Ruang
tengah begitu ramai. Berjajar melingkar orang-orang dengan posisi duduk. Di
depan mereka terhidang kue-kue, jajanan basah, dan aneka keripik, serta minuman
berwarna. Terlihat dua anak berlarian menyelinap ke sela-sela makanan yang
tertata rapi. Ibu mereka berteriak mencegah, tapi tak dihiraukan. Aku yang
menyaksikan kejadian itu hanya mampu menggelengkan kepala. Mereka tidak
terlihat menyebalkan, malah menggemaskan. Betapa dunia anak-anak sulit dipahami
oleh orang dewasa, tidak terkecuali aku. Rasanya rindu dengan dunia anak-anak
yang tanpa beban, bahkan terkesan cuek dengan apa yang terjadi pada orang
dewasa.
“Kak
Putri, dipanggil Umi,” adikku Rifan memanggil. Tangannya memberi kode untuk
segera.
Aku
lalu berdiri membungkuk, melewati dua orang di sebelahku. Ku dekati ibu yang
berada di teras rumah. Ternyata Umi tidak sendirian, ada seseorang yang berdiri
tepat di sebelahnya. Aku mengenali siapa dia. Aku cukup terkejut dengan
kehadiran dia di momen yang menurutku kurang pas. Tapi Umi sepertinya memahami
situasiku.
“Sebaiknya,
Umi biarkan kalian ngobrol sebentar,” Umi pergi meninggalkan kami. Akan tetapi
aku mencegahnya.
“Putri
kan gak punya banyak waktu untuk menerima tamu, sebentar lagi Febrian dan
keluarga mau datang,” timpalku.
Umi
kurang sepakat dengan omonganku. Dia menepuk pundakku.
“Put,
sebaiknya selesaikan dulu apa yang perlu diselesaikan. Supaya ke depan, gak ada
beban lagi,” ucap Umi.
Umi
melenggang pergi sambil merangkul Rifan, adikku.
“Put,
beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya,” ia memulai bicaranya.
“Apanya
yang harus diperbaiki?” tanyaku.
“Put,
aku tahu salah besar telah mempermainkan perasaanmu selama ini. Kamu pun sudah
mengakuinya kan, bahwa hubungan kita selama ini bukan sekedar teman biasa?”
ujarnya dengan intonasi suara yang hati-hati sekali.
“Lalu?”
tanyaku dingin.
“Aku
tahu malam ini seharusnya malam yang bahagia buat kamu, karena pada akhirnya
ada seseorang yang akan melamarmu. Tapi benarkah kamu sudah yakin dengannya?”
tanyanya.
“Apa
pentingnya buat kamu?” tanyaku menatapnya tegas.
“Karena
sekarang aku sadar, bahwa aku pun selama ini tak menganggap hubungan kita teman
biasa,” jawabnya.
Aku
begitu kaget mendengar pengakuan tersebut. Bagaimana bisa dia mengaku disaat
aku sudah menunggu seseorang melamarku?
“Kamu
sadar apa yang kamu katakan?” tanyaku mencoba tetap tenang. Walau kalimatku
tidak setegas tadi. Hatiku mulai goyah.
“Aku
sadar sekali Put, beri aku kesempatan,” pintanya.
“Helmy,
kenapa baru sekarang?” bibirku bergetar. Aku tak mampu menahan gejolak yang
kembali muncul. Jelas, aku masih memendam rasa ke Helmy. Lelaki di depanku ini
memang memiliki pesona yang tak mudah pudar begitu saja.
Hanya
Saja yang kurasakan berbeda. Harusnya ini kabar gembira, tapi aku justru
merasakan kekecewaan yang luar biasa. Aku seperti dipermainkan oleh seseorang
yang aku sayangi. Hatiku seperti sengaja dilemparkan ke lautan lepas yang penuh
badai besar.
“Kamu
masih mencintaiku kan Put? Hati kamu sejujurnya hanya buat aku kan Put?” Helmy
mendesakku untuk mengakui sesuatu.
Namun
sebelum aku mengungkapkan sesuatu, sorot lampu mobil menerpa wajah kami.
Tandanya rombongan keluarga Febrian tiba.
Aku
bergegas memperbaiki keadaan. Aku kendalikan emosiku supaya tak terlihat sedang
tak baik.
Febrian
keluar lebih dulu dari mobil. Ia terlihat sangat gagah sekali dengan setelan
baju batik klasik dan celana kain serta sepatu pantofel yang mengkilat.
Rambutnya disisir menyamping sedikit ke belakang. Aku sampai tak mengenalinya
dalam sepersekian detik.
Ekspresi
Febrian tak berubah melihat keberadaan Helmy. Padahal ku lihat Helmy tampak
canggung dan tak nyaman atas kedatangan Febrian. Aku yang awalnya takut suasana
menjadi kacau, menjadi sedikit lega ketika keluarga Febrian begitu hangat
menyapaku.
“Ini
teman kamu Put?” Mama nya Febrian juga menyambut ramah Helmy. Mau tak mau Helmy
menyambut tangan Mama nya Febrian yang menjabat dirinya.
Dalam
situasi ini aku bingung untuk menjelaskannya. Tapi Umi menolongku, ia datang
menyambut keluarga Febrian. Kami pun diminta untuk segera masuk ke ruang tamu.
Keramaian
yang tadi tak terkendali di ruang tamu menjadi sangat tertib. Anak-anak yang
tadi sangat bandel, akhirnya paham bahwa acara pentingnya sudah dimulai. Supaya
tak terkesan buru-buru, kami berbasa-basi dengan saling mengenalkan sanak
saudara. Hidangan yang sudah disediakan pun dipersilakan untuk dinikmati.
“Mama..
Papa.. Umi.. Abah..” ucapan Febrian membuat basa-basi berakhir. Semua mata
memandang ke arahnya, termasuk aku.
“Sebelum
niat baik saya sampaikan, ada hal yang perlu saya bicarakan lebih dulu dengan
Putri. Jika diizinkan, berikan waktu buat kami ngobrol empat mata,” ujar
Febrian.
Sungguh
aku tak menyangka Febrian akan mengatakan hal itu. Perasaanku jadi tidak enak.
Mungkinkah Febrian akan membatalkan lamarannya? Kenapa aku begitu takut
kenyataan tersebut terjadi?
Febrian
lebih dulu keluar rumah, Umi lalu menegurku untuk segera menyusul karena aku
malah terdiam.
Aku
memandang Umi untuk meminta pertolongan atas situasi yang sangat sulit ini
bagiku. Umi lalu memberikan isyarat dengan menunjuk ke dada. Artinya aku harus
menjalani ini sesuai kehendak hati.
Kini
aku dan Febrian duduk di teras rumah berdua saja.
“Ada
perlu apa Helmy datang ke sini?” dia langsung menanyakan hal tersebut.
“Dia
datang menyampaikan permintaan maaf,” jawabku ragu-ragu
.
“Maaf
untuk apa?” selidiknya.
“Brian,
kamu sudah tahu kan tentang aku dan dia,” balasku.
“Justru
karena aku sudah tahu, makanya apa yang harus dimaafkan darinya?” tanyanya
lagi.
“Ya
soal cintaku yang bertepuk sebelah tangan,” balasku.
“Ooh…”
responnya.
“Feb,
dia mengatakan kalau sekarang dia memiliki perasaan yang sama denganku,” ucapku
hati-hati.
“Sekarang
apa yang kamu rasakan?” tanyanya.
Astaga,
bagaimana Febrian sangat tenang begitu mendengar kabar yang boleh jadi buat
orang lain sebuah pukulan keras. Apa yang aku rasakan? Pertanyaan itu membuatku
merenung. Kemudian ingatanku menyeret ke peristiwa setahun silam.
Setahun
lalu…..
Pekerjaan
hari ini tak berjalan seperti biasanya. Sering sekali aku menerima protes dari
atasanku akibat tidak melakukannya dengan sempurna dan tepat waktu. Bekerja di
bagian pertelevisian, tentu tak hanya bertanggungjawab dengan pekerjaanku saja,
tapi bertanggungjawab terhadap pekerjaan orang lain yang terkait denganku.
“Come
on,
Putri. You have to focus!!!” teriak Pak Daniel.
“Forgive
me, Pak,” hanya itu yang bisa ku jawab.
Sampai
larut malam aku harus menyelesaikan tugasku akibat banyak kesalahan. Di
tengah-tengah kesibukanku, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ku lirik siapa pengirim
pesan di LINE milikku. Ternyata tertera nama Helmy.
Aku
pun penasaran untuk membukanya. Ada perasaan rindu ketika sudah sekian bulan
aku tak mendapat kabar tentangnya.
Ternyata
dia hadir lagi untuk menanyakan pekerjaan. Tanpa basa-basi sedikit pun. Masihkan
aku harus menanggapinya lagi? perang batin di hatiku pun bergejolak. Bagi siapa
pun yang sudah mendengar cerita hidupku, nama Helmy ibarat minuman memabukkan,
yang kapan pun diminum akan memberikan efek hilangnya kesadaran berfikir.
Di
sisi lain, dia meminta informasi pekerjaan pada waktu yang tepat. Di kantorku
bekerja, telah dibuka lowongan dibagian broadcasting. Nah, Helmy memiliki
keahlian di bidang tersebut. Pantaskah aku menghalangi rezeki orang?
Keputusanku
akhirnya adalah memberikan informasi tersebut padanya. Maka sejak malam ini,
kami menjadi kerab ngobrol di LINE. Dia pandai sekali membuat suasana hatiku
kembali mencair dan melupakan sikap kesalku padanya.
Pada
akhir pekan dia mengajakku jalan berdua. Rencananya hanya makan saja, tapi
mendadak dia berniat untuk membeli kaos. Pada sebuah distro, dia memintaku
untuk memilihkan kaos yang cocok untuknya. Bagiku, keputusan tersebut adalah
sinyal bahwa aku spesial baginya. Aku pun memilihkan kaos yang menurutku bagus.
Dan hasilnya, Helmy menyukainya. Aku bisa melihat seseorang suka beneran atau
hanya pura-pura. Dan keyakinanku dia benar-benar menyukai pilihanku.
Selanjutnya dia juga memilihkan baju untukku, dan pilihannya pun sesuai
seleraku.
Belum
selesai dia membayar belanjaannya, ponselku berbunyi. Ada pesan masuk dari
Febrian.
“Putri,
kamu siap-siap ya. Aku akan menjemputmu,” bunyinya.
“Aku
sedang di luar, Feb,” balasku.
“Kamu
lupa ya, kan rabu lalu kamu janji bisa menemaniku jalan,” bunyi pesan
selanjutnya.
“Oh
iya? Haduh maaf ya Feb, aku benar-benar lupa,” balasku.
“Gak
biasanya kamu begini,” balasnya lagi.
Gak
biasanya? Yah aku memang sedang tidak biasa. Hari ini aku begitu menikmati
momen kebersamaan dengan Helmy. Sekali lagi aku mengucapkan permintaan maaf
pada Febrian.
Lagi
dan lagi, aku telah menyakiti pria yang berusaha dekat denganku. Dulu, Fian,
Benny, dan Angga, ketiganya bergerak mundur ketika aku kerab mengabaikan
ajakannya untuk jalan. Padahal mereka mengakui langsung padaku bahwa ingin
mengenalku lebih dari sekedar teman.
Harusnya
sekarang aku melakukannya pada Febrian?
Untuk
menjawab itu, kali ini aku mantap harus memastikan sesuatu. Ketika Helmy
mengajakku makan di rumah makan cepat saji, aku memberanikan diri untuk kembali
mengungkapkan isi hatiku. Dulu aku sudah pernah melakukannya, dan hasilnya
Helmy hanya menganggapku teman. Tapi aku kini mengulanginya lagi dengan harapan
perasaan dia bisa berubah. Apalagi, sikapnya akhir-akhir ini menurutku lebih
dari sekedar hubungan seorang teman.Terakhir, yang membuatku yakin bahwa
hubungan ini bukan teman biasa adalah dia menyuapkan makanan dari sendok di piringnya.
“My…
boleh aku bertanya sesuatu?” ujarku.
“Ngomong
saja,” balasnya cepat.
“Setelah
semua yang kamu lakukan tadi, bisa kamu jelaskan bagaimana hubungan kita?”
ujarku.
“Hubungan
apa?” Helmy sama sekali tak peka dengan arah pembicaraanku.
“Helmy,
cukuplah kamu main-main dengan perasaanku,” ujarku lirih.
“Put,
kamu mau mengulang masalah yang sama?” tanyanya.
“Apakah
jawabannya tetap sama?” kini aku menatapnya.
“Aku
sangat nyaman sekali sama kamu. Kalau ditanya apakah hubungan kita bisa lebih
dari teman, aku butuh waktu,” ujarnya.
“Sampai
kapan?” tanyaku.
“Kita
jalani saja ya, kamu mau kan?” jawabnya.
Jawaban
itu sama sekali bukan sebuah jawaban. Walaupun bukan sebuah penolakan, tapi itu
sama seperti mengikatku dengan kuat untuk suatu saat tali itu digunting dan aku
akan terjatuh dalam jurang yang dalam. Aku tak menjawab lagi, dan memintanya
untuk mengantarkanku pulang.
Sampai
di rumah, aku terus memikirkan apa yang barusan terjadi. Perasaan senang,
kesal, dan momen-momen yang tak terlupakan mengaduk pikiranku. Berkali-kali aku
mencoba memejamkan mata, namun tetap saja sulit. Hingga ada pesan masuk.
“Jadi,
dia alasanmu sampai lupa dengan janjimu? Aku tadi lihat kamu di MacD,”
tulisnya.
Astaga,
bagaimana Febrian bisa di lokasi yang sama.
“Feb,
aku benar-benar minta maaf,” balasku.
Dia
lalu melakukan panggilan video. Aku segera menerimanya.
Dia
menampilkan senyum yang selalu ia berikan padaku. Padalah sikapku padanya cenderung
dingin.
“Aku
ngerti kok Put. Helmy adalah segalanya buat kamu,” dia ternyata masih ingin
membahas soal itu.
“Boleh
aku bercerita tentang kupu-kupu?” lanjutnya.
“Kamu
mau dongenin aku malam-malam gini?” sahutku. Dia tertawa renyah.
“.
Belum ingin tidur kan?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Kupu-kupu. Kita sering melihatnya sangat
mempesona, cantik sekali berwarna-warni sayapnya. Hewan itu seperti ingin
menambah kecantikannya dengan hinggap di tumbuhan yang berbunga cantik pula.
Tapi pernahkan kamu berfikir, kalau bisa saja hewan itu tak pernah ada.
Kupu-kupu itu sebenarnya gak ada loh Put,” dia bercerita dengan ekspresi yang
lucu. Aku senyum-senyum mendengar ceritanya.
“Tapi
buktinya sekarang ada Feb,” balasku menimpali ceritanya.
“Kupu-kupu
ada karena ada hewan bernama Ulat yang rela berpuasa. Ia mengurung diri di
tempat yang sangat rapat sekali. Ia mengabaikan dedaunan yang hijau, udara
segar di pagi hari, dan ia tak bisa menyaksikan bintang yang bertaburan. Tapi
dia meyakini bahwa pengorbanannya tidak sia-sia. Suatu hari nanti di waktu yang
tepat, dirinya akan bertransformasi menjadi hewan yang lebih banyak menikmati
keindahaan yang seharusnya bisa dinikmatinya hari ini. Bahkan dia tak hanya
menikmatinya sendirian, makhluk yang lain pun turut bahagia atas dirinya yang
baru. Nah pertanyaan buat kita semua, mau kah kita menjadi ulat selamanya atau
berani mengambil resiko kehilangan banyak momen membahagiakan untuk mendapatkan
kebahagiaan yang berlipat dan menjadi kupu-kupu? Dongen sebelum tidur telah
selesai, selama tidur Putri,” pungkas Febrian.
Cerita
Febrian benar-benar menamparku. Aku ternyata selama ini hanya menjadi ulat dan
larut pada kebahagiaan yang ku paksakan. Seandainya aku berani mengambil resiko
dan berkorban lebih dari yang dilakukan ulat, maka aku tak akan hanya
membahagiakan diriku saja. Padahal Umi dan Abah sering menegurku untuk segera mengenalkan
calon menantu untuk mereka.
Paginya
aku bangun telat akibat memikirkan kalimat Febrian. Siangnya aku memutuskan
untuk menemui Febrian pas jam istirahat. Sambil menikmati makan siang, kami
ngobrol banyak hal. Tak ada obrolan yang penting sebenarnya, hanya saja itulah
titik awal aku membuka hatiku lebar-lebar untuk Febrian. Ada perasaan nyaman
yang muncul tiba-tiba.
Semakin
lama kami akrab hingga akhirnya tiga bulan kemudian kami sepakat untuk membawa
hubungan kami ke arah yang serius. Maka kami pun mempersiapkan segala keperluan
untuk rencana pernikahan dan sebagainya. Febrian tampak lebih semangat bekerja
dari biasanya.Aku memang tak satu tim dengannya, tapi aku mendengar cerita dari
teman satu tim dia.
Bukan
tanpa rintangan, Febrian begitu sabar menghadapiku yang terkadang masih suka
labil memikirkn Helmy. Kalau saja dia lelaki biasa, pasti kesal jika aku masih
belum bisa move on dari masa laluku. Namun Febrian tak patah semangat
untuk meyakinkanku bahwa bersamanya semua akan baik-baik saja.
Semenjak
aku pacaran sama Febrian, tak ada tanda-tanda bahwa Helmy merasa cemburu. Ia
malah ku dengar sangat agresif mendekati Silvia, yang bekerja di bagian tim
kreatif. Cewek tersebut sesuai selera Helmy yang pernah diceritakan kepadaku.
Semua karyawan di kantor kami mengakui bahwa Selvia adalah karyawati tercantik.
Namun Helmy sepertinya perlu bekerja lebih keras untuk mendapatkan cintanya.
Pada
titik itulah, aku akhirnya tak ada harapan lagi pada Helmy. Ku kubur dalam
sampai tak tercium bau kenangannya. Didukung dengan pertemuan kami yang tak
lagi terjadi.
Kembali
ke hubunganku dengan Febrian, sembilan bulan pun akhirnya kita lalui, pada
minggu ke-48, Febrian akhirnya mengatakan kepadaku akan membawa keluarganya
datang ke rumah untuk melamar. Hati perempuan mana yang tak bahagia?
*****endflashback
“Putri..”
Febrian membuyarkan lamunanku.
Aku
menoleh ke arahnya. Menantikan dia memberi kalimat yang membuatku bisa memberi
jawaban yang tepat.
“Setahun,
menurutku bukan waktu yang sebentar untuk kita mempersiapkan segalanya.
Memilikimu seperti memiliki daya baterai yang tak pernah habis. Aku selalu
semangat mengerjakan banyak hal dari biasanya. Tapi siapakah yang bisa menjamin
hati seseorang akan sama setiap detik selanjutnya? Sama sekali tidak ada. Maka
jika malam ini, ternyata hati itu berubah, maka bukan persiapan setahun yang
hilang. Kehilangan sesungguhnya adalah apabila kita tak pernah menemukan apa
yang sebenarnya kita persiapkan selama setahun itu,” ujarnya.
Aku
tertegun mendengar ucapannya. Jelas beda sekali dengan apa yang aku dengar dari
Helmy. Aku tahu, seseorang yang berusaha memberi kebebasan justru sedang sangat
ingin mengikat kita erat-erat. Beda lagi, seseorang yang keukeh ingin memiliki
kita, dia sedang ingin mempersiapkan kemenangannya sendiri. Maka malam ini aku
mantap, pada siapa hati ini ku labuhkan. Pada siapa masa depanku tumbuh subur.
“Malam
ini aku tidak sedang mempersiapkan jadi ulat, aku ingin jadi kupu-kupu yang cantuk,
ingat?” ujarku.
“Tentu,
kan aku yang cerita,” timpal Febrian mengulum senyum. Aku lalu mengajaknya ke
dalam rumah mengingat kita sudah ditunggu oleh dua keluarga besar.
Ku
lihat Helmy terlihat sangat pucat atas keputusanku yang langsung menerima
lamaran dari Febrian dan keluarga. Biarlah dia belajar banyak hal dalam situasi
ini. Karena bagi seorang perempuan, bukan seberapa besar rasa cinta yang ia
terima. Tapi seberapa mampu orang tersebut menghadirkan rasa nyaman dan melindungi.
“Seorang
perempuan boleh saja larut dalam perasaan sayang yang berulang-ulang pada
seseorang, tapi ia tak akan mau menghabiskan waktu yang berulang-ulang untuk rasa
yang berbalas dari seseorang”
Gelas,
toples, dan piring yang kosong menjadi bukti bahwa semuanya telah selesai. Tamu
yang hadir telah pergi membawa perasaan masing-masing. Helmy mungkin membawa
kekecewaan yang mendalam terhadapku. Kalau Febrian sudah pasti membawa rasa
bahagia.
Aku?
Telah
bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah bagi dua keluarga.
Sampai
ketemu di pelaminan…..
Komentar
Posting Komentar