibu tersebut hingga sebuah momen aku memperhatikan
Billy menghampiriku menunjukkan selembar kertas undangan yang menunjukkan bahwa
liputan yang kami lakukan terkait kasus penculikan dan pemerkosaan terhadap
anak di bawah umur.
“Ini apa?” tanyaku
berlagak tak mengerti.
“Sorry, aku tidak
mengatakan ini sebelumnya. Aku ragu bahwa ini akan diterima dan menang,
ternyata keraguanku salah, kamu melakukan yang terbaik yang tak hanya untukmu
atau untukku, melainkan semua emak-emak yang menyukai konten kita,” balasnya.
Aku masih sulit merespon.
Apa maksud semua ini?
“Oh iya, aku hampir lupa.
Waktu liputan tempo lalu, ada seorang ibu menitipkan ini untukmu. Aku belum
membuka isinya,” balasnya.
“Makasih Bill,” jawabku.
“Kamu baik-baik saja
kan?” tanyanya.
“I’m
Fine.
Aku balik dulu ya,” ucapku berusaha menghindari tatapannya.
“An, kamu bisa cerita ke
aku kalau butuh pendengar yang baik,” tak bisa ku hindari bahwa ia tahu aku ada
masalah. Tanpa bisa ku tahan, aku menghampur ke pelukannya. Hingga tanpa sadar
bahwa kita sedang di koridor kantor.
“Sorry..Sorry… aku gak ber…” aku tak kuasa melanjutkan omonganku.
“I’m Fine, An. Kamu terbebani ya dengan pekerjaan ini? Kali ini aku
gak akan lagi menahanmu untuk bertahan dengan pekerjaan ini. Lupakan tentang
penghargaan itu, lupakan agenda-agenda liputan kita, maaf kalau kamu jadi sering
bertengkar dengan pacarmu gara-gara lebih banyak waktu denganku” dia berbicara
tanpa bisa ku potong. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Kamu mau aku cerita di
sini, yakin?” ucapku mencoba memberi kode supaya kita Pindah tempat. Dia terkekeh.
Sikap Billy jauh berbeda
dengan Afdan. Perhatian yang diberikan oleh Billy tidak membuatku jadi rendah
diri atau merasa tersisihkan. Justru dia jarang memberikan kata-kata manis atau
motivasi. Setiap perbuatannya lah yang membuatku nyaman berada di dekatnya. Misalnya,
liputan tentang kasus pemerkosaan dan kekerasan anak yang akhirnya kita
mendapat penghargaan dari asosiasi wartawan, dialah yang lebih banyak
memberikan arahan dibandingkan Mas Tama yang hanya bisa ngedumel. Tak banyak
bicara, dengan berbagai kode gerakan tangan, aku mengerti maksudnya.
Astaghfirullah, aku sudah memujinya
berlebihan. Ingat, An!! Ada dinding batas yang cukup tebal di antara kalian. Jangan
sampai kamu jatuh cinta pada dia. Kamu sekarang hanya patah hati karena baru
saja putus dengan Afdan.
“Jadi, kalian udahan?” kulik
Billy ketika aku selesia menceritakan nasib hubunganku dengan Afdan.
“Aku bukan cewek
baik-baik ya, Bil?” tanyaku tak berani menatapnya.
“Definisi baik-baik itu
bagaimana ya? Jika baik-baik itu adalah membuat orang lain justru takut
mendekat, takut bertanya, dan enggan menerima nasehatnya, maka itu baik-baik
yang hanya untuk dirinya,” Billy mengatakan sesuatu yang membuatku malah sulit
dipahami.
“Bingung ya?” tampaknya
dia paham kebingunganku.
“Eh, bentar. Aku mau
tanya,” tiba-tiba aku teringat akan sesuatu yang mengganjal selama ini. Dia lalu
menatapku fokus.
“Apa kamu berhenti merokok?”
tanyaku.
“Lagi berusaha,”
jawabnya.
“Demi apa? Apa gara-gara
satu tim kerja denganku?’ selesai mengucapkan itu baru ku sadari bahwa
pertanyaan itu suatu kelancangan. Aku terlalu percaya diri untuknya.
“Bukanlah..’ jawabnya cepat.
Tuh kan. Aku hanya sedang terlalu percaya diri untuk menjadi alasan orang lain berhenti merokok.
“Tapi, aku melakukannya lebih
dari sekedar untuk bisa kerja bareng dengan dia, aku ingin menjadi seseorang
yang penting buat dia,” pernyataannya itu cukup jelas ditelingaku.
Astagfirullah, apa yang
harus ku lakukan sekarang. Apakah Billy tidak sadar bahwa ucapannya itu bisa
membuatku semakin galau. Aku dan dia kan…
Belum selesai aku berjibaku
dengan pikiran sendiri. Billy meneruskan kalimatnya.
“Sejujurnya An, aku sudah
kenal kamu sejak lama. Kita kan satu angkatan masuk kerjanya. Cuma mungkin kamu
tidak begitu menghafalku. Aku melihat sosok kamu yang beda dengan lainnya. Beberapa
kali aku melihatmu menyempatkan ibadah di sela-sela kerjaan. Kabar dari
teman-teman juga memiliki kesimpulan yang sama. Semenjak itulah aku ingin
belajar Islam,” jelasnya. Kalimat ini membuat hatiku bergemuruh, merinding, ada
semacam haru yang susah untuk dijelaskan.
“Maaf ya, aku yang meminta
ke Mas Tama untuk mengatur supaya kita satu tim,” lanjutnya. Ini hal yang tidak
aku duga. Ternyata Billy telah mempersiapkan semuanya.
“Sayangnya, aku belum
berhasil membuatmu menyukai pekerjaan ini,” lanjutnya.
“Hei, siapa bilang?” sela
ku.
“Kenapa kamu merasa gagal, jika dengan menjalani, kamu telah
berhasil melakukannya. Karena cinta akan membuatmu mau berusaha lagi dan lagi”
Billy tampak sumringah
mendengar kalimatku. Dia selayaknya telah berhasil membawaku ke dalam situasi
yang sulit ku terima menjadi tetap ingin dijalani. Pekerjaan wartawan memang
belum berhasil memikatku. Berbeda dengan
orang yang ada di depanku. Dia tampaknya berhasil membuatku memantapkan pilihan
hidup.
Dia menggenggam tanganku.
Ini genggaman yang nyata, bukan lagi frasa dari membimbingku.
“An, aku boleh tanya satu
hal?” aku mengangguk.
“Apa alasanmu tidak
mengenakan hijab?” tanyanya.
“Aku tidak ingin dinilai baik oleh manusia. Jika dengan aku
rajin Salat, semua orang masih memujiku baik. Aku khawatir, dengan mengenakan hijab,
bukan malah memperbaiki ketaatanku pada-Nya. Melainkan menimbulkan rasa ujub, aku lebih baik dari mereka yang
tidak berhijab”
Billy semakin mempererat gengamannya.
“Ini Ana yang ingin aku kenal selamanya. Islam yang kamu tampilkan bukan yang
membuatku menjauh. Malah membuatku ingin mendekat dan mengenalnya lebih. Apakah
kamu mengizinkan aku menjadi bagian dari hidupmu?” Billy berkata mantap. Baru malam
ini dia bicara banyak. Alhamdulillah ya Allah, ternyata engkau memberiku
kesempatan menjadi perantara hidayah-Mu, ucapku dalam hati.
“Sekarang aku tahu, bukan perasaanku yang berubah. Pilihanku
tetap sama, mencintai lelaki yang saleh, baik, perhatian, dan membawa kita pada
kebaikan. Hanya saja ada pada diri orang yang berbeda”
Komentar
Posting Komentar