Langsung ke konten utama

Anna, I Love You!



Langkah awal melepas status lajang baru saja aku lewati. Campur aduk perasaan bergelinang di pikiran. Ada rasa haru, senang, gugup, suhu badan panas dingin, dan rasa lainnya yang sulit dijelaskan kecuali kalian berada di posisiku. Hei, hari ini aku menikah loh, teriakku dalam hati. aku menikah dengan orang yang ku yakini bisa bersama seumur hidup, dalam susah senang, untung malang, dan berbagai kesanggupan dalam menghadapi pahit manisnya kehidupan. 

Bicara terkait pesta pernikahanku, rasanya tak berbeda dengan kebanyakan orang. hanya saja, kebetulan Anna adalah perempuan berdarah jawa, maka konsep pernikahan kami menggunakan adat jawa dilengkapi dengan acara siraman. undangan yang kami sebar pun mengharapkan doa dari berbagai kalangan, tidak terkecuali tampak anak-anak yang ku lihat sekarang merajuk ke mamanya tak sabar meminta es cream yang masih disiapkan petugas catering. ada juga tangisan bayi  terdengar di telingaku. ibu-ibu dengan kebaya mereka tampak asyik mengomentari apa pun untuk memenuhi kebahagiaan kami.

Lalu apa istimewanya pernikahan kami? jawabannya adalah pernikahan ini dikasikan oleh Mama. Beliau yang biasa mengenakan karai momo (pakaian khas Minahasa), sekarang mengenakan kebaya adat Jawa, lengkap dengan rias paes. Aku sempat tak mengenalinya, kalau saja ia tak menatapku senyum, sebuah senyuman khas yang tak akan bisa ditiru oleh perempuan mana pun. Dia lebih cantik dari biasanya. Apalagi senyum di bibirnya meneduhkan siapa pun yang menatap. Senyum itu yang aku saksikan sebelum masuk Masjid untuk melangsungkan Akad Nikah. Sempat ada perasaan sedih, ketika Mama tidak masuk ke Masjid, karena Mama dan keluarga besarku memang memiliki pilihan keyakinan yang berbeda. Tapi tenang saja, aku dan Anna sudah menyiapkan tenda di halaman Masjid untuk keluargaku dari Manado. Sekaligus layar besar untuk mereka bisa menyaksikan prosesi langsung Akad kami.

Sebelum masuk ke Masjid, Mama menatapku begitu lekat. Pupil matanya mulai mengeluarkan butiran bening. Aku spontan mengusapnya. Mama, baik-baik kan? Kalimat itu hanya terucap dari hati. Mama seakaan mengerti, ia lalu memelukku cukup erat. Anna yang ada di sampingku, ikut bergabung dalam dekapan. Semua mata pasti menyaksikan kehangatan kami. Biarlah, dalam momen yang sakral ini pasti ada garis waktu yang membuat kami haru, bahagia, dengan ekspresi yang kadang justru menangis sesenggukan. Hal itu yang terjadi pada kita bertiga, tanpa direncanakan.

Selepas memelukku, Mama mengusap pipiku. Lalu ia berucap lirih, “Kamu mirip sekali dengan Papa mu,” ucapnya.

Aku menjadi paham apa yang sedang ingin Mama katakan. Ia merindukan Papa. Orang yang memiliki kisah hampir sama dengan perjalananku menikahi Anna. Hanya saja aku lebih beruntung dari Papa, karena keluargaku masih merestui pernikahan ini. Sedangkan berdasarkan cerita dari Mama, kisah perjalanan mereka jauh dari kata pesta pernikahan yang ideal. Papa yang memutuskan mengikuti agama yang diyakini oleh Mama, terpaksa diusir dari keluarganya. Bahkan di hari bahagia mereka, keluarga Papa tidak hadir untuk merestui pernikahan mereka. Sehingga pernikahan Mama dan Papa hanya digelar secara sederhana di kepulauan Sitaro, tanah kelahiranku.

“Semoga ALLAH memberkatimu, Nak” begitulah doa Mama sebelum aku melangsungkan Akad Nikah. "Amiin, terima kasih untuk doanya, Ma" kataku.

Usai mendapat wejangan dari Mama, aku dan Anna segera memasuki Masjid Sunda Kelapa yang sudah disulap menjadi tempat Ijab Qabul. Sesuai rencana kami berdua, banyak aksen mawar dan anggrek putih menghiasi setiap sudut ruangan. Anna yang lebih banyak berperan dalam pemilihan dekorasi ruangan, termasuk permintaan maharnya adalah laptop. Alat itulah yang paling sering menemaninya. Bagi Anna, laptop dan dirinya adalah kesatuan yang saling melengkapi. Lalu, aku posisinya di mana? Sempat aku mengajaknya bercanda dan ditanggapi dengan cubitan di pinggang. Tentu aku mengaduh kesakitan, tapi melihat senyumannya, rasa sakit itu tak terasa.

Kembali pada proses resepsi yang sedang berlangsung, aku harus kuat berdiri untuk bersalaman dengan ribuan undangan yang hadir. Kata Anna, aku bisa pura-pura kebelet ke toilet untuk sekadar ingin rebahan di ruang rias. Mana mungkin aku melakukannya, sekalipun ingin rebahan kan enaknya berdua ya. Hehe...

Satu per satu tamu hadir menyalami kami. Di antara tamu yang hadir, ternyata ada satu orang yang menyita perhatian kami. Anna dan aku saling bertatapan. Orang itu adalah Ariyo mantan kekasih Anna. Seingatku, yang ikut dalam menulis siapa saja yang perlu kita undang, tidak ada namanya dalam daftar kami. Dia seseorang yang pernah membuatku kesal karena ulangnya yang sok kaya. Hari ini dia datang juga seakan tak pernah terjadi apa-apa. Dia semakin dekat dengan posisiku dan Anna.

“Hei, selamat ya! Akhirnya kalian menikah juga,” ucapnya.

Ku lirik Anna memaksakan senyum. Aku pun demikian. Tak ada kesan positif atas kehadirannya. Ia seolah mencemooh pesta kita. Lihatlah lagak dia, menyapu pandangan seisi ruangan, seakan memastikan bahwa apa yang ia lihat bisa menjadi bahan untuk berkomentar. Anna memegang tanganku erat, mencoba menenangkanku. Aku sudah waspada akan hal yang ingin dia lakukan.
“Lumayan juga, not bad lah,” ujarnya setelah menjabat tanganku.

“Kamu gak diundang, kenapa ke sini?” aku berkata tajam ke arahnya. Dia tak menanggapi, malah menatapku sinis. Lalu ia berlalu.

Aku tak sempat memperhatikan dia lagi. Banyak tamu undangan yang sudah mengantri untuk memberikan ucapan selamat atas pernikahanku dengan Anna.

Tamu selanjutnya yang mengejutkan adalah Mas Tama, mantan atasannya Anna. Ku duga yang di sebelahnya adalah istri Mas Tama, cantik dan elegan. Aku melirik Anna, dia pasti merasa malu karena tidak mengundangnya. Padahal aku sudah ingatkan bahwa lelaki yang pernah menjadi bosnya itu wajib diundang, terlepas mau hadir atau tidak, bukan ranah kita lagi.

“Duh, terima kasih loh mas atas kehadirannya,” Anna mampu menguasai dirinya.

“Walau pun tidak diundangnya ya,” Mas Tama sukses membuat raut wajah Anna malu.

“Maaf ya mas, kami mengurus semuanya sendiri. Malah kelewat nama orang penting ini,” aku mencoba menebus rasa bersalah istriku, Anna.

“Aku tahu kok Bil. Istrimu ini masih dendam sama aku. Take it easy, dude!” Ucapnya santai.
Anna tak bisa menyembunyikan rasa malunya. Ia bergegas memelukku mencari perlindungan.

“Doakan kami langgeng ya mas. Lain kesempatan, kami akan datang ke rumah kalian, belajar menjadi keluarga yang baik,” mendengar omongan itu, Mas Tama hanya menyunggingkan senyum.

Tamu undangan sudah hampir habis. Aku tak banyak mengenali siapa saja mereka yang datang. Bisa jadi, kebanyakan adalah kolega dari keluarga kami. Banyak sekali kejutan sebenarnya, karena dari tamu yang hadir banyak dari mereka yang tak terpikirkan akan berada di depan kami untuk memberikan selamat. Bahkan aku tidak menyangka bahwa Pendeta Frans yang dulu membabtis aku, menyempatkan hadir untuk mengucapkan selamat atas pernikahanku. Aku tahu dia kecewa atas pilihanku, tapi dia tokoh agama yang bijak. Pasti memahami arti jalan terang bagi semua manusia. Namun ia masih sempat membisikkan Matius 19:6.

“Pegang teguhlah itu, dengan keimanan barumu. Aku percaya, setiap agama mengajarkan kesetiaan pada pasangan,” ucapnya. Aku mengangguk. Benar sekali, setiap agama memiliki ajaran yang mulia, tergantung mana yang membuat kita iman atas hal tersebut.

Akhirnya selesai juga menyambut tamu. Aku memperhatikan Anna begitu cantik walaupun dengan raut wajah yang kelelahan. Semenjak prosesi ijab qabul hingga resepsi, baru sekarang aku bisa memperhatikannya cukup lama, lekat, dan tenang. Tanpa satu orang pun yang mengangguku. Anna, akhirnya aku menikahimu. Tidak ada kata yang mampu mewakili kebahagiaanku, selain tangan ini yang tak ingin melepaskan dari genggamanmu.

“Menikah tak berarti akhirnya kamu sah jadi milikku, melainkan sebuah sinyal untuk tak boleh seorang pun menghancurkan janji suci"

Anna, terima kasih segala penerimaanmu padaku. Untuk urusan rumah, mobil, dan investasi ku serahkan semua padamu. Aku yakin, uangku yang tak seberapa bisa mewujudkan itu semua atas kecerdikanmu berhemat, bahkan bisa dibilang pelit kali ya. Kadang suka ‘gemes’ sendiri ada gitu perempuan yang cuek dengan penampilan, tidak suka dandan, tapi tetap cantik, itu ya kamu. Sedangkan urusan mengajakmu nonton konser, mengunjungi galeri seni, dan peralatan vlog yang kita bangun, aku yakin diriku yang menguasai camera tercanggih dan segela perlengkapannya.

Aku yakin, apa yang ku sebutkan itu hanya contoh kecil bagaimana nanti aku dan kamu membangun rumah tangga. Kita akan menghadapi hal yang lebih besar lagi dalam membagi peran dalam keluarga. Misalnya, nama untuk anak-anak kita nanti, menggunakan nama Islam, nama Jawa, atau nama Manado. Sekolah-sekolah mereka, apakah di sekolah Islam, sekolah umum, atau bahkan di sekolah inklusi. Dan banyak lagi kita menghadapi perbedaan pilihan. Semoga kita mampu membagi peran-peran itu supaya di antara kita berdua tidak merasa sendirian.

“Kenapa lihat aku begitu?” Anna akhirnya menyadari tatapanku.

“Jangan bilang ya, aku lebih cantik tanpa riasan,” lanjutnya.

Aku tertawa lepas dengan kalimat terakhirnya. Ternyata dia tahu apa yang aku pikirkan. Tak sempat menghindar, aku diganjar cubitan yang keras. Hampir saja lagu “Perfect” nya Ed Sheeran gagal romantic gara-gara ulahnya itu.

Anna, I love you.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b