Langsung ke konten utama

Alan Dalam Perselingkuhan Rasa


Langkah hidup tak mudah ditebak, walaupun langkah kaki terus mengikuti peta dengan teknologi tercanggih. Aku tak pernah membayangkan bahwa hari ini, di depan ratusan orang akan berbicara tentang prestasi. Sebuah capaian karir yang mungkin saja menjadi impian semua oramg di depanku. Gemuruh tepuk tangan menggema di penjuru ruangan tertutup. Semua mata memandangku, menungguku untuk mengucapkan sepatah kata. Aku sempat gugup, tapi aku mampu mengendalikannya. Hari yang penting ini, aku tidak boleh melakukan kesalahan. Di hadapan ratusan orang yang hadir, aku menyampaikan ucapan syukur dan terima kasih pada semua pihak yang terlibat dalam mengembangan karir hingga mendapat penghargaan sebagai wartawan sosial politik terfavorit. Aku bahagia, senang, dan haru atas semua yang terjadi. Hingga aku membeku ketika menyadari sesuatu. Di antara semua yang bertepuk tangan, aku melihat seseorang yang aku kenal. Ku kedipkan mataku, memastikan bahwa aku tidak berhalusinasi. Astaghfirullah, itu benar dia. Mata kami bertemu, dia melempar senyum. Perasaanku jadi tidak menentu, lunglai.

Aku sudah bisa move on. Itulah kalimat yang pernah ku tegaskan berkali-kali ketika Dira, Anya, Leo, dan Dambi mulai membahas soal Alan. Aku sudah ikhlas, bahkan tak ingat lagi hal apa yang membuatku tertarik pada lelaki yang tak pandai mengungkapkan perasaannya itu. Tak ada juga barang yang harus aku bakar, kubur, atau ku kembalikan ke pemiliknya, karena memang dia tak pernah memberiku apa-apa selain harapan. Ah apa? Oh tidak, baginya akulah yang terlalu percaya diri bahwa perempuan yang hampir melewati ambang batas ‘gadis’ ini layak dicintainya. Aku yang salah, bukan sikapnya. Bisa jadi itulah alasan kenapa ia tak pernah perlu untuk sekadar say goodbye ke aku ketika ia memutuskan pindah ke Bali. Hanya saja kenapa aku dipertemukan kembali dengannya?

Aku turun dari podium dibantu oleh panitia. Langkahku jadi tidak semenarik tadi ketika menaiki tangga menuju podium. Beberapa orang yang mengenaliku memberikan ucapan selamat, merangkul, salaman, ada juga yagn cipika cipiki. Aku masih sanggup melayaninya. Hingga kemudian satu per satu di antara mereka kembali ke tempat duduk. Giliran semua sudah tak ada yang memberikanku ucapan, datanglah orang yang aku kenali tadi. Langkahnya semakin dekat ke arahku.

“Hai,  selamat ya! Kita ketemu lagi di sini ya ternyata,” ucapnya singkat dan kemudian melenggang pergi.

Lalu? Aku menggerutu sendiri dengan ucapan selamat datangnya itu. Memangnya kenapa kalau kita ketemu, di sini, di forum penghargaan wartawan Sosial Politik, apakah ada yang istimewa? Aku jujur gugup ketika dia menghampiriku. Seseorang yang tak pernah ku bayangkan akan ku kenal kembali, bahkan kalau boleh meminta ke Tuhan, enyahkan saja dia dari hidupku. Tapi sepertinya Tuhan memiliki pendapat lain. Dan aku merasa gagal telah membuatnya seakan tak pernah hadir dalam hidupku lagi. Usai acara, sekembalinya aku ke kamar hotel, aku segera menghubungi Dira.

Are you okey, Ni?” ucapnya curiga dengan pupil mataku yang berair dalam panggilan video yang kita lakukan.

“Dira, apakah kamu pernah sebenci ini dengan hidupmu?” tangisku pecah. Aku selalu tak bisa menutupi apa pun dari sahabatku ini. Aku sangat cengeng.

Why? Tell me, please!!” ucapnya menatapku simpati.

“Aku sudah gagal move on, Dir. Apakah kamu tidak melihatnya? Aku sudah melewati hari-hari dengan sibuk bekerja, membuat karya, dan menghabiskan waktu dengan kamu, Anya, Leo, dan Dambi. Aku bisa melewatinya hingga sekarang aku di Bali sekarang kan? Tapi ketika aku melihatnya kembali, rasanya semua benteng pertahanan diriku lumpuh, dia tetap membuatku kagum,” ucapku dengan isakan tangis. Dira tampaknya memahami arah obrolan kami.

Wait, aku sambungkan ke Leo ya. I guess, dia harusnya tahu sesuatu,” ucapan Dira membuatku berfikir sejenak.

Gambar Leo segera tersambung dalam bingkai panggilan video kami. Dia tampaknya baru selesai mandi.

What happened, beb? Sebentar ya, aku pakai kaos!” sosok Leo menjauhi kamera.

Tak butuh waktu lama, dia tergabung kembali pada obrolan kami. Ternyata kehadiran Alan di forum yang aku hadiri atas pengetahuan Leo. Aku baru sadar bahwa Leo merupakan tim panitia yang terlibat dalam forum ini, sehingga semua peserta yang hadir sudah diketahuinya lebih dulu.

“Le, kamu….” Sebelum Dira melanjutnya kalimatnya. Leo sudah menyela.

“Aku rasa ini bukan masalah besar kan, Ni? Kamu sendiri yang bilang bahwa dia bukan orang yang penting lagi dalam hidupmu, right?” Leo benar-benar keterlaluan. Tapi harusnya apa yang diucapkan itu benar. Alan siapa aku?

“Astaga, laki memang gak punya perasaan ya,” Dira malah yang bertengkar dengan Leo.

“Dira sayang, jujur ya aku juga kaget waktu membaca daftar nama yang hadir dalam forum itu. Kenapa aku tidak mengabarkan ini ke Ani. I think, Now is her time untuk membuktikan bahwa move on itu memang segampang melempar tisu bekas ke tong sampah,” jelas Leo.

“Leo, bagi seorang cewek tidak semudah itu. Kamu itu ya….” Dira menyela.

Aku merenungkan apa yang diucapkan Leo. Dia ada benarnya juga. Kenapa tadi aku harus gugup di depan dia. Apa alasan aku juga menangis ke Dira. Aku segera ikut berkomentar.

“Dir, apa yang diucapkan Leo gak salah kok. I see, Leo benar. Cuma dalam prakteknya ternyata memang gak gampang ya Le,” aku mengangkat tubuhku. Ku lihat Leo mengangguk. Dira yang masih tidak sepakat.

Wait, malam ini aku bakal terbang ke Bali bareng Dambi. I’ll service you all in. so, don’t be sad. Hug…hug…hug..” Leo berlagak memelukku dalam panggilan video.

“Eits… bukan muhrim ya. Ani ini cewek salehah. Not like your fangirls, see?” Dira yang bersungut melihat tingkah Leo. Aku tertawa, melihat mereka malah bertengkar sendiri.

Aku senang memiliki teman seperti mereka. Selama ini mereka yang sudah mengisi hari-hariku di sela pekerjaan yang padat. Kami memang jarang ketemu langsung, tapi hampir setiap malam kami selalu meluangkan untuk melakukan panggilan video. Hal itu cukup membuat kami semakin tidak terpisahkan. Tak lama, mataku terasa ngantuk, ku putuskan untuk istirahat.

Esoknya, Salat Subuhku jadi tidak tenang ketika suara bel terus bersautan. Usai mengucap salam, aku langsung membuka pintu. Ternyata Leo dan Dambi cengengesan di depan pintu.

“Ganggu ya, sorry!!” ucapnya dibuat-buat ketika melihatku masih mengenakan mukenah.

“Kalian ini gak punya manner ya, ini kan masih pagi,” omelanku hanya ditanggapi dengan garukan kepala oleh mereka.

“Ni, for the last night. I apologize banget ya, bukan maksud aku untuk…” sebelum ia melanjutkan ucapannya.

“…untuk membuatku mewek kan? Dengan demikian kan kamu puas dengan mengatakan, hey ternyata Ani lemah sekali. Bagaimana mungkin dia tegas sekali dulu bilang sudah move on,” sindirku. Ternyata ditanggapi serius oleh Leo, dia menampilkan raut wajah menyesal.

“I’m cruel, right?” ucapnya dengna nada rendah.

“Hei, jangan tegang begitulah. Aku gak seriusan marah. Lagian kamu dalam hal ini gak ada salahnya. Ini masalah aku. Well, jam berapa kalian datang?” aku coba mengalihkan pembicaraan.
Leo dan Dambi langsung terlihat ceria. Mereka lalu menceritakan perjalanannya.

“Kita belum sempat istirahat. Si Leo benar-benar khawatir sama kamu, makanya abis kita naruh barang di kamar, langsung kemari. Cium deh badan kita, masih bau kan?” ucap Dambi.

“Ikh… jorok kalian!!” aku menghindar.

Aku sedikit lega dengan kehadiran mereka. Setidaknya pertemuanku sebelumnya dengan Alan sedikit teralihkan. Aku tidak pernah bisa marah sama mereka, apalagi Leo. Terkadang aku berfikir, andai saja Leo satu keyakinan denganku, tak ragu untuk memintanya menjadi imamku. Tapi pikiran itu lekas ku buang jauh-jauh, ada banyak hal dalam diri Leo yang walaupun kita seiman, tidak mudah untuk disesuaikan dengan pribadiku, ada batas yang membuat status “teman” lebih cocok.

Tak lama Dira menghubungiku, dia juga ternyata penasaran dengan kehadiran Leo dan Dambi. Tak ayal, kamarku jadi sarang buat mereka semua nge-gibah Alan dan aku. Kan kurang ajar ya punya teman-teman seperti mereka. Ah, tapi aku sangat menyukai pertemanan ini. Bagiku, ada batas yang tipis memang mengenai supaya semakin akrab dan bullying. Semua tergantung bagaimana kita menyikapi sesuatu. Nah, ini juga yang harus aku terapkan memandang Alan sekarang. Aku tidak boleh terjebak pada nostalgia masa lalu yang justru menjerembab. Aku harus bangkit dan memberinya ruang untuk menjadi apa yang dia mau, tanpa aku berharap lebih.

Apakah ini artinya aku sudah move on? Rasanya tidak perlu lagi ada pertanyaan itu, toh perasaan suka bukan sebuah kesalahan dan memalukan kan? Bahkan ada sisi yang memang harus ku biarkan rasa kagumku ke Alan tetap ada, namun aku juga harus memiliki prioritas lain dalam mencari calon imam yang bisa menemani hidupku sampai tutup usia.

Beb, kamu pasti bisa!!!

Itulah kalimat sederhana yang ku dapatkan dari Dira, Anya, Leo, dan Dambi dalam menyemangati hidupku. Terima kasih untuk semuanya.

cerita ini merupakan sekuel dari kisah "Emperan Sabang: Cinta dan Harapan" bisa diakses di https://www.penakasih.wordpress.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b