Langsung ke konten utama

Berdua Tanpa Jeda


Bulir peluh mulai mengalir merusak bedak di wajah. Walau aku sudah menepikan motorku di bawah pohon Asem, tampaknya siang ini terlalu bersemangat membagikan sinar ultranya. Sedangkan Wiwin, Harusnya kami sudah berangkat setengah jam yang lalu, mengingat kegiatan pembukaan acara di Bumi Perkemahan Ngandasan Patakan semakin mendekati waktu yang diagendakan.

Ku putuskan untuk mengirimkan pesan ke Wiwin. “Hei, Beb! Sudah di mana?” pesan terkirim langsung centang biru. Tak berapa lama orangnya sudah ada di depan mata. Tanpa ada rasa bersalah, dia menyapaku riang.

“Ayo, cepat!! Nanti kita telat..” ucapnya mendesakku segera menyalakan motor. Aku cukup menggelengkan kepala atas tingkahnya itu. Bukankah dia yang membuat perjalanan kita terlambat, batinku. Kami sepakat untuk boncengan saja, sedangkan motornya dititipkan di rumah mertuaku yang tak jauh dari lokasi tempatku menunggu.

Terik matahari tak menyurutkan semangat kami untuk menuju lokasi dengan rute yang berliku. Di tengah perjalanan, Wiwin yang sebelumnya memang aku minta untuk membonceng mulai ragu dengan rute yang ku arahkan.

“Kamu yakin jalannya ini? Kok serem ya kanan-kiri hutan begini?” ucapnya.
“Bener kok,” jawabku sambil mengecek aplikasi peta online.

Wiwin malah berhenti. Dia pun mengeluarkan ponselnya dan menyalakan kamera.

“Kamu mau apa?” tanyaku penasaran.

“Lihat Beb. Pemandangan ini kalau difoto dan diupload di Instagram bagus loh. Berasa musim gugur di luar negeri,” ucapnya mendramatisir suasana.

Aku menyadari bahwa sejak 200 meter perjalanan kami memasuki hutan, ada banyak sekali daun Jati memenuhi jalanan. Sedangkan kanan kiri tampak pohon yang tinggal rantingnya yang eksotis. Sebuah panorama yang mengagumkan. Aku mengucap subhanallah…

Belum lama aku menganggumi pemandangan, tiba-tiba ada ular yang berjalan di depan kami. Wiwin yang lebih dulu melihat, segera kembali ke motor. Kurang ajarnya, dia hampir mau meninggalkan aku.

“Eh tunggu…” aku berhasil mengejar motornya. Wiwin malah menertawakanku. Aku tak hentinya memukul pundaknya. Hal itu membuat motor yang dikendarainya jadi oleng.

Selama perjalanan Wiwin sesekali mengindarkan pandangannya dari terpaan daun yang berjatuhan. Selain itu, pikiran kami pun mulai kalut karena jalan yang kami lalui seperti sengaja dikhususkan buat kami. Wiwin yang memegang kendali kendaraan dengan sigap menaikkan volume kecepatan. 10 menit kemudian aku mulai melihat pemukiman warga. Perasaanku jadi tenang, apalagi bertemu dengan bapak yang sedang mengayuh sepeda ontelnya dengan tumpukan rumput di boncengan.
Plug… tiba-tiba ada yang jatuh mengenai kepalaku.

“Ya Allah, sial banget aku Win.” Ku usap kerudung yang ku pakai ternyata kotoran burung.

Wiwin sama sekali tak berempati. Dia kembali menertawaiku. Ku ambil botol minum yang ada di tas untuk membersihkan tangan.

“Mbak Emmy…” seorang pengendara motor mendekati kami.

“Hei, kamu bawa apa itu?” tanyaku basa-basi. Padahal jelas yang ditentengnya adalah nasi kotak.

“Ayo bareng!” ucapnya. Tapi aku menyuruhnya duluan saja. Toh perjalanan kami tidak lama lagi sampai.

Benar saja, ada banyak bendera yang menghiasi kanan kiri jalan. Namun sebelum tiba, kami menyempatkan untuk berbelok ke Masjid untuk Salat Dzuhur.

Ku lihat Wiwin tampak kelelahan. Wajahnya putihnya menjadi kemerahan.
“Kamu ngapain ngelihat aku?” ucapnya sadar sedang aku perhatikan.

“Makasih ya, wes nemenin aku,” ucapku merasa terharu mengingat perjalanan kami cukup melelahkan. Dia hanya mengulas senyum.

Usai Salat Dzuhur, kami melanjutkan lagi perjalanan. Sialnya, motor yang kami kendarai mendadak bocor ban ketika kami melewati pemakaman keramat. Kabar yang berkembang dari warga sekitar, makam tersebut adalah kuburan sesepuh desa. Kuburan tersebut terkenal angker. Ada juga pemandian atau dikenal dengan sebutan Sendang yang berfungsi sebagai sumber air minum dan juga pemandian warga.

Wiwin tampak gelisah. Aku pun tiba-tiba merinding. Berkali-kali aku mengucap istighfar mengingat suasana jadi menegangkan. Padahal lokasi kegiatan tinggal beberapa meter lagi. Suasananya pun terasa jadi hening. tiba-tiba..

Pruaaaaak…..

“Astaghfirullah….astaghfirullah….” Wiwin spontan mengucap istighfar.

Ternyata suara tersebut adalah ranting pohon jati yang patah dari pohonnya karena rapuh. Sialnya situasinya berbarengan dengan kami yang sejak tadi tegang oleh rasa takut.

“Sini Win, aku gentian yang bawa motornya,” ucapku melihat dia tampak lelah.

“Sudah kamu yang dorong saja lah, tuh anak-anak juga sudah kelihatan wujudnya,” balasnya.

Melihat kami yang mendorong motor,  Nisa, Diki, Ubed saling bersahutan memanggil kami dan menghampiri untuk menyambut kami. Tingkah mereka sangat kekanak-kanakan. Terutama Nisa yang tampak begitu senang dengan kedatangan kami yang disambutnya dengan pelukan hangat. Fika, selaku komandan korp pelajar putri datang belakangan. Dia menyapa kami ramah.

“Kenapa motornya? Digangguin Mbak Kunti ya?” Diki usil bertanya.

Husssshh… Nisa memotong candaan Diki, ia lalu menghampiriku.

“Bagaimana siap tinggal di sini dua malam?” dia pun ikutan jahil.

“Aman kan tapi?” Wiwin yang menimpalinya dengan serius.

“Sejauh ini sih belum pernah ada kejadian kesurupan atau apa ya, gak tahu kalau kakak pembinannya cantik-cantik kayak kalian,” kali ini Ubed yang nimbrung. kompak kami semua bersorak mencibir gombalan Ubed. Suasana pun menjadi sangat cair.

Aku dan Wiwin saling berpandangan. Mereka tidak tahu saja bahwa perjalanan ke lokasi ini sudah menantang adrenalin kami. Aku pasrahkan saja sama Allah atas semua hal yang terjadi. Harapannya tidak ada satu kejadian pun yang menganggu proses berjalannya kegiatan perkemahan kader-kader IPNU-IPPNU yang berlangsung di Kecamatan Sambeng, batinku.

Aku melihat antusias peserta yang begitu banyak menjadi yakin bahwa kegiatan ini akan berlangsung dengan meriah dan sukses. Beberapa peserta yang mengenali kami saling berebut menyambut tangan untuk salaman. Panitia lalu memberi waktu kami untuk beristirahat ke tenda yang disiapkan. Ternyata acara pembukaan mundur satu jam lagi. Aku dan Wiwin saling pandang lagi; KEBIASAAN.

Aku dan Wiwin bersiap untuk masuk ke tenda yang ukurannya tak lebih besar dari peserta lainnya. Ku lihat juga sudah banyak tumpukan tas ransel yang tak tertata rapi. Ketika kepala mulai menunduk untuk masuk tenda, terdengar teriakan keras dari arah yang tak jauh dari kami.

“Tolong….. toloooong.. ada yang kesurupan” begitulah ku dengar salah seorang yang teriak.

Wiwin langsung ku lihat pucat pasi. Aku pun yang tadi sudah berharap tidak ada kejadian apa pun, menjadi termangu. Bagaimana nasib kami setelah ini?

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b