Langsung ke konten utama

Mata Yang Berbicara (Bagian 1)


Silau matahari merangsek menerobos jendela kamar yang terbuka sedikit. Lelaki bernama Elang yang masih terbaring di tempat tidur mulai terganggu, matanya mengerjap terbuka perlana. Posisi terlentangnya berubah jadi miring, tangannya berusaha mematikan alarm jam yang diatur sesuai keinginan, pukul 06:30 WIB. Elang mulai merubah posisinya menjadi duduk. Matanya menyapu sekitar, mencari ponsel. Ia ingat bahwa semalam mendapat pesan dari atasannya untuk menyiapkan presentasi untuk rapat hari ini. Maka dia mengecek email terkait bahan yang dibutuhkan, ternyata bahan yang dikirim sudah dikirim lengkap. Tinggal dia meramunya ke dalam template presentasi yang ringkas dan menarik.

Belum sempat melangkah ke kamar mandi, pintu kamar ada yang mengetuk. Elang membukanya, dan terlihatlah sosok ibunya yang sudah rapi dengan pakaian dinas.

“Kamu baru bangun?” Ibu Ratih terheran anaknya masih acak-acakan rambutnya. Elang hanya menggeleng.

“Mama sudah mau berangkat?” tanyanya.

“Mama ada kegiatan di luar kota selama tiga hari. Sarapanmu sudah ibu siapkan ya, maaf tidak sempat membangunkanmu tadi. Gak terlambat kan?” ucap Ibu Ratih sambil melihat jam di tangannya.

“Tenang Ma. Elang masih ada waktu buat makan sarapan yang sudah tersedia, makasih ya,” Elang mengecup pipi ibunya.

Acara sarapan pagi telah usai. Elang sekarang sudah ada di kantor. Matanya sangat fokus menatap layar laptop. Dia sampai tidak sadar bahwa ada seorang OB yang meletakkan secangkir kopi untuknya.

“Dinimun pak, kalau sudah dingin gak enak,” ucapan itu membuat Elang kaget. Lalu menatap OB yang menunduk minta maaf telah membuat kaget.

“Thanks ya, bro!” Elang menepuk Pundak sang OB.

Elang memang membutuhkan penghangat di ruangan yang cukup dingin, apalagi matanya mulai ngantuk menatap grafik dan pointers yang dibuatnya.

Di tempat berbeda, seorang bernama Pipit membenarkan posisi duduknya. Tamu yang ditunggunya baru saja sampai dengan permohonan maaf karena terlambat 1 jam. Tanpa basa-basi, Pipit langsung saja memulai memaparkan apa yang menjadi kebutuhan atas pertemuan tersebut. Kurang lebih 10 menit ia menyampaikan, lawan bicaranya mengangguk puas. Pipit langsung mendapat rekomendasi untuk datang ke kantor tamunya.

“Nanti staf saya yang akan menemui ibu Pipit. Informasi selanjutnya nanti supaya dia yang menghubungi. Tak butuh waktu lama, pertemuan selesai. Di luar ruangan, sudah ada 2 tamu lagi yang menunggu. Pipit tampaknya siap sibuk di hari pertamanya mendapat jabatan baru sebagai Asisten Manajer. Ia mendapat ruangan khusus yang hanya ada dia di ruangan.

“Silakan masuk..” ucap Pipit pada tamu berikutnya. Ia menampilkan senyum tipis dengan gerakan tangan memberi jalan. Semangat Pipit tak habis untuk menyambut tamu demi tamu yang hadir. Hingga tibalah tamu terakhir di hari ini.

“Terima kasih atas kerjasama. Segera kami kabari perkembangannya,” ucap Pipit menutup pertemuannya.

Elang di tempat kerjanya telah menyelesaikan tugasnya untuk mendampingi manajernya paparan di hadapan Direktur. Ia melipat laptopnya untuk kembali ke ruang kerja. Namun atasannya menghampirinya.

“Pak Elang, besok temui seseorang di Starbucks Kuningan City ya. Terkait apa saja yang perlu dibawa, segera saya email,” ucap Manajer. Elang mengangguk paham. Setelah mendapat arahan tersebut, Elang bersiap untuk pulang kerja.

Jam pulang kerja bukan cerita menarik bagi Pipit. Perempuan yang biasa naik KRL tersebut mengganti sepatu yang tidak berhak tinggi. Supaya tidak menganggu, ia mengikat rambutnya. Ia tidak mau ketika berdesak-desakan dengan penumpang lainnya, rambutnya berantakan. Apalagi dia naik KRL di stasiun yang cukup ramai penumpang, yaitu stasiun Sudirman.

Sampai di rumah, Elang baru menerima bahan-bahan untuk pertemuan besok. Dia juga baru mendapat kontak seseorang yang akan ditemuinya. Nama yang dikirimkan oleh sang Manajer membuatnya mematung sejenak. Namun Elang tak mendapatkan petunjuk karena foto profil yang dipasangnya adalah logo perusahaan yang ditempatinya.

Kejadian berbeda dialami oleh Pipit. Perempuan yang baru saja menghempaskan badannya di tempat tidur, mendadak terperanjak. Demi menerima pesan dari nomor yang baru dikenalnya, ia merubah posisinya menjadi duduk.

“Elang?” gumamnya.

Pipit segera menyimpan nomor tersebut. Ia penasaran dengan foto profil dari nomor kontak yang baru saja mengirim pesan padanya. Namun belum sempat ia melihat fotonya, pintu kamar diketuk seseorang. Ia pun lebih memilih membuka pintu lebih dulu.

“Bagaimana pekerjaanmu hari ini, Nak?” sang ayah membelai rambutnya. Pipit menyunggingkan senyum. Ia lalu memeluk sang ayah. Perhatian dari sang ayah itulah yang membuat Pipit memilih untuk tidak tinggal sendiri yang lokasinya dekat kantor. Ia rela jauh pulang ke Depok, walaupun harus berdesakan naik KRL.

“Kita makan malam yuk!” ajak sang ayah. Pipit mengekor di belakangnya.

Tanpa diketahui Pipit, Elang menunggu balasan pesan yang dikirim untuknya. Elang berkali-kali mengecek aplikasi Whatsapp untuk tak sabar mengenal sosok Pipit. Dia penasaran siapa perempuan yang akan ditemuinya besok.

Usai makan malam bersama ayahnya, Pipit tak lagi mengecek ponselnya. Dia terlalu bahagia bisa menikmati makan malam bersama ayahnya yang hampir setiap hari dilakukan. Makan malam menjadi agenda rutin untuk saling berbagi cerita selama seharian di luar rumah. Sang ayah pun masih cukup sibuk di Yayasan yang dikelolanya. Apalagi setelah meninggalnya sang ibu, tampaknya ayahnya menyibukkan diri untuk mengurangi rasa kesepian ditinggal ibunya 2 tahun silam. Tak butuh waktu lama, Pipit tertidur. Di tempat yang berbeda, Elang masih bersama rasa penasarannya. Pikirannya tiba-tiba teringat peristiwa lima tahun lalu.

Bersambung…..



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b