Pandangan
kosong mengaburkan dinding kamar yang terbuat dari anyaman bambu. Di luar,
terdengar samar suara obrolan anak-anak yang sedang bermain. Tidak ingin
ketinggalan, terdengar Ayam Jago berkokok, dentuman suara mesin motor melintas,
dan teriakan penjual bakso keliling yang kalah merdu dibandingkan dengan
dentingan mangkok yang sengaja ditabuh dengan sendok makan. Segala kebisingan
itu sekejap sirna ketika harum masakan menyeruak memenuhi seisi rumah.
“Sam,
kamu jadi ke rumah Hadi? Makanlah dulu!” teriakan Umi dari dapur.
Disebut
nama Hadi, aku semakin menahan sesak di rongga dada. Apa yang harus aku katakan
padanya nanti ya? Apakah dia bisa menerimanya? Satu per satu pertanyaan
berkumpul dalam pikiran menambah banyak hal yang sudah membuatku pusing. Ditambah
perut kosong, maka taka da alasan lain untuk menunda makan sebelum pergi. Siapa
tahu akan jauh lebih muda untuk diungkapkan nanti ketika pergi ke rumah Hadi.
Melangkah
ke dapur, aku melihat Umi masih sibuk merapikan perabotan dapur usai memasak. Ia
tak begitu peduli seberapa banyak peluh yang bercucuran di dahinya. Ia membiarkan
bajunya basah oleh keringat. Wajahnya menampilkan rasa lelah yang tak
berkesudahan. Aku pasti akan merindukan dirinya. Aku mendadak hanyut dalam rasa
yang tak pernah aku pikirkan selama ini. Sehari-hari, aku melihat rumah sederhana
ini sudah bosan, tak menarik, dan bahkan kadang malu mengajak teman sekolah
main ke rumah. Sekarang, sambil menyendok makanan aku sambil berlinang air mata.
Tidakkah ini berlebihan?
Suara
motor yang menandakan Abah telah pulang segera mengikis air mata yang tak bisa
ditahan.
“Samsul…
Samsul….” Teriakannya berhenti ketika apa yang dicarinya sudah terlihat di
depan matanya sedang makan.
“Ada
apa toh Bah, sampai teriak-teriak?” Umi yang lebih dulu menanggapi teriakan
Abah.
Abah
tampak menahan amarah. Ia berucap istighfar berkali-kali. Lalu ia melangkah ke
ruang tengah. Aku segera menyelesaikan makanku. Tak ingin Abah menunggu lama. Tentunya
dengan perasaan bingung, ada apa lagi?
Usai
makan, aku dan Umi saling tatap menunggu Abah berbicara.
“Kamu
tidak akan pergi ke mana-mana!” ujarnya membuka omongan.
“Maksud
Abah, apa?” tanyaku.
“Abah
tidak mau kehilangan anak laki-laki, Abah. Keputusan ini tidak bisa diganggu
gugat,” tegasnya.
“Kenapa
Abah jadi berubah pikiran?” aku menyela.
“Kamu
tidak jujur sama Abah, kamu ke Kota tidak sekadar bekerja kan? Kamu akan dikuliahkan
oleh Wahyuni kan? Ujar Abah menjelaskan.
Dari
mana Abah bisa tahu kabar tersebut? Umi pun tampak kaget. Kalau sudah begini, urusannya
jadi rumit.
Wahyuni
adalah kakak perempuanku. Bagi Abah dan Umi, anak perempuannya sudah meninggal.
Komunikasiku sama Mbak Wahyuni harus sembunyi-sembunyi apabila rindu mendengar
kabarnya. Apa yang telah Mbak Wahyuni lakukan terhadap keluarga memang tidak
bisa dibenarkan, tetapi aku sebagai saudara tak ingin hubungan kami putus
begitu saja.
Ku
lihat Umi gelisah ingin mengutarakan pendapatnya. Ada hal yang tampak ingin dia
ucapkan namun ragu. Sedangkan aku dalam posisi bingung bagaimana memulai
kalimat yang tidak membuat Abah semakin emosi. Ketika kondisi serba tidak
tenang, Umi mendekat ke arahku. Tangannya merangkul pundakku.
“Bah,
apa yang salah dengan Samsul sekolah lagi. Apa yang bisa diharapkan di desa
ini, Cuma jadi penati sayur, menanam Gubis, Wortel, Brokoli, dan Sawi. Apa Abah
tidak ingin kalau melihat anak laki-laki ini menjadi orang hebat?” aku terpanah
mendengar ucapan Umi yang lembut menyiram segala kegundahanku. Aku merasa
percaya diri untuk berpendapat. Umi ada di pihakku.
Abah
menatap Umi tajam. Lelaki di depanku tak seperti orang yang ku kenal selama
ini. Ia lalu melipat lengan bajunya.
“Umi
sadar apa yang dikatakan tadi. Apakah Umi rela kehilangan anak untuk kedua
kalinya? Umi rela membiarkan Samsul masuk neraka?” ujar Abah matanya memerah. Lalu
Abah berdiri menghindari tatapan kami. Punggungnya tampak bergerak, kemudian
terdengar suara sesenggukan.
“Apakah
Kristanto orang yang buruk? Tidak, pertama Abah mengenalnya dia telah membantu
banyak keluarga ini. Bahkan Wahyuni berkali-kali dibantu uang sekolahnya. Abah
teledor, ternyata mereka tak sekadar berteman. Hingga Wahyuni pamit ke kita
untuk memutuskan ikut bersama Kristanto. Jadi, kebaikan dia selama ini punya
niat terselubung menyesatkan Wahyuni, membuat anak perempuan Abah menjadi murtad.
Sejak itulah Abah benci mereka, Abah ini tokoh agama di kampung kita, Umi.
Kenapa sekarang malah Samsul yang membuka luka lama itu?” Suara Abah tidak
sekeras tadi.
Aku
menatap Umi meminta pendapatnya. Aku memang pernah menyaksikan kegaduhan itu tiga
tahun silam. Mbak Wahyuni menjadi omongan warga kampung, bahkan cukup lama Abah
tak berani lagi menjadi Imam Masjid. Kalau saja Pak Kades tidak mencegahnya, ia
sudah keluar dari kepengurusan Ta’mir Masjid. Semua ceirta itu aku tidak lupa,
tapi ada hal yang ingin aku sanggah dari sudut pandang Abah. Akan tetapi aku
urungkan. Aku belum pantas memberi nasehat.
“Sam,
kamu tadi mau main ke rumah Hadi kan? Biar Umi sama Abah bicara empat mata dulu,”
ujar Umi. Sebelum aku menyanggah saran umi, dia menepuk pundakku sambil berucap
pelan “Insya Allah kamu tetap berangkat besok”.
Aku
pergi tidak membawa motor Abah. Aku memilih jalan kaki saja, berhubung rumah ku
dan Hadi hanya berjarak sekitar 500 meter. Namun sepanjang jalan aku masih
kepikiran apa yang mereka bicarakan di belakangku. Apakah benar jaminan Umi
bahwa aku akan tetap bisa ke Kota tinggal bersama Mbak Wahyuni? Atau justru
pada keputusan aku akan tetap di kampung ini, yang sudah bisa ditebak karirku
nanti, melanjutkan perjuangan Abah sebagai Imam Masjid.
Sampai
di rumah Hadi, ku lihat dia ada di teras rumah sedang merokok. Aku menyapanya
penuh semangat. Tapi…
“Masih
mau main ke rumahku, toh?” ia sinis
menyambut kedatanganku.
“Had,
kenapa kamu ngomong begitu?” tanyaku baik-baik.
“Kamu
mau jadi Anak Kota kan? Kenapa masih datang ke sini, kumpul sama petani. Apa menariknya?”
ucapan Hadi semakin membuatku kesal.
“Aku
tidak menyangka Had, kalau kamu sepicik itu?” ujarnya.
“Kalau
kamu masih anggap aku temanmu, nih!” ia melemparkan sebungkus rokok.
“Kamu
tahu kan, aku tidak merokok?” aku menolak.
“Yowes!”
dia bangkit dan masuk ke dalam rumah meninggalkanku yang masih mematung di
teras rumahnya.
Aku
tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Kenapa semua orang tidak ada yang
mendukungku untuk maju? Orang-orang terdekatku malah menganggapku sebagai
musuh, orang yang harus dihindari.
Mendapati
aku yang tak disambut baik, ku putuskan untuk pulang. Aku bersiap saja di rumah
pun akan menuai keputusan yang tidak aku harapkan. Namun ketika sampai rumah,
Abah tidak ada lagi di rumah. Umi pun tak membahas apa pun, ia sibuk memberi
makan ternak bebek di belakang rumah.
Usai
Salat Isya, Abah pulang ke rumah. Ia memanggilku untuk duduk di ruang tengah.
Ia masih mengenakan sarung dan baju koko berwarna biru muda.
“Sam,
Bapak di kampung ini adalah tokoh agama. Semua orang memberi hormat ke Abah. Mata
warga kampung selalu mengawasi perilaku keluarga kita. Bagi Abah, itu semua
sudah cukup dalam hidup Abah. Boleh saja, ternyata apa yang Abah pikirkan jauh
berbeda dengan kamu. Abah tak pernah bertanya apa keinginanmu, malah Abah sibuk
menyimpulkan sendiri apa yang harus kamu lakukan. Apa iya, kehilangan kamu hal
yang harus terjadi?” ujar Abah tampak gamang.
Baiklah,
sekarang mungkin waktunya aku berbicara. Setidaknya memberi keyakinan kepada
Abah bahwa kekhawatirannya tidak perlu dilakukan.
“Bah,
sudah banyak hal yang Abah ajarkan kepada Samsul. Bagiku Abah sudah menjalankan
kewajiban sebagai orangtua, pada hari perhitungan amal kelak, insya Allah
dibalas dengan ridho-Nya untuk masuk surga. Kalau ketakutan Abah adalah
kehilangan fisikku, boleh jadi malam ini pun tidak sulit bagi Allah kan Bah? Hidup
dan mati ada di tangan-Nya. Akan tetapi, jika Abang khawatir Mbak Wahyuni
merusak hubungan baik keluarga ini, Samsul bisa berjanji ke Abah untuk tidak
pernah lalai Salat. Itu kan yang selalu Abah ajarkan kepada kami. Kasus Mbak
Wahyuni memang pukulan berat bagi keluarga ini. Tapi kalau Samsul boleh sarankan
kepada Abah, jangan pernah menyalahkan Mas Kris atau Mbak Wahyuni, kewajiban Abah
sudah dilakukan, Allah lah yang membolak-balikkan hati. Bukankah sebaiknya Abah
mendoakan mereka supaya bisa mengenal Allah? Maaf Bah, selama ini Samsul
diam-diam sering mengirim kabar ke mereka. Mbak Wahyuni kangen sama Abah dan
Umi, loh.” Jelasku cukup lancer. Entah kenapa ada perasaan lega yang luar
biasa.
Abah
tidak langsung merespon ucapanku. Ia seperti memikirkan banyak hal. Aku melihat
mata kerinduan yang sama antara Abah dan Umi kepada Mbak Wahyuni. Sangat sulit
memahami perasaan orang tua yang telah kehilangan kesamaan akidah dengan
anaknya. Aku belum menjadi seorang bapak. Umi meninggalkan kami berdua, ia
beranjak ke dapur mematikan kompor yang tadi merebus air.
“Baiklah,
kemasi bajumu. Palek Qomar yang
mengantarmu ke terminal,” ujar Abah menepuk pundakku dengan senyuman takjim. Aku
menatapnya bahagia, tanpa bisa ku cegah, rangkulan sayang ku lakukan. Hal yang
selama ini belum pernah ku lakukan kepada Abah.
“Sulit menebak isi hati, jangankan hembusan udara yang terhirup
setiap detiknya, hati itu sendiri masih sering bertanya”
Amir Za
Isi hati jangan ditebak... Tanyakan dong.. Hehe
BalasHapusToh jika diungkapkan akan muncul beberapa pertimbangan dan akhirnya tersampaikan sesuai kehendak hati juga insyallah sesuai harapan. Hehe �� Ceritanya bagus awal baca mau ku tebak setelah begini selanjutnya apa.. Eh ternyata yg mau kutebak salah.. ������
Semoga menikmati ceritanya kaka...
HapusWaduhh, luar biasa ya..
BalasHapusTerima kasih. Kritik dan sarannya boleh kaka..
Hapus