Langsung ke konten utama

Kamulah Yang Ku Tunggu


Restu telah kami kantongi. kalau dihitung, butuh waktu satu tahun untuk meyakinkan kami. maka pernikahan bukan khayalan lagi. Berbagai persiapan pun kami lakukan dengan maksimal. renacanya, kami akan mengadakan dua pesta pernikahan. Pertama di Jakarta menggunakan pakaian  adat jawa. Kedua, di Manado dengan konsep Princess. Akad nikah akan dilakukan di Masjid Sunda Kelapa, supaya dekat dengan kediamanku. Biaya pernikahan menyesuaikan dengan tabungan kami berdua. Tak akan mewah, mungkin nanti resepsi pernikahan kami digelar di Grand Sahid. Itu pilihan paling realistis dari yang kami siapkan. beragam kebutuhan seserahan sudah kami siapk berdua, termasuk baju pengantin dan keluarga inti. Hanya saja, kehadiran Ariyo membuat persiapan pernikahan kami menjadi rumit, Billy, tak seperti yang ku kenal.

****

Surat pengunduran diriku dari kantor berita telah disetujui Mas Tama. Ia tak menunjukkan ekspresi apa pun, datar. Boleh jadi, ia malah senang karena tak memiliki wartawan yang kerjaannya mengeluh terus. Billy juga mengundurkan diri. Kami sudah sepakat akan membuat project berdua. Persiapannya sudah cukup matang. Banyak rekanan yang siap membantu kami dalam mengkampanyekan ‘AYO BERBAGI’. Kami akan membuat sebuah video berdurasi pendek tentang testimoni dari berbagai kalangan mengenai manfaat berbagi. Langkah konkretnya kami akan menggalang dana untuk membantu masyarakat miskin dan pendidikan sekolah.

“An, besok selesai ketemu investor, kita langsung menuji butiknya Mbak Dian ya, kita sudah ditanyain terus loh kapan fittingnya,” pesan Billy ketika aku keluar dari Lobby Kantor Berita. Ku jawab Ok.

Selanjutnya, aku hari ini sudah ada janji dengan youtubers paling populer di kalangan anak-anak dengan konten squishy nya. Aku tertarik untuk mewancarainya mengenai ‘AYO BERBAGI’. Tak lama menunggu dia menjawab bersedia untuk ku temui. Hanya memang tak bisa sehari-dua hari langsung ketemu. Ini hari kesepuluh dari jadwal pertama aku menghubunginya.

Obrolanku dengan youtubers itu memakan waktu dua jam dan tidak terasa membosankan. Bahkan aku mulai merubah persepsiku, bahwa apa yang aku kenal di video dengan gayanya yang konyol dan terkesan alay, justru obrolan soal politik hingga kemanusiaan, tak bisa diremehkan pengetahuannya. Sebelum aku pamit pulang, aku menghubungi Billy untuk menjemputku.

“Oke, An. Ditunggu, ini di jalan, “ balasnya.

Sampai di rumah, Umi yang membukakan pintu. Billy dipersilakan masuk, ada Abah di dalam. Ini kesempatan Billy untuk belajar agama. Abah memberikan kutipan ayat mengenai tanggungjawab seorang suami. Aku mengulum senyum melihat tatapan Billy yang serius sekali mendengarkan kajian dari Abah. Ku biarkan mereka fokus. Sebaiknya aku meembantu Umi menyiapkan Kebab yang dibelikan Billy. Dia tahu sekali cara memanjakan Abah, dibawakannya makanan kesukaan. Awas saja ya kalau sudah menikah nanti kebiasaan itu tidak dilakukan. Haha

Keesokan harinya, kami jadi menyempatkan untuk fitting baju pernikahan kami. Mbak Dian memang detail memperhatikan aksen Jawa yang kental. Sedangkan untuk baju akad, dia memberikan sentuhan sangat ringan, sederhana, tapi elegan.

“Jangan tambah berat badan ya, An. Biasanya orang habis resign, suka nyemil,” Mbak Dian meledekku.

Dia pikir aku resign dari wartawan berniat leha-leha. Malah jadwal sebelum pernikahan sangat banyak sekali. Tampaknya Allah tahu kalau biaya pernikahan itu tidak murah. Billy bahkan tiga hari ke depan akan ada kontrak untuk pemotretan Iklan minuman.

“Aku malah khawatir dia sakit mbak, makannya gak teratur. Maunya makan kalau sama aku doang,” Billy malah curhat ke Mbak Dian tentang tabiatku akhir-akhir ini. Aku pura-pura tidak mendengarkan saja.

Memang benar, Billy memang tahu aku susah makan. Namun caranya menurutku romantis, tidak dengan berkali-kali chat, melainkan  tiba-tiba menjemputku, memaksaku mengakhiri kegiatan, lalu pergi makan. Kadang dia tak mau mengajakku bicara, langsung mengantarku balik lagi ke lokasi project. Lucu kalau dia sudah bertingkah seperti itu.

Sedang asik bercanda, ada sesosok lelaki bersama seorang perempuan berbaju tanpa lengan. Lamat ku perhatikan, ternyata aku mengenali lelaki tersebut.

ARIYO

Dia pun menatap kaget. Apa yang dia lakukan di sini?

Billy menyadari perubahan sikapku. Dia berbisik, “siapa An?”

“Wow, surprise nih. Ternyata kita satu butik. Aku pikir seorang Ana akan memilih Anne Avantie untuk gaun pernikahannya. Kalau hanya setara dengan aku, sayang dong dulu memutuskan aku. Cowok miskin yang tidak bisa mengajak liburan ke luar negeri. Lalu, tanggal berapa kamu booking gedungnya di Ritz Carlton?” Dia bicara tanpa basa-basi. Bahkan perempuan di sampingnya tampak tak mengerti.

“Kamu ini kenapa Ar, maksudmu butikku murahan?” mbak Dian yang panas duluan.

“Wah, sorry nih Mbak. Kayaknya aku sama Esti batal pesan baju di sini, nanti dibilang orang miskin,” Ariyo semakin memuakkan. Billy sudah bersiap untuk menghajar lelaki itu, tapi tangannya aku tahan.

“Kalau dilihat dari penampilan, calon suamimu kayaknya memang buka  orang kaya ya, An. Wajarlah, mana sanggup mengikuti selera Ana yang high class. Pesan cincin nya juga gak mungkin di Frank & Co. Ayo sayang, kita pergi dari sini. Level kita beda,” Ariyo semakin membusungkan dada.

Aku masih terkejut, penampilannya memang berubah drastis. Memang lebih bersih dibandingkan terakhir aku ketemu waktu SMA. Pekerjaan apa yang membuatnya tampak sukses? Bahkan untuk ukuran Mbak Dian, sebenarnya sudah tergolong butik mahal.

Aku dan Billy pun pamitan dengan Mbak Dian. Meminta maaf atas kejadian yang barusan terjadi. Namun tampaknya Billy bersikap berbeda. Di Mobil wajahnya tegang.

“Kamu ada apa, Bil?” tanyaku. Dia hanya menggeleng.

“Kamu jangan dengerin omongan Ariyo. Dasar orang kaya baru, kelakukannya ya norak begitu,” ucapku.

“An, apa benar kamu pernah memimpikan menikah di Ritz Carlton?” tanya Billy.

“Itu dulu sayang, sekarang ya  sudah, di mana pun kita nikah asal sama kamu, aku bahagia lah,”jawabku.

“Berapa sih An, harga sewa gedung di situ?” Billy masih membahas juga.

“Buat apa tahu, kita gak akan mampu. Sudah deh, jangan aneh-aneh,” aku malah kesal dengan sikapnya Billy.

“Kita gak usah makan dulu, langsung pulang saja. Aku capek,” pungkasku.
Billy tak menjawab lagi.

Di hari berikutnya, Billy semakin tidak banyak memberi kabar. Ketika aku chat pun balasnya singkat. Aku pikir memang kerjaannya sedang tidak bisa diganggu. Fine, aku harus menahan emosiku. Kata orang semakin dekat dengan hari pernikahan, ada saja masalah yang timbul.

Tiga hari berlalu. Sepulang dari project pemotretannya. Dia ke rumah dengan Kebab merek yang sama. Abah tampaknya tak antusias lagi, malah jangan-jangan sudah dianggap kewajiban Billy. Kami ngobrol santai. Abah memuji Billy yang sudah lancar membaca Al-quran. Di akhir obrolan, Billy bicara ke aku.

“Minggu lusa, kita foto prewedding ya,” ucapnya. Aku mengangguk. Ku antarkan dia sampai teras rumah. Ia pun segera mengemudikan mobilnya kembali ke rumah.

****

Hari minggu, aku dijemput Billy menuju lokasi pemotretan. Konsepnya sederhana, adegan-demi adegan menunjukkan aktivitas kerja kita. Dia biasa merekam dan aku menjadi reporter. Kita masih ingin bernostalgia kerja sama di tempat kerja yang lama. Di tengah perjalanan, aku merasakan hal yang ganjil.

“Bil, ini kamu gak nyasar?” tanyaku mengingat lokasinya tidak sejalan dengan apa yang direncanakan di awal.

“Kita pindah, konsepnya tetap sama kok,” jawabnya.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

“Lokasi yang kemarin kurang pas, An,” jawabnya.

Baiklah, aku tak akan memperdebatkannya. Bisa jadi memang Billy memiliki ide baru mengenai tempat.

Sampai di lokasi, aku pun berganti pakaian yang kita siapkan. Tidak ada gambar tentang gaun-gaun atau foto yang pada umumnya dibuat oleh calon mempelai. Hanya saja, aku sangat menyukai periasnya. Tampaknya dia sangat memahami warna kulit dan anatomi wajahku.

“Sudah selesai mbak,” ucap periasnya mengakhiri touch up nya di wajahku.
Selanjutnya aku menghampiri Billy yang lebih dulu sudah menunggu.

“Fotografernya belum datang ya, Bil? Tanyaku.

“Sebentar lagi, An. Kamu semakin cantik ya, gak salah aku ganti periasnya,” ucapnya.
Aku jadi berfikir, diganti?

“Memang rencananya bukan dia?” selidikku.

“Iya, memang harga berpengaruh ya,” jawabnya.
Aku mulai merasa ada yang aneh dengan Billy. Apa yang dia rencanakan sebenarnya? Aku membatin.

“Nah ini datang juga akhirnya,” Billy lalu menyambut kedatangan.. Eh tunggu. Aku kenal ini fotografer. Astaga, ini kan fotografer dari Axioo Photography. Setelah menyapa hangat pada fotografernya. Aku menarik tangan Billy. Ada hal yang harus dijelaskan.

“Ada apa, An?” dia berlagak polos.

“Kenapa kamu gak ngomong kalau fotografernya juga ganti, aku tahu. Kemarin waktu kita cari bareng, bukan pakai jasa mereka,” ucapku.

Sorry, An. Aku ingin ngasih kejutan ke kamu,” ucapnya.

“Bil. Thanks for surprised. But  I think, it’s so expensive, right?” protesku.

“An, aku ada uang. Aku bisa ngasih ini ke kamu,” ucapnya membuatku terkejut.

“Hei, kenapa arah pembicaraanmu soal uang. Kapan aku meremehkanmu soal uang?” kulikku.

“Aku akan berikan segalanya buat kamu, An. Ini proses sekali seumur hidup kan?” dia membela diri.

“Sumpah, aku gak paham kenapa kamu jadi begini,” pungkasku meninggalkannya dia.

Proses pemotretan pada akhirnya memang tetap terlaksana. Gila saja, sudah bayar mahal dibatalkan begtu saja. Bisa jadi semua persiapan yang dibatalkan oleh Billy pun uangnya tidak kembali. Aku berusaha menenangkan diri supaya proses ini tidak sampai gagal. Aku harus tetap melihatnya dari sisi positif, bahwa dia ingin memberikan yang terbaik untuk pernikahan kita.

Persiapan pernikahan semakin dekat. Tak banyak waktu lagi untuk menunda apa yang belum terselesaikan. Aku ingin memastikan bagaimana cincin pernikahan dan sewa gedungnya. Serta konsep resepsi nanti di Manado.

Dua minggu sebelum pernikahan. Billy mengajakku membeli cincin, untuk urusan ini memang tidak ada kesepakatan. Aku menyerahkan sepenuhnya ke Billy. Tetapi justru membuatku kaget. Dia mengajakku ke toko perhiasan Frank & Co.

“Bil. Kamu yakin ke sini. Hei, kamu pernah bilang kalau tabungan kita hanya 800 juta. Are you kidding me?” aku keberatan dengan pilihannya.

Bukannya aku tak pernah membeli perhiasan di toko ini. Tapi melihat kondisi keuangan dia, aku tak percaya kondisinya baik-baik saja.

“Kamu sudah sepakat kan. Apa pun cincin yang akan aku kasih kamu akan pakai,” ucapnya.
Yah, aku tak lagi protes. Harusnya memang aku senang, sama seperti perempuan lain yang langsung berbinar-binar mendapati pasangannya mampu membelikan barang mewah untuknya. Kalau bukan Billy, mungkin lain cerita. Ini Billy, calon suamiku yang ku kenal bagaimana sehari-hari. Bahkan pakaiannnya saja masih jarang yang keluaran brand ternama.

Kegelisahanku memuncak ketika Billy mengabarkan bahwa kita tidak jadi menyewa Hall di Grand Sahid. Di Ritz Carlton masih kosong, segera ia akan memesannya. Aku kali ini tak akan diam.

“Sekarang jelasin!! Kamu mendapatkan uang dari mana selama ini?” tanyaku.

“An, untuk sesuatu hal seumur hidup. Aku tak ingin mengecewakanmu. Aku sayang kamu, tak boleh seorang pun merendahkanmu. Aku ingin mewujudkan semua harapanmu. Aku ingin menjadi lelaki impianmu,” ucapan Billy membuatku tercengang.

Oke. Aku mulai menemukan akar masalahnya. Aku sangat kecewa dengan semua ini. kenapa dia justru tak mengenalku ketika kita akan bersama? Aku pergi meninggalkan dia.

“An…An…An..” dia berteriak memanggilku. Aku tak peduli.

Aku tak langsung pulang. Aku jadi teringat bagaimana dulu aku dan Billy memutuskan untuk bersama. Aku memesan taksi online menuju Café itu.

Aku merenungi semuanya. Aku memang dulu memimpikan pernikahan yang super mewah. Pernikahan seperti putri keraton atau royal wedding kerajaan Inggris. Aku tak menyangkal seandainya Billy bisa melakukan itu, pasti aku akan sangat bahagia. Tapi bukan dengan cara begini? Karena aku mengenal Billy bukan lelaki yang lahir dari keluarga kaya raya. Bahkan kalau aku memang masih berambisi dengan pernikahan mewah itu. Aku bisa menggunakan tabunganku. Tapi aku tetap menghargai dia sebagai lelaki. Aku telah memilihnya dengan segala kekurangan dan kelebihan. Menurutku itu sudah final.

Dalam keheninganku. Tiba-tiba Mas Tama menegurku.

“Hai, An. Sendirian saja?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Aku boleh duduk di sini?” tanyanya. Sekali lagi aku menunduk.

“Kamu lagi berantem dengan Billy?” Mas Tama langsung menebakku.

“Biasalah Mas, lagi persiapan pernikahan,” balasku.

“Gitu ya. Mas dulu ya sama. Ada saja hal tak terduga terjadi pra pernikahan. Apalagi nanti pas menikah. Dulu aku hampir cerai dengan Grace,” ceritanya.

Aku jadi tertarik mendengarkan. Kayaknya Mas Tama ingin aku mendengarkan kisah hidupnya. Ini kesempatan langka juga, mengingat selama ini aku hanya kena marah.

“Kenapa bisa hampir cerai?” tanyaku.

“Biasa An. Kejadiannya abis reuni SMA. Nah, dia kenal sama mantanku. Ternyata bagi dia lebih cantik dan bla..bla..bla.. lah. Aku sampai jengah mendengar ungkapan cemburunya. Hngga dua tahun pernikahan kami, aku mulai tak bisa menerima alasan kecemburuannya. Aku mulai lelah. Aku putuskan untuk mengakhiri rumah tangga kami. Eh ternyata malah dia hamil, gagal deh. Dan sampai sekarang pernikahan kami aman Sentosa. Kecemburuan dia dulu sudah mulai berkurang. Bisa jadi, dia lelah kali ya cemburuan terus. Laki nya ini kan memang mempesona,” ucapnya tanpa beban.

Aku bukannya sedih dengan ceritanya. Malah ingin ketawa mendengar pengakuannya bahwa ia mempesona. Menurutku perempuan mana yang sabar dekat dengan dia yang pedas omongannya.

So?” Mas Tama menatapku.

“Apa?” aku masih belum mengerti maksudnya.

“Kamu duduk sendirian di sini, bukan tanpa maksud kan?” ucapnya.

Aku tersenyum. Mas Tama ternyata menunggu ceritaku. Akhirnya ku ceritakanlah kronologis semuanya. Dia mengangguk paham.

“Kelemahan cowok ya itu, gengsinya gede kalau sudah disinggung soal uang,” responnya.

“Aku harus bagaimana ya Mas?” tanyaku minta pendapat.

“Hubungi saja dia sekarang. Suruh datang ke sini, aku pergi deh,” balasnya langsung bangkit.

Sebelum meninggalkan aku. Mas Tama menyemangatiku untuk kelancaran semuanya.

Aku paham dengan maksud Mas Tama. Dia ingin aku mengajak Billy mengenang awal kita bertemu dan menjalin komitmen. Untungnya dia mau.

Tak menunggu lama. Billy ada di depanku. Wajahnya tampak sendu.

“An. Aku belum bisa ya jadi yang terbaik buat kamu,” ucapnya lesu.

“Memangnya. Menurutmu, apa yang terbaik buatku?” tanyaku.

Dia tampak berfikir. Aku memang tak banyak keinginan, harusnya dia tahu bahwa keinginanku sekarang hanyalah hidup bersama dia. Bukan dengan harta-hartanya, mobilnya, rumahnya, dan semua fasilitas yang dia punya. Untuk apa? Kalau aku sendiri tidak bahagia dengan orangnya.

“Kamu kepikiran apa yang diucapkan oleh Ariyo? Salah besar kalau kamu mendengarkan semua omongannya. Hei, lihat aku, Bil. Ini aku Anna ada di depanmu. Sedang duduk berdua sama kamu, bukan Ariyo, Afdan, atau siapa pun itu masa laluku. You’re my everything, right now! Trust me, kamu percuma memberi segala kemewahanmu sekarang. Apa bedanya kamu dengan orang lain? Justru yang membuatmu spesial itu, kamu telah menerima aku, duniaku, dan semua hal yang aku miliki. Kita berjuang sama-sama menjalani ini. semua itulah yang tidak aku dapatkan dari orang-orang sebelumku,” jelasku sambil memegang tangannya.

“Karena kamu yang ku tunggu, maka milikmu tidak lebih penting dari hadirnya kamu itu sendiri”

Baru kali ini aku melihat Billy matanya berkaca-kaca. Entahlah apa yang barusan aku katakan. Dapat wangsit dari mana sampai ucapanku mampu membuatnya terharu. Tapi semua ucapan itu benar dari dalam hati. Pesta pernikahan sejatinya hanyalah apa yang tampak dari luar, yang dinikmati orang lain, dan menjadi ajang saling berbagi kebahagiaan. Tetapi hal yang terpenting sejatinya adalah aku bersama dia seumur hidup.

Billy lalu memelukku erat. Berkali-kali dia mengucapkan permohonan maaf. Dia menyadari telah melakukan kesalahan. Aku mengerti, walaupun perempuan di luar sana menghujatku dengan kalimat munafiq. Aku tidak peduli, aku telah beruntung mengenal Billy. Aku menunggu orang seperti dia sejak lama dan sekarang ada sedang memelukku. Alhamdulillah…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b