Ikut
Pramuka, OSIS, Karang Taruna, dan terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, hanya supaya
disebut punya teman, itu konyol sekali. Kenyataannya aku tetap merasa sendiri, kesepian, dan
temanku pun terbatas. Aku tetap sulit membuka obrolan dengan orang baru, bahkan
untuk mengajak kenalan, butuh nyali tersendiri. Akhirnya aku memiliki
kesimpulan awal, aku memang introvert. Tak semua orang menarik untuk dijadikan
teman, aku pun mungkin bukan teman yang menarik bagi mereka. Tapi kku merasa
bukan hal yang buruk, aku masih bisa menjalani hari-hari dengan baik.
Aku
di kampus tak banyak yang menyapa, sehingga santai saja berjalan di koridor gedung menuju
ruang kelas, tak ada yang tiba-tiba menghentikan langkah. Biasanya, aku memasang
headset di telinga, supaya bisa fokus pada tujuanku; masuk kelas, baca buku di
perpustakaan, atau bahkan makan di kantin. Lagu favorite ku sekaranga adalah 'Girls
Like You' yang dipopulerkan oleh Maroon 5. Menurutku lagu itu “gue banget”,
yakni tentang perempuan idaman yang bisa menjadi penyemangat, pelengkap, bahkan
mampu menghadirkan kebahagiaan.
Pengalaman
itu baru saja aku alami, tepatnya baru saja ketika aku menyelesaikan makan
siangku di kantin. Datanglah seorang cewek dengan kaos lengan panjang berwarna
jingga, dipadukan dengan celana berbahan jeans warna hitam, rambutnya lurus
panjang dikuncir. Dia membagikan selembar brosur mengenai isu politik luar
negeri Presiden Trump.
“Kamu
Dante mahasiswa HI kan? Hadir ya!!! Dijamin seru seminarnya,” ucapnya dengan raut wajah yang ceria sekali. Geraknya lincah menyebarkan pamflet ke mahasiswa lainnya.
Eh tunggu, dia baru saja menyebut namaku. Spontan aku
mengernyitkan dahi, bagaimana dia bisa mengenalku. Aku masih menatapnya yang
sibuk membagikan brosur ke mahasiswa lain. Ternyata dia menyadari tatapanku. Aku
buru-buru mengalihkan pandanganku, pura-pura menyibukkan diri dengan ponsel.
“Hei,
belum pernah lihat cewek cantik ya?” ucapnya yang sudah duduk di depanku.
Tak
ku sangka dia sepercaya diri itu. Tentu saja hal itu membuatku canggung dan risih
dengan sikapnya.
“Jangan
menatapku aneh begitu, aku bercanda. Kamu gak punya teman ya? Aku lihat semua
orang di kantin ini pada kumpul, kamu sendirian,” ucapnya.
Aku
jadi kesal dituduh tidak punya teman. Tapi aku tak ingin menanggapi. Aku mengemasi
tasku, beranjak meninggalkan dia.
“Hei,
mau ke mana? Kita belum kenalan…” teriaknya.
Aku
malah mempercepat langkahku. Semua mata menatapku aneh. Mungkin dalam pikiran
mereka, bodoh sekali aku mengabaikan cewek secantik dia. Akhirnya aku
memutuskan ke perpustakaan, teringat tugas kuliah, dan ada buku yang harus aku
pinjam.
Esok
harinya, jadwal kuliahku hanya satu mata kuliah, yaitu Ekonomi-Politik
Internasional. Berhubung malas kalau langsung pulang, dan sedang tak ingin ke
perpustakaan, aku merasa bingung mengerjakan apa. Namun aku akhirnya teringat
bahwa kemarin ada brosur seminar HI. Rasanya cocok dengan materi kuliah hari
ini. Maka ku putuskan untuk datang ke acara tersebut. Ternyata sudah penuh tempat
duduknya, aku kebagian paling belakang.Wajar kalau acara ini banyak peminatnya,
semua pembicara yang hadir merupakan tokoh popular.
“Eh,
kamu datang juga..” ucap seseorang yang membuatku menengok ke kiri. Ternyata cewek
kemarin yang membagikan brosur.
“Namaku
Dira,” dia mengulurkan tangannya. Aku menahan ketawa.
“Kalau
mau ketawa gak usah ditahan, kenapa?” ia malah mendekatkan posisinya ke arahku.
Aku menjaga jarak dan menggelengkan kepala. Dalam posisi itu aku sangat gugup. Ini
cewek agresif banget, batinku.
Kegugupanku
terselamatkan, ada seseorang yang menghampiri kami. Ia memakai kaos seragam
yang dipakai Dira. Ternyata Dira harus memberikan sambutan sebagai ketua panitia.
Tanpa basa-basi dia meninggalkanku. Segera mengatur langkah cepat berjalan ke
depan. Aku memperhatikan dia sambutan. Terlihat sekali dia tidak sekadar cantik,
tapi juga pintar.
Di
tengah materi yang sedang hangat dibicarakan, ada notifikasi permintaan
pertemanan di akun instagramku. Tertulis nama Dira Maura Asti. Aku belum
memutuskan untuk menyetujuinya. Sampai tak terasa materi selesai, satu per satu
peserta meninggalkan aula seminar. Mataku menebarkan pandangan, mencari sosoknya.
Tapi tidak ku temukan. Akhirnya ku putuskan untuk pulang.
Seminggu
berlalu, aku tidak menemukan lagi sosok Dira di kampus. Aku cari di lokasi biasa
menjadi tempat nongkrongnya, nihil. Aku lalu membuka notifikasi pertemanan. Ku putuskan
untuk menyetujui permintaan pertemanan. Ternyata dia juga mengatur akun privat,
sehingga aku juga harus mengirimkan permintaan mengikuti. Ku tunggu lama tak
kunjung ada notifikasi disetujui.
Tiga
hari berlalu tetap tanpa kabar. Pikiranku menjadi kacau.
“Dante,
kamu ada masalah apa?” dosenku pun menyadari masalahku. Nilaiku yang biasanya
sempurna di setiap kuis yang diberikan, hari ini hanya mendapat 80. Dia mengingatkanku
bahwa nilai kuis menjadi bagian dari nilai akhir mata kuliah.
“Dia
sedang jatuh cinta kayaknya bu,” salah satu temanku asal mengomentari. Tapi dia
tepat sekali. Mungkin aku sedang jatuh cinta. Ah semua ini gara-gara Dira.
Aku
berjalan gontai ke perpustakaan. Kondisiku tidak semangat seperti biasanya. Berhubung
aku harus menyelesaikan paper-ku, maka wajib datang ke perpustakaan. Ketika aku
masuk ternyata lebih ramai dari biasanya. Aku lalu mencari rak buku yang sesuai
dengan nomor buku yang ku cari. Tak butuh waktu lama, ku temukan bukunya. Ku putuskan
untuk baca di tempat. Aku mencari bangku di pojokan yang lebih sepi.
“Hei..”
teman sebelahku menyapa.
Haaaaaa!!!
Aku terkejut sehingga menimbulkan reaksi yang memancing perhatian orang
sekitar.
“Ssttt…
ini perpus,” ucapnya sambil meletakkan jari telunjuknya di bibir.
“Kamu
kayak melihat hantu saja,” ucapnya dengan wajah murung.
“Kamu
ke mana saja belakang ini?” ucapku tak tertahankan.
“Hei,
kamu mencariku?” wajahnya berubah jadi ceria.
Astaga,
aku tadi ngomong apa? Tanpa sadar aku telah memberitahunya bahwa selama ini aku
mencarinya. Segera aku menggelengkan kepala dan kabur. Aku bawa pulang saja
bukunya. Tapi ternyata dia mengikutiku.
“Tunggu!!”
dia mengejarku.
“Ada
apa?” aku berhenti.
“Kamu
belum jawab pertanyaanku,” ucapnya.
“Yang
mana?” tanyaku.
“Kamu
selama ini mencariku?” tanyanya ulang.
Aku
tak bisa lagi mengelak. Ku jelaskan bahwa aku memang mencarinya, karena selepas
acara sudah tidak ku temukan sosoknya. Hingga seminggu lebih tak kelihatan di
kampus. Hingga ku putuskan untuk menerima notifikasi pertemanan. Tapi malah tak
kunjung ada persetujuan.
“Aku
pikir kamu gak bakal peduli sama aku,” responnya.
“Jadi
kamu sengaja?” aku jadi kesal dengan sikapnya.
“Sengaja
apa?” dia malah balik bertanya.
Astaga,
kenapa dia semakin mengesalkan. Aku memilih untuk meninggalkan dia.
“Tunggu…”
dia menghentikanku.
“Kenapa
kamu mudah sekali marah?” ucapnya.
Aku
menggeleng dan beranjak jalan lagi.
“Ibuku
meninggal…” ucapnya.
Mendengar
kata itu, aku menghentikan langkahku. Segera aku berbalik dan menghampiri dia.
Ku
lihat pupil matanya berair. Aku paling tidak tahan melihat cewek menangis. Ku beranikan
diri untuk memeluknya. Dia tidak protes, malah mengeratkan pelukanku.
Sejak
momen itulah kami menjadi dekat. Banyak hal yang kami lalui bersama, hanya
berdua. Aku merasa sangat menikmati hari-hari. Ke perpustakaan, ikut seminar, bedah
buku, dan mengunjungi berbagai galeri seni yang menambah warna dalam wawasan
ilmu.
Aku
hanya butuh satu orang untuk mengenal banyak orang. Dira saja sudah cukup untuk
mengenali seluruh isi satu kampus. Dira ini adalah aktivis kampus, bahkan pada perkenalan
kita yang genap setahun, dia berhasil menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa HI. Dia akan
cerita apa pun tentang situasi politik kampus, konflik antar organisasi
kemahasiswaan, hingga skandal percintaan anak UKM Teather. Aku telah
mendapatkan teman sekaligus pacar. Bagaimana denganku? Aku telah belajar banyak
darinya, setidaknya tetaplah menjadi introver, dengan syarat kamu membatasi
pergaulanmu dengan hubungan yang berkualitas. Tidak perlu berubah menjadi
ekstrover, tapi hanya banyak teman tapi sepi obrolan.
Bagaimana
rasanya memiliki pacar yang merupakan sosok popular di kampus? Sungguh, kalau
boleh usul ke kalian yang introver, coba saja. Kenapa? Kamu akan dibuat
canggung berkali-kali karena harus berusaha keras untuk menyapa semua orang
yang dikenal oleh Dira. Bahkan aku harus belajar untuk menerima suasana
keramaian yang memang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Dira. Jangan
ditanya, bagaimana aku bisa berbaur dan menerima teman-temannya Dira. Sungguh tak
perlu, Dira tak memaksaku akrab dengan mereka. Aku hanya perlu terus
mencintainya dan dia mencintaiku. Gampang kan?
Kalau
ingin tahu perasaan Dira tentang chatnya panjang lebar dan hanya ku jawab; Ok,
iya, sudah, ooh, sip, maka sungguh kalian harus menunggu kisah kita dalam versi
Dira ya..
Komentar
Posting Komentar