MENANGIS,
hanya itu cara yang bisa ku lakukan sekarang. semua ketakutanku, keraguanku,
dan sikap pengecutku setahun yang lalu telah menghukum diriku hari ini. Tidak,
aku tidak ingin menyalahkannnya. Hanya saja, apakah semudah itu?
Tidak
mudah, Mala. Siapa bilang mudah? Itulah jawaban darinya.
Ia
lalu menghubungiku melalui panggilan video. Dia sekarang tampak lebih gemuk dari
waktu bersamaku. Aku berusaha untuk menatapnya, memberanikan diri. Ia lalu
menjelaskan semuanya, tentang dirinya dan kondisinya sekarang. aku harus siap
mendengarkannya. Tak lagi aku ingin menghindari.
****
Kamu tahu, apa pun bisa terjadi dalam
setahun.
Desember 2017, aku telah siap untuk
melamarmu. Kamu tahu soal itu. Bahkan aku sudah menyiapkan tiket kepulanganku
ke Surabaya. Ibu dan Bapakku pun sudah menyiapkan segalanya, selayaknya adat
istiadat yang berlaku di rumah. Pada waktu yang bersamaan, aku sebenarnya ragu
apakah hal bahagia itu akan terjadi. Hanya aku yang tahu, bahwa dalam dua bulan
sebelumnya, kamunikasi kita sudah tampak renggang.
****
Ia
lalu senyum. Sebuah senyum getir yang dipaksakan. Ia sedang membawaku pada
ingatannya setahun silam. Sesuatu yang tak pernah aku bayangkan.
****
Mala, ibu ku sudah cerita ke
tetangga-tetangga kalau anaknya akan segera melepas masa lajang. Ia bahkan
memesan kelapa untuk segera dibuatkan Wingko, makanan wajib untuk melamar. Ah,
aku tidak bisa membayangkan kebahagiaan ibu waktu itu. Apalagi Bapak, ia berkali-kali
menolak pisang di kebunnya dibeli sama penjual pisang. Ia telah menyiapkan
pisang terbaik yang dimilikinya.
aku terharu, ternyata mereka sangat
menyayangiku.
*****
Kali
ini aku yang menyeka air mataku. Rasa bersalah mendalam ini semakin menyesakkan.
Tapi aku tetap ingin mendengarkan ceritanya, sampai dia merasa lega untuk
mengungkapkan.
****
Jadwal kepulanganku tiba. Berbekal baju
batik yang sudah ku siapkan dengan harga di atas yang biasanya aku beli. Aku ingin
semuanya istimewa, right?
Aku pun telah mengabarimu kalau aku
di hari itu pulang ke rumah dan ku tegaskan juga siap untuk melamarmu. Aku tetap
percaya diri bahwa kamu siap ku pinang.
Sampai di rumah, ibu bapak ku
mempertanyakan tanggal berapa keluarga kamu siap menerima kedatangan
keluargaku. Wow, aku harus tetap tampil bahagia di depan mereka, walaupun aku
semakin sadar bahwa harapan itu tampaknya tipis sekali. Kamu tak kunjung
membalas pesanku. Bahkan teleponku tak juga kamu tanggapi. Hingga kamu
menuliskan pesan yang membuatku mengerti bahwa semua telah berakhir di Januari.
Aku kecewa? Iya.
Aku sedih? Iya.
Aku marah? Iya.
Tapi aku merasa lega. Ternyata inilah
jawaban dari Tuhan atas segala doa-doa yang ku sampaikan ketika bangun tidur
dan malam menjelang tidur. Pesanmu yang membuat beragam pertanyaan itu tak lagi
aku pedulikan, karena aku percaya dengan kehendak-Nya. Sederhana saja, ternyata
kamu bukan JODOHKU.
Bagaimana dengan ibu bapakku?
Mereka memang tidak sesiap aku,
bahkan sempat memaksaku untuk menemuimu. Namun pada akhirnya mereka mengerti,
ANAKNYA TIDAK BOLEH SEDIH.
Dua minggu kemudian aku putuskan
untuk kembali ke Jakarta. Kembali menata kehidupan dari nol. Mencari pekerjaan
yang lebih layak. Untungnya tak perlu waktu lama, pekerjaan itu datang
menghampiriku. Aku diterima di perusahaan penyedia barang dan jasa. Cukup bonafit
dari gaji yang aku terima. Pekerjaan membuatku tak begitu merasakan patah hati
ditinggalkan. Aku mengenal rekan-rekan kerja yang kompak dan saling mendukung. Hingga
aku lebih dekat dengan perempuan bernama Lina, keponakan dari Kepala Bagian
Perencanaan.
Lina perempuan yang baik. Obrolan
kami nyambung, bahkan pada hal yang cukup pribadi. Visi misi hidup kita hampir
sama. Dengan seiringnya waktu, tibalah dia menyatakan ingin menjalin hubungan
serius denganku. Hanya saja aku ragu, Lina bukan perempuan biasa. Kasta kami
cukup jauh dari keluargaku. Sebagai lelaki, hal yang umum akan tidak percaya
diri dengan perbedaan kelas sosial yang kami miliki. Aku sampaikan jujur
tentang itu kepadanya, bahkan aku memikirkan perasaan ibu ku apabila memiliki
menantu yang dari segala hal jauh lebih dari yang ibu bayangkan. Mala, kamu tahu
apa yang dikatakan Lina kepadaku?
Bima, aku tahu akan sulit bagiku
untuk mengerti kehidupan keluarga kalian. Merasakan tinggal di kampung tanpa
pendingin ruangan, banyak nyamuk, dan akses internet terbatas. Bahkan mungkin
aku akan kesulitan untuk menemukan Salon Kecantikan yang sesuai dengan
kebutuhanku. Atau banyak hal yang akan berubah dari pakaianku, karena nilai kesopanan
di kota dan desa itu berbeda. Hal yang sama dengan kamu, pasti akan kerepotan
menyesuaikan dengan gaya hidup keluargaku. Mengendarai mobil mewah yang belum
pernah kamu sentuh, obrolan tentang liburan ke luar negeri yang belum pernah
kamu rasakan, bahkan barang-barang merek terkenal yang sulit kamu ucapkan.
“Kita Akan Sama-Sama Lelah Dengan Perbedaan,
Tapi Sebuah Lelah Yang Melegakan. Karena Ketika Kita Berdua Menengok Ke
Belakang, Ternyata Semua Mampu Kita Lalui Berdua. Perbedaan Yang Kita Miliki
Akan Tergantikan Oleh Anak-Anak Kita Nanti Yang Berjuang Lebih Baik Dari Kita”
Kalimat
itu mampu membuatku percaya diri dan meyakinkan keluargaku untuk tampil masuk
ke dalam keluarga Lina. Dua minggu lagi pernikahan kami akan digelar, aku minta
doamu semoga Tuhan memudahkan segalanya.
Satu
hal yang harus kamu tahu, sampai detik ini perasaan cinta dan sayang ke kamu
tetap sama, hanya saja waktu telah membuatnya tak lagi bersama. Pengakuanmu,
penjelasanmu, bahkan kejujuranmu, tak lagi berarti sekarang. Seandainya aku pun
masih sendiri, aku akan berfikir seribu kali untuk kita memulai dari awal,
tidak semudah itu.
Terima
kasih atas pengakuanku. Inilah jawabanku. Semoga ini menjadi pelajaran terbaik
buatmu ke depan. Jodoh pun segera menghampiri.
Assalamualaikum…
****
Bima memutuskan panggilan videonya. Yah, semuanya
selesai. Mau dikatakan apalagi?
Komentar
Posting Komentar