Langsung ke konten utama

Aku Harus Menjawab Apa?


Semua jawaban berkumpul di dalam pikiran. Saling bersautan ingin lebih dulu diutarakan. Sedangkan mulutku sukar untuk terbuka. Aku tidak tahu, hal mana yang membuat semua beban bisa dirinngankan apabila aku mampu menjawab. Padahal aku sudah mengantisipasi keadaan ini, sudah sangat ku siapkan. Tapi, hari ini aku masih saja kaget dan memikirkan.

****

Aku punya cerita, maukah kalian membacanya?

Bangun tidur, ku lihat ponselku. Ada pesan masuk di daftar pesan Whatsapp ku. Sebuah nomor yang tidak aku simpan berada di deretan paling atas. Ada tulisan pendek yang berbunyi:

Maafkan aku kalau baru bilang sekarang..

Segera aku buka isi pesan tersebut. Tampaknya dari seseorang yang aku kenali, dulu. Ternyata di atasnya cukup banyak tulisan yang dikirim beberapa kali.

Mas, apa kabarmu?

Setahun lebih ya, kita sudah tidak lagi berkomunikasi. Lebih tepatnya, aku yang memutuskan untuk tidak berbicara. Memilih pergi tanpa menjelaskan apa pun kepadamu. Aku sudah jahat ya?

Semalam aku Salat Tahajud, dan dalam tidurku terjadilah mimpi yang menurutku adalah sebuah petunjuk. Aku memimpikanmu, Mas. Aku melihat kamu di sebuah taman, ku pikir itu adalah Taman Gumul. Kondisinya sangat ramai, tapi aku melihat kamu duduk berdua dengan seorang perempuan. Aku melihat dia mengajakmu berbicara dengan bahasa yang tak ku mengerti. Hanya saja, aku tak melihat kamu menanggapi ucapan dia. Kamu malah menatapku dengan raut wajah tak bahagia. Berkali-kali aku mengerjapkan mata, memastikan bahwa pandanganku tidak salah. Hingga aku terbangun, wajahmu itu masih jelas teringat dalam pikiranku.

Usai Salat Subuh, dalam doaku, sekelebat tampak bayanganmu di depanku. Aku sungguh kaget, takut, dan kemudian aku menangis. Aku menyadari satu hal, aku salah sama kamu, Mas. entah kenapa mimpi itu menuntun keberanianku untuk sekarang menjelaskan sesuatu yang pernah aku tutupi dari kamu. Sekarang aku ingin mengatakannya.

Mas, setahun yang lalu aku pernah menjelaskan kepadamu bahwa ada masalah keluarga yang membuatku tak bisa melanjutkan hubungan kita kan?

Aku tidak berbohong soal itu, hanya saja masalah keluarga yang terjadi bukan seperti yang kamu bayangkan. Bukan pula soal keraguanku tentang masa depan kita, karena kamu menganggur. Sungguh, aku sama sekali tidak pernah meragukan hidup bersamamu. Tapi justru yang meragukan itu adalah Ayahku, Mas.

Usai aku berkunjung ke rumahmu, bertemu kedua orang tuamu, dan saudara-saudaramu, Ayahku bertanya seperti apa mereka. Maka aku ceritakanlah apa yang aku lihat dan rasakan. Entah kenapa aku merasa hal itu bukan kabar baik bagi Ayah. Ia lalu menggenggam tanganku, tangannya dingin.
Mala, Ayah senang kamu bertemu dengan lelaki yang baik. Ketika dia datang ke rumah ini, Ayah pun memiliki kesan yang baik juga. Tapi dengarkan satu hal ini, Nak!!

Keluarga kita memiliki latar belakang yang cukup jauh, baik status sosial maupun ekonomi. Keluarga kita sudah berpengalaman soal ini. IBUMU, Ayah sangat menyayanginya. Keluarga Ayah juga sangat menyayanginya. Namun siapa yang mengira bahwa IBUMU ternyata menyimpan beban yang cukup berat. Selama ini ternyata dia berusaha mengimbangi keluarga Ayah. Melakukan apa pun, bahkan untuk hal paling sederhana, soal berpakaian. IBUMU selalu takut, pakaian yang dipakai tidak berkelas, memalukan keluarga, hingga semua sikap IBUMU menjadi tidak apa adanya. IBUMU memang berhasil menunjukkannya, tapi pada akhirnya dia lelah. Penyakit Kanker itu akhirnya merenggut orang yang paling Ayah cintai. Hal itu yang tak ingin kamu mengalaminya, Nak.
Mendengar ucapan Ayah, aku sempat berfikir banyak, Mas. Aku bahkan berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa kamu dan keluargamu bisa menerimaku apa adanya. Hanya saja, satu nasehat yang membuatku sepakat dengan perkataan Ayah.

“BAGI ORANG YAMG SALING MENCINTAI, IA BISA SALING MELINDUGI, MENENANGKAN, BAHKAN MENGUATKAN. TAPI TIDAK BISA MERUBAH SILSILAH”

****

Usai membaca pesan yang cukup panjang itu, aku masih belum tahu harus menanggapi apa. Bisakah kalian membantu menjawabnya?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b