Langsung ke konten utama

Mata Yang Berbicara (Bagian 3)



Kadang, penantian tak perlu dinanti, justru takdirlah yang mempertemukan seseorang yang lama tidak berjumpa, seperti hari ini antara Elang dan Pipit. Memang, pertemuan mereka terjadi bukan secara tiba-tiba, melainkan sebuah pekerjaan. Lima tahun tampaknya jeda yang cukup bagi mereka. Pipit yang lebih dulu bisa melihat bahwa kontak Whatsapp yang akan ditemuinya adalah Elang, orang yang pernah dikenal sebelumnya, ia sedikit ada rasa gugup. Sedangkan Elang baru bisa melihat ketika pertemuan terjadi, ia kaget. Akan tetapi, ia berusaha mengendalikan situasi.

“Hai, Ibu Pit. Terima kasih atas kesempatannya bertemu,” begitulah ucapan Elang berusaha tetap professional. Ini urusan pekerjaan, bukan sedang reuni.

Pipit tidak sendirian. perempuan tersebut ditemani stafnya, namanya Diana. Bukan karena Pipit takut bertemu Elang sendirian, melainkan memang setelah pertemuan ini mereka akan menghadap ke lembaga pemerintahan untuk menggarap sebuah kegiatan nasional.

Pelayan kafe sigap menghampiri mereka. Melayani pesanan yang sudah siap dihidangkan. Elang memesan secangkir kopi, sedangkan Pipit memesan es cokelat. Minuman itu mewakili perasaan masing-masing. Elang berharap hangatnya kopi mampu menghangatkan pertemuan ini. Sedangkan Pipit dengan es cokelatnya berharap gugup dan stress yang dialaminya mampu sedikit redam. Sebenarnya, Elang menyadari kegugupan Pipit. tapi ia tak mau membuatnya semakin gugup dengan banyak bertanya. itu pun sangat gugup. Hanya saja ia bisa menguasai diri, lebih tepatnya ia pandai menyembunyikan perasaan.

Obrolan keduanya sedang berjalan. Saling lempar pertanyaan dan informasi mewarnai diskusi siang ini. Namun ketika Pipit sedang menjelaskan panjang lebar, tampaknya Elang terpesona dengan gaya Pipit yang dilihatnya lebih cantik dari lima tahun silam. Sejak dulu, Pipit memang tampil sederhana, tapi tak bisa menutupi aura kecerdasan yang membuat siapa pun minder di dekatnya.

“Pak Elang…Pak…Hallo…” Pipit menyadari bahwa omongannya tampaknya kurang diperhatikan.

“Oh maaf.. iya bu. Bagaimana?” Elang bangun dari melamunnya.
Pipit menghela nafas panjang. Ia harus bersabar menghadapi situasi yang kurang nyaman ini.

“Perlu saya ulang lagi?” Pipit mencoba menawarkan.

“Tidak perlu. Secara garis besar saya cukup memahami. Nanti kita bisa komunikasi lewat email kalau ada yang kurang saya mengerti,” Elang memahami bahwa suasana hati Pipit kurang baik.
Baiklah. Pipit mengakhiri obrolannya. Ia meminta bil pada pelayan kafe.

“Eh tunggu. Biar nanti saya saja yang bayar,” ucap Elang mendapat tatapan dari Pipit.
Elang memalingkan wajahnya ke asisten Pipit.

“Bu Diana, bisa izinkan kami ngobrol berdua?” Elang menunjuk dirinya dan Pipit. Diana merespon sopan tanpa ada prasangka apa pun. Pipit pun tak mencegahnya pergi.
Elang tetap berusaha menguasai keadaan, sedangkan Pipit lebih terlihat gugup.

“Jadi, bisakah kita ngobrol sebagai orang yang pernah kenal?” Elang membuka obrolan.

“tentu…” jawab Pipit singkat. Ia tak berani menatap wajah Elang.

“Aku percaya ini bukan sebuah kebetulan. Ini rencana Tuhan mempertemukan kita. Kamu tak ingin mengatakan sesuatu setelah lima tahun menghilang?” Elang mencoba mengulik sebuah rahasia.

Pipit membenarkan posisi rambutnya yang menutupi wajahnya. Ia sekali lagi tak berani menatap Elang. Posisi duduknya dibuat senyaman mungkin dengan kaki menyilang, tapi tetap saja gagal.

“Banyak hal di dunia ini yang terkadang tanpa ada perlu penjelasan. Setiap ada ucapan selamat datang, selalu berujung selamat jalan, atau sampai jumpa lagi. Ya, beginilah kita. Apa yang perlu dijelaskan? Beruntungnya kita berjumpa lagi. Hal yang biasa bukan?” Pipit mengulur waktu untuk menjawab apa yang Elang inginkan. Hal tersebut membuat Elang kesal.

Elang tentu tidak berharap dengan kalimat basa-basi yang memperlambat inti obrolan. Tapi dia juga tak ingin tergesa-gesa hanya untuk akhirnya akan kehilangan Pipit lagi.

“Baiklah. Semoga perjumpaan kita lagi ini tidak hanya sebagai rekan kerja. Tapi bisa lebih santai, teman liburan, nonton, atau ke toko buku. Bagaimana?” ucap Elang.

“Kita lihat nanti. Saya bisa permisi Bapak Elang?” Pipit kali ini memberanikan diri menatap wajah Elang. Hal yang kemudian disadarinya bahwa mata lelaki itu masih sama seperti lima tahun lalu, misterius, susah ditebak.

Elang tak langsung menjawab, membuat Pipit akhirnya memutuskan pergi begitu saja. Langkahnya cepat meninggalkan café yang menjadi tempat awal pertemuan mereka kembali. Sekejap Pipit sudah hilang dari pandangan Elang.

Pulang kerja, Elang menatap lama dirinya di cermin. Ia melihat dirinya sendiri seakan ingin menilai kelebihan apa yang dia miliki. Ganteng? Iya, harus diakuinya banyak perempuan yang suka. Pintar? Ah biasa saja, bisa dikatakan kecerdasan yang rata-rata. Memiliki pesona? Itulah yang dia ragukan, dia tipe lelaki yang tidak banci tampil di media sosial atau ruang publik. Sehingga jarang ia menerima pujian-pujian dari bucin. Bahkan ia kerap dicibir oleh sanak saudaranya sebagai lelaki tampan yang ‘bosenin’.

Boleh lah orang menilai apa tentang dirinya. Tapi tatapan Pipit seakan membuat Elang berfikir ulang tentang dirinya. Elang tak pernah terfikirkan untuk hal yang baru saja ia lihat. Dirinya merasa sama sekali tak pantas apabila tebakannya itu benar. Selama pertemanan mereka, tak ada gelagat yang berbeda dari Pipit. Tapi hari ini dia sungguh mulai mengurai benang kusut yang ada di pikirannya. Ada titik terang dari kepergian Pipit yang tanpa pamit. Bolehkah Elang mendefinisikan bahwa Pipit jatuh cinta padanya?

Jangan percaya diri dulu. Pipit malam ini sedang bahagia karena proyek yang ditanganinya disetujui dan mendapat pujian dari Manajernya. Bahkan ia besoknya diminta menghadap Direktur untuk membicarakan proyek pertamanya yang terbilang nilai rupiahnya fantastis. Sehingga Pipit tidak makan malam di rumah, tapi mengajak ayahnya pergi ke restaurant Jepang di daerah Kemang. Ingatan tentang pertemuan dengan Elang tampaknya tertutupi dengan segala kegembiraan itu. Bisa jadi, ia pun tak ingin mengingat hal apa pun tentang pertemuan itu.

Kini, malam memberikan definisinya yang menyebar di ribuan bintang yang ada di langit. Elang dengan pikirannya dan Pipit dengan keintimannya dengan sang ayah. Bisa jadi, jauh dari hiruk pikuk kota, orang-orang sudah tidur nyenyak dengan mimpi. Bersiap untuk menyambut esok hari yang lebih baik dari hari ini.

“Selamat malam Pit. Terima kasih atas pertemuan hari ini. Aku bahagia, semoga kamu pun bahagia,” di sela ia menyumpit irisan ikan salmon, ada notifikasi pesan di ponsel Pit dari Elang. Ia mengintip dari beranda layar depan ponselnya. Tak segera ia buka, tapi wajahnya merona bahagia.

Yeah, Lang. kamu berhasil melengkapi bahagianya Pit.

Bersambung…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b