Langsung ke konten utama

NILA SETITIK


The Famous Five, itulah ibarat pertemanan aku dengan Dira, Fatimah, Angga, dan Aditya. Bagi kalian yang pernah baca karya Enid Blyto, Novelis dari Inggris tersebut, akan paham bagaimana pertemanan lima sekawan itu. Bedanya, kalau The Famous Five adalah lima sekawan yang terkenal dengan pengalaman misteriusnya, kami termasuk yang suka bikin masalah di kelas karena keseriusan kita dalam belajar. Aaiiiiih.

Kami selalu kompak untuk mengerjakan tugas kuliah bareng. Hampir setiap selesai kuliah, kami selalu menyempatkan untuk berkumpul. Walaupun kuliah kita malam, tak menyurutkan semangat kami untuk tetap berkumpul. Gak selalu bisa sama-sama ya, terkadang salah satu di antara kita ada saja yang tidak bisa berkumpul.

Apa saja yang biasanya kami bicarakan? Bisa dibilang tidak terlalu berfaedah. Hanya saja, teman-teman kelas kami selalu mengira kita membicarakan tentang perkuliahan. Betul ya, beberapa kali kesempatan pasti membahas soal tugas kuliah yang terkadang membuat kami susah menikmati wkatu libur kerja kita di hari sabtu dan minggu. Karena selain kuliah malam, siangnya kami semua bekerja di tempat yang berbeda.

Hanya saja, mala mini aku tidak bisa tidur. Pikiranku masih susah mengerti apa kesalahanku. Berkali-kali aku mengecek chattinganku dengan Dara.

Cie Dira. Selamat ya, akhirnya Dana mau gak illfeel lagi sama kamu. Dijaga baik-baik ya kesan baiknya, apalagi tadi aku perhatikan sudah bisa ngobrol sesantai itu.

Memangnya selama Dana illfeel sama aku? Kenapa kamu bisa bilang dia illfeel, memang dia cerita ke kamu apa saja, Nal?

Gak cerita sih, kan keliatan gelagat dia.

Gelagat yang mana ya. Perasaanku dia selama ini biasa saja pas aku ajak ngobrol. Memang gak seasyik tadi sih. Tapi kamu gak bisa dong membuat kesimpulan kalau dia illfeel sama aku gara-gara pendapatmu yang gak kuat itu.

Hehe, iyaa aku yang salah nerka kali ya. Sorry…

Aku gak suka ya dengan pernyataanmu kayak gitu. Seolah-olah aku yang ngejar-ngejar dia banget. Kamu seolah merendahkan aku sebagai cewek yang murahan.

Astaga, sorry Dira. Aku gak pernah berfikir sampai sejauh itu loh. Aku minta maaf, ternyata aku salah ngomong.

Chatku itu hanya dibaca saja oleh Dira. Aku jadi bingung sendiri, bukankah dia selama ini yang gelisah kalau semua usaha untuk bisa mengambil hati Dana takut tidak disambut baik? Memang betul, Dana tidak pernah bercerita apa pun ke aku soal perasaannya ke Dira. Tapi aku bisa menebak isi hati cowok itu, dia tidak nyaman apabila Dira tampak sekali cari perhatian ke Dana. Beberapa nasehat yang ku berikan ke Dira supaya lebih ada alasan yang masuk akal ketika ingin ngobrol dengan Dana. Terbukti, semua saranku diterima baik oleh Dira dan berhasil. Tapi sekarang kok…..

Ya Allah, apakah dia benar-benar marah? Aku pun langsung teringat ke Fatimah. Aku segara menghubungi dia.

“waalaikum salam, Nal. Ada apa malam-malam telepon aku?”

“Kamu sudah tidur, Fat?”

“Belum, aku baru saja baca Quran,”

Aku pun lalu menceritakan apa yang baru saja aku alami. Fatimah langsung mengerti titik permasalahannya. Dia pun pernah mengalami hal yang sama, Dira memang susah ditebak. Dari awal kita kenal berlima, Dira memang yang paling sensitif di antara kita. Namun dua tahun berjalan, Dira tampaknya bisa menyesuaikan dengan cara kita bercanda dan berkomunikasi.

“Biarkan saja, Dira lagi butuh waktu sendiri. Sudahlah, besok-besok dia bakal baik lagi kok,” Fatimah mencoba menenangkanku.

Sayangnya, apa yang dibicarakan Fatimah tidak terbukti. Dira yang hampir setiap hari selalu mengirimkan pesan dengan segala curhatannya, sudah tiga hari ini dia tidak menghubungiku. Aku jadi khawatir dia serius marah, atau bahkan sudah tidak mau berteman dengan aku lag. Apalagi sekarang kan sudah tidak ada kelas lagi. Kita sekarang sedang mengerjakan tugas akhir. Sehingga waktu berkumpul pun susah. Nah, kebetulan hari ini adalah hari minggu. Aku coba ngirim pesan di grup Whatsapp yang kami namai “Lulus Bareng”.

Guys, ketemu yok di Starbucks Kokas

“Jauh amat Nal, sini ke Penvill bae. Gue lagi di J.Co” Angga

“Sorry Nal. Aku lagi ada kerjaan di luar kota” Aditya

“Aku masih ada kajian di Depok” Fatimah

Aku tunggu respon dari Dira. Dia tak kunjung membalas chatku. Ternyata dia masih marah sama aku. Maka ku putuskan ke Penvill saja ketemu Angga. Sampai di sana, aku langsung bisa mengenali pakaian Angga.

“Sendirian nih, Ngga?”

“Kagak, tadi bareng adik gue. Dia sekarang sudah cabut duluan. Gimana lancar kerjaan?”

“Ya begitulah. Elo sendiri gimana, kemarin kayaknya gue lihat status elo lagi ke Bandung”

“elo ya. Kenapa gak ditanya pas gue update foto, kan gak lupa ngejelasinnya,”

“Bangkeeeee”

Angga lepas sekali ketawanya. Aku pun jadi ikut tertawa.

“Eh, elo lagi selek sama Dira?”

“Fatimah cerita ya ke elo?”

“Cerita apaan, Fatimah gak bilang apa-apa,”

“Eh, jadi benar nih tebakan gue, padahal basa-basi doang loh gue nanya,”

Aku pun menceritakan masalah yang terjadi antara aku dan Dira. Angga juga heran kenapa Dira sampai sesensitif itu,  padahal yang diketahuinya adalah Dira sangat dekat dengan aku. Angga malah mengira bahwa ada hubungan khusus antara aku dan Dira, mengingat lebih sering nongkrong berdua dibandingkan dengan kita berlima. Di tengah obrolanku dengan Angga, ada pesan masuk:
“Kalian masih di Penvill? Aku selesai kajian nih. Aku nyusul kalau masih di sana”

Aku pun mengiyakan pesan Fatimah. Sambil menunggu Fatimah, aku mendengarkan omongan Angga.

“Eh, menurut gue ini ya. Elo tuh cocok sama Dira. Gue perhatiin juga ya, Dira itu kan tipe elo banget Nal, memangnya elo gak sange sama dia,” ucap Angga.

“Bangke, ngomong dijaga ya. Untung gak ada Fatimah. Bisa kena ayat-ayat cinta elo,” sanggahku mengomentari kata ‘sange’ yang dipakai.

“Tapi benar kan, setahu gue, elo pernah cerita kalau suka cewek yang tipe nya kayak Dira. Iya gak sih?” Angga makin mendesakku.

“Salah, gue ini sebenarnya suka sama elo, bangke…” jawabku asal.

“Njiiir. Jauh-jauh lah dari gue. Kagak sudi gue jadi homo kayak elo,” ucapnya dengan ekpresi yang membuat gue terpingkal-pingkal.

“Kagak lucu, bangkee..” dia masih tak terima.

Tak lama kemudian, datangnya Fatimah.

“Wah seru kayaknya obrolan kali ini. Boleh dong diceritakan apa saja topik hari ini,” ucapnya sambil mencari posisi duduk.

“Tumben lupa kaga salam dulu elo Fat,” Angga menyela.

“Please ya, ke kalian itu gak ada kedamaian apa pun. Jadi gak usah diucapin salam,” sanggah Fatimah sambil memilih menu.

Angga berdecak dengan jawaban Fatimah. Aku hanya tersenyum saja melihat tingkal konyol teman-temanku ini.

Tiba-tiba aku merasa waktu kebersamaan kita tinggal menghitung bulan. Kita telah melewati pahit manisnya  pertemanan. Aku pasti akan merindukan mereka. Tanpa terasa mataku berkaca-kaca.

Astaghfirullah. Jangan nangis di sini Nal. Malu lah Ikhwan masa nangis,” Fatimah sadar dengan perubahan ekpresi di wajahku.

“Lagi patah hati dia, karena dijauhin Dira. Kan selama ini lengket banget mereka kayak post-it,” Angga menyentil lagi masalahku dengan Dira.

“Ah itu mah, masalah kecil. Dia itu galaunya kalau kamu tiba-tiba ngilang, Ngga.” Fatimah membuat pernyataan yang tak ku duga.

“Maksudnya?” sikap Angga mulai berubah.

“Eh, bercanda. Lanjut deh ke masalah Dira,” Fatimah pun tampaknya sadar apa yang diomongkan tadi.
\
“Bentar, gue rasa ini ada yang kalian sembunyikan. Tadi si Nal bilangnya, suka sama gue. Nah elo bilang kayak gitu juga Fat. Okelah kalau si Nal doang yang ngomong, gue anggap bercanda. Tapi kalau elo, jarang-jarang deh elo bercandaan kayak gitu. Jadi si Nal pernah cerita kayak dia suka sama gue?” omongan Angga tak bisa ditahan.

“Elo ngomong apaan Ngga, jangan ngaco!!”

“Nal, gue gak masalah sama Homo. Gue juga punya teman yang homo, tapi gue bakal ngejauhin siapa pun yang suka sama gue. Itu prinsip gue!!” Angga berdiri.

“Ini ada apa sih?” Fatimah malah bertanya konyol. Dalam situasi seperti ini dia malah tidak membantu mendinginkan suasana.

“Ooooh. Gue sadar sekarang. ternyata perhatian elo, sering chat gue, ngingetin tugas, jangan lupa Salat. Ujungnya ini Nal? Brengsek!!!” Angga pergi meninggalkan kita berdua. Dia tidak bisa dicegah lagi.

Aduh, kenapa masalahnya jadi gak bisa terkontrol.

“Aku salah ngomong ya Nal?” Fatimah tampak bersalah.

Aku menggeleng. Ini bukan salah dia, masalahnya adalah candaan aku dan Fatimah kompak. Jadi seakan-akan kita berdua memiliki rahasia tentang Angga.

“Padahal aku ke sini mau kasih kabar bahagia loh”

Aku menatap Fatimah.

“Enggak jadi deh. Bukan waktu yang tepat”

“Aku siap dengar kok. Ayo cerita,”

Fatimah pun menceritakan kalau ada seorang Ikhwan mau melamar dia. Tapi dia bingung apakah lelaki itu bisa menerima kehadiran gank kita. Fatimah gak mau pertemanan kita bubar gara-gara dia menikah dengan lelaki yang nantinya tidak memperbolehkan ia bergaul dengan cowok. Aku paham, orang-orang seperti Fatimah memang tidak banyak yang mau bergaul dengan lawan jenis sedekat kami. Bahkan untuk duduk berdua saja seperti sekarang, bisa dibilang langka. Aku pun memberikan nasehat padanya.

“Fat, teman akan selalu menjadi teman. Gak harus selalu bareng-bareng kan? Bisa jadi inilah waktunya kamu memikirkan masa depanmu, urusan pribadimu,”

“Jadi menurutmu, aku harus ninggalin kalian?”

“Kalau menyangkut hal itu, kenapa tidak?”

“Jadi aku salah ya, menanggap selama ini kalian adalah keluarga baru buat aku. Ternyata sebatas ini definisi teman buatmu ya Nal. Aku selama ini bimbang menerima lelaki itu karena aku pikir akan menghilangkan kebersamaan kita yang sukses membuatku bahagia. Ah, aku saja ternyata yang berfikir kita ini bukan hanya teman, melainkan sudah saudara,”

“Astaghfirullah, bukan itu maksudku loh,”

“Sudahlah Nal, aku pamit. Assalamualaikum” Fatimah meninggalkan aku.

Aku tercengang sendirian. Minggu macam apa ini ya?

Kenapa mereka mudah sekali sensitif. Akan kah ini akhir dari pertemanan kita selama 2 tahun?
Benar saja, setelah kejadian di hari minggu. Komunikasi kita berlima putus. Aku akhirnya fokus menyelesaikan tugas akhirku. Tiga minggu telah aku lalui sendirian, bolak balik bimbingan ke Dosen hingga mendapatkan acc untuk sidang.

Aku memutuskan pulang sebentar ke kampung halaman ke Surabaya. Sekalian aku pamit ke mereka, keluargaku. Aku akan merindukan kehangatan keluarga. Dalam perjalanan menggunakan kereta api, aku terbesit untuk menulis sesuatu.

“CERITA INI BOLEH TIDAK PENTING UNTUK KALIAN BACA. TAPI KALIAN PENTING BUAT AKU CERITAKAN”

Times flies. Rasanya baru kemarin aku kenal kalian. Mengenal orang-orang yang merubah banyak pandanganku tentang sesuatu. Pertama, aku mengenal Aditya. Orang yang pertama kali melakukan chat ketika aku resmi diterima sebagai mahasiswa atas beasiswa. Anaknya ramah, periang, tetapi tampil rapi sekali. Rasanya pas punya teman baru yang cocok komunikasinya. Hanya saja, akhir-akhir ini komunikasi kita jarang terjadi, dia sibuk sekali dengan pekerjaannya. Aku jadi sungkan untuk hanya sekadar menanyakan kabar.

Kedua, Angga. Cowok yang bisa dibilang paling tampan di kelas. Seperti karakter cowok tampan pada umumnya. Dia suka tebar pesona kalau ada cewek yang serius sekali memperhatikannya. Hal tersebut ditunjang dengan kemapanan ekonomi yang dimiliki. Berbeda dengan aku yang hidup dengan ekonomi sederhana. Tapi dia bukan teman yang sombong, bahkan tak rishi ketika aku ajak makan di kantin kampus atau bahkan bersedia menemaniku makan Soto Ayam, kesukaanku di depan kampus yang bising dengan kendaraan. Kenapa aku memiliki perhatian khusus ke dia? Bukan karena aku menyukainya, tapi lebih ada rasa bangga, punya teman tampan plus kaya. Serasa ikut nebeng kepopularan, brengsek sih ya. Tapi harus aku akui, follower instagramku jadi nambah karena berteman dengan dia.

Ketiga, Dira. Dia ini adalah duplikatnya Angga versi ceweknya. Selama ini aku gak begitu dekat dengan cewek-cewek cantik. Tapi Dira tanpa canggung mau berteman dengan aku, cowok yang hanya pandai di kelas, tapi tak banyak dilirik mahasiswi di kampus. Tak ada terbesit satu hal pun ingin menyakitinya, tapi ternyata aku melakukannya. Bahkan, terakhir aku komunikasi dengan dia 3 bulan yang lalu. Lama? Sangat. Karena aku hampir menghabiskan hari-hari sama Dira. Tidak ada yang mengira kami pacaran, kecuali Angga. Semua cowok hanya iri aku bisa dekat dengan dia sebagai teman. Kesannya aku nista banget ya bisa jadi pacarnya Dira. Hehe. Tapi serius, aku memang tidak memiliki harapan apa pun untuk jadi pacarnya. Aku masih anak Mama, harus nyari perempuan Jawa.

Terakhir, Fatimah. Aku sama sekali tidak menyangka bisa bergaul dengan seorang Akhwat. Selama ini aku selalu jaga jarak apabila menemui perempuan seperti Fatimah. Malas saja kalau dicap blaa blaa blaa, dibilang bukan muhrim lah, tidak sunnah, dan sebagainya. Tapi Fatimah merubah pandanganku tentang hal itu. Jadi semua tergantung bagaimana seseorang mengimplementasikan ajaran agama yang diyakininya.

jujur, tak ada di antara kalian yang lebih spesial atau tidak spesial. Semuanya mendapat tempat yang sama di hati. Kalian adalah temanku dan aku tidak ingin kehilangan kalian. Apakah aku masih layak menjadi teman kalian? Kayaknya sudah enggak ya..

Baiklah, izinkan aku menulis ini untuk terakhir kalinya buat kalian. Maaf kalau selama kenal, aku telah banyak melakukan kesalahan. Aku mau pamit, minggu depan aku akan berangkat ke Tiongkok. Aku mendapatkan beasiswa untuk melakukan penelitian atas tindaklanjut tugas akhirku di kampus. Jadi, kemungkinan besar aku tidak akan mengikuti Wisuda. Selamat ya, kita akhirnya lulus bareng, sesuai dengan nama grup Whatsapp kita. Semoga kalian sukses dan mendapatkan apa yang dicita-citakan.

Salam perpisahan
Zainal

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b