Langsung ke konten utama

Between Us: Start From Siam


Melihat tulisan Tagalog di Lorong pintu keluar bandara, membuat keraguanku tadi sirna. Ini nyata, bukan lagi angan-angan lama. Aku telah menginjakkan kakiku di Thailand.

“Hei… ayo cepat!” Wina menepuk pundakku. Membuyarkan segala ketakjuban.

Sebelum kami meninggalkan bandara, tidak lupa untuk membeli kartu internet khusus bagi wisatawan. Satu kartu saja untuk dibagi berempat. Selanjutnya, menuju hostel tempat kita akan menginap selama 4 malam, Monomer Hostel namanya.

Aku menyuruh Wina yang memesan taksi online, di ponselku tidak terdapat aplikasi yang dipakai di sini. Tak butuh waktu lama sang pengemudi telah menghubungi Wina bahwa dia sampai. Kami pun bergegas menuju lokasi yang ditunjukkan. Ternyata sang sopir memiliki keterbatasan bahasa Inggris. Oka malah mengajakku bercanda.

“Kak Ardi, ngomong bahasa Jawa saja. Kayaknya ngerti itu,” kelakarnya. Wina dan Tari pun sontak tertawa. Lucunya, sang sopir ikut tertawa. Aku jadi turut larut dalam kekonyolan ini.
Kurang lebih satu jam kami sampai di penginapan kami, kesan pertamaku langsung suka. Ku acungkan jempol ke Wina yang telah memesan hostel tersebut. Ku gambarkan sekilas, hostel tempat kami menginap memiliki interior minimalis yang elegan. Hanya saja, untuk menuju kamar, kami harus menaiki tangga hingga lantai 4.

Istirahat adalah pilihan pertama setelah perjalanan cukup melelahkan. Setidaknya kami menyesuaikan diri berada di negeri orang. Namun ketika mata mulai terlelap, aku merasakan ada yang menggoyangkan kakiku. Ku picingkan mata mencari sumber yang mengusik tidurku.
“Kamu yakin mau melewatkan malam ini hanya dengan tidur? Yuk, menikmati malam di Siam Center,” Wina menatapku dengan memohon.

Aku menggeserkan badanku ke tepi ranjang. Ku lihat Oka dan Tari ternyata sudah bersiap untuk pergi. Baiklah, walaupun rasa kantukku belum sempurna, aku pun tak rela kehilangan malam pertama di kota Bangkok ini dengan tidur pulas. Sejenak aku berfikir, akan lebih bebas kalau hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong. Biar terasa kayak turis luar yang datang ke Indonesia. hehe

Jarak hostel kami dengan BTS Skytrain ternyata tidak jauh, hanya berjarak kurang lebih 100 meter. Dan kabar gembiranya lagi, jarak menuju Siam Center juga bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Udara malam yang tidak jauh berbeda dengan Jakarta, membuat kami tak perlu memakai pakaian penghangat. Melewati trotoar yang bebas pedagang kaki lima, kami bisa menikmati hilir mudik kendaraan yang melintas. Sesekali aku mengambil gambar sebagai kenangan. Oka yang berjalan di belakangku tak sabar menungguku yang terkadang berhenti menyalakan kamera.

“Sudahlah, nanti di Siam Center saja kita foto bareng,” ucapnya ketika aku berlarian ke depan untuk foto bareng dengan latar belakang trotoar. Namun Tari dan Wina malah kompak merangkulku, bersuka cita menikmati malam. Tanpa rasa sungkan, kami ngobrol dengan bahasa yang mereka tak mengerti. Kadang kami kelepasan tertawa keras, sehingga beberapa pasang mata melirik kami. KAMPUNGAN… batinku mengutuki diri.

Trotoar yang kami lewati ternyata menghubungkan dengan tangga naik menuju pelataran Siam Center. Sampai di pelataran, kami dibuat kagum dengan desainnya. Tersebar jamur buatan yang berfungsi untuk berteduh, dan di bawahnya terdapat bebatuan imitasi sebagai tempat duduk. Aku langsung menyalakan kamera yang aku pegang. Tari dan Wina sudah berlarian seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.

“Kak Ardi, foto dong!” Oka sudah menempatkan posisinya yang strategis. Ia membelakangi tulisan ‘Bangkok City” yang tertera di dinding perlintasan BTS Skytrain. Beberapa kali jepretan, Oka merubah posisinya, ia lalu membelakangi Gedung Siam Center. Maka terlihatlah tangkapan gambar yang ikonik.

Ku lirik ke belakang, ternyata Tari dan Wina sedang membuat video. Wina berlagak seperti model video clip penyanyi popular. Sesekali ia mengibaskan rambutnya secara sensual. Padahal harusnya jika dilakukan secara professional, butuh bantuan kipas angin supaya rambutnya tampak seperti terhempas angin sepoi-sepoi. Tari yang memegang kamera, begitu tenang dan kuat untuk tidak bergerak. Aku dan Oka hanya bisa menggelengkan kepala.

Tanpa dikomando, aku dan Oka menunggu mereka duduk di batu buatan yang terletak di bawah atap berbentuk jamur tersebut. “Bagaimana Kak, sesuai ekspektasi gak?” Oka menyela lamunanku. “Sangat sesuai, aku sudah lama menunggu momen ini,” jawabku. “Aku harap tidak ada drama ya nanti, mengingat kita akan menempuh perjalanan selama 5 hari,” ucapnya. “Kamu menyindirku?” Aku merasa tersudutkan dengan perkataan Oka. Dia malah tertawa.

Belum sempat aku menanggapi ketawanya Oka, Tari sudah memanggilku. Ia mengajakku foto bersama menggunakan kamera yang dipegangnya. Beberapa kali jepretan, aku dikagetkan dengan salah satu momen, Tari dan Wina merangkulku secara bersamaan, tanpa melibatkan Oka yang ternyata sudah tidak bergabung lagi. Sebelum aku sempat menyela momen-momen tersebut, Oka malah menyemangati kami untuk berfoto dengan gaya konyol. Jadilah aku korban kekonyolan Tari dan Wina. Mereka menarik tanganku kanan kiri. Mencubit pipiku, bahkan tak segan mengacak-acak rambutku. Oka malah tertawa puas.

Segala kekonyolan kami, harus berakhir mengingat jam menunjukkan pukul 23.00 waktu setempat. Alasan yang lebih pas sebenarnya kami kelaparan. Maka kami segera turun untuk mencari makanan yang sesuai dengan lidah. Wina yang berpengalaman ke luar negeri menyarankan kami untuk beli makanan di Seven Eleven atau sejenik makanan cepat saji. Jangan lupa untuk mengecek apakah ada kandungan babi atau tidak.

“Win, ini ayam kan?” tanyaku.

“Coba sini aku cek dulu,” Wina lalu membaca detail kandungan yang tertera di label makanan.

“Ini campuran Ar, sebaiknya cari yang lain saja. Tuh ada telur kan,” ucapnya dan mengambilkan untukku.

“Nih, aku ambilin buat kamu Ar, dijamin rasanya enak, dan Halal,” ucapnya dengan nada penekanan di telingaku pada kata Halal.

Aku jadi canggung pada posisi itu. Di tanganku sudah ada dua boks makanan, tidak mungkin aku beli semuanya kan?

Untung saja Oka menyelamatkanku. Ia mengambil makanan yang berisikan telor. Ia berseloroh menyukai telor yang aku pegang. Aku bisa bernafas lega, walaupun tampak sekali wajah Wina berubah. Bisa disebut kecewa, karena pililannya malah diambil Oka. Kami pun pergi ke kasir untuk membayar, namun Oka berinisiatif menggunakan uangnya saja dulu.

“Biar gak ada drama ya, cepat ke hostelnya,” ucapnya dengan gaya juragan. Aku pura-pura tak paham maksudnya. Tapi Tari dan Wina kompak memukul kepalanya. Oka hanya meringis sambil menahan tawa.

Pada situasi ini, aku kadang memikirkan apakah yang dirasakan oleh Tari dan Wina kepadaku? Rasanya terlalu percaya diri apabila mereka berdua memiliki rasa lebih dari seorang teman, toh selama kami berempat menghabiskan waktu, aku tak melihat hal apa pun yang mengarah bahwa aku sedang dicintai. Tapi apabila mendengar apa yang sering diucapkan Oka, logikanya cukup masuk akal bahwa ada persaingan keta tantara mereka dalam memperlakukan aku.

“Menjadi naif dengan pura-pura tidak tahu itu memang lebih aman, tapi hanya soal waktu itu akan menghancurkan semuanya pelan-pelan”


Oka begitu yakin menasehatiku. Bahkan sebelum aku merabahkan diri ke ranjang, dia membisikkan sesuatu. “Jadikan perjalanan ini kesempatan untuk mengerti mereka, okey?” aku mengangguk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Cinta Yang Menyakitkan (Part 5)

Mendung menggantung di langit-langit Makam. Suasana duka masih menyelimuti keluarga Lala. Tanah kuburan baru saja menutupi jasat kembang desa itu. Bunga kamboja ikut berguguran mengirim rasa empati yang mendalam atas terpisahnya dua insan yang saling mencintai itu. Burung Gagak tak berniat lagi untuk bersiul, kehadirannya sudah cukup bukti bahwa duka kehilangan itu sangat nyata. Kepergian Lala diantarkan oleh orang sekampung. Menurut tradisi di kampung tersebut juga ditanamkan pohon pisang pada tanah makam. Hal itu dilakukan mengingat gadis tersebut belum menikah. Tak seperti biasanya, pemakaman Lala menjadi sangat istimewa dengan bumbu kisah cinta yang memilukan. Banyak pemuda desa yang mengagumi dan berniat untuk menjadi pendampingnya. Bahkan tunangannya merelakan diri pulang dari Malaysia demi ingin melihat jasad terakhir orang yang seharusnya ia nikahi nanti. Bapaknya pingsan berkali-kali di pemakamam, ketika sadar ia pun tak bergeming sama sekali. Prosesi mengadzankan jenazah pu