Langsung ke konten utama

Serpihan Rasa


Serpihan rasa lima tahun silam masih membekas. Ingatanku tak bisa terbendung ketika Mas Bayu menemaniku waktu itu untuk main futsal. Tak lupa juga ketika dia mengantarkanku pergi pertandingan, hingga semua peristiwa penting tentangnya dan terakhir kali ketika ia merawatku di rumah sakit. perasaan sayang itu masih ada dan tak berubah dari lima tahun silam. Aku masih melihatnya sebagai sosok kakak yang tak ingin jauh. Di tengah suara doa-doa yang tak ku mengerti artinya, aku melihat Mas Bayu sangat serius. Raut wajahnya tak bisa menyembunyikan bahwa ia sangat kehilangan seseorang. Aku duduk bersila di sampingnya berusaha ingin menghibur, tapi bingung dengan cara apa. Karena sekarang tak hanya Mas Bayu yang harus aku bantu hatinya untuk pulih, melainkan sosok kecil yang sekarang duduk di pangkuanku. Ucapan doa-doa yang semakin mendayu membuat semua orang larut dalam kesakralan. Beberapa di antaranya mencicipi makanan yang sudah dihidangkan. Aku mengingat kembali pertemuan awal kami di Bandara Djuanda tempo hari.

****

Tubuhku terpaku menatap seseorang yang mengagetkanku. Aku mengenalnya. Wajahnya sangat nyata. Kulitnya lebih bersih dari yang aku kenal. Tampak terawat dan badannya lebih berisi. Gaya rambutnya tak berubah. Ingin sekali aku menghambur ke pelukannya. Tapi…

“Ayah.. ayo puyang…” ucapnya belum sempurna. Ia berhasil membuyarkan fokusku menatap Mas Bayu.

Mas Bayu pun berjongkok. Berusaha menenangkan anak kecil itu. Dia lalu menggendongnya.

“Lihat!! Ada Om Calvin, ayo kenalan,” ucap Mas Bayu sambil mengarahkan tangan anak itu mendekat ke arahku.

Aku segera menguasai keadaan. Ku pasang wajah ramah pada anak itu walau dalam perasaan bingung.

“Kenalin Om. Aku Bahran..” Mas Bayu yang mewakilkan. Sedangkan anak itu hanya menatapku bingung. Wajahnya tak begitu mirip dengan Mas Bayu. Aku jadi penasaran siapa anak itu. Ku berikan pandangan bertanya pada Mas Bayu. Dia pun paham maksudku.

“Dia anakku Calv,” ucap Mas Bayu jelas. Belum selesai aku dikagetkan dengan keberadaan Mas Bayu di pintu kedatangan pesawat, kini aku mendengar pengakuan bahwa dia sudah punya anak.

“Oma tadi tak sengaja bertemu dengannya,” Oma menghampiriku dengan langkah yang dibantu Mas Parjo.

“Eh Oma, maaf aku sampai lupa menyambut,” ucapku menyadari bahwa tak hanya Mas Bayu yang ada di depanku. Oma justru orang yang seharusnya aku sapa lebih dulu. Dia memberikan respon tak masalah. Oma pasti tahu tentang jalan cerita kami. Tampaknya aku harus bersyukur pada Oma karena dia memberiku kado Natal yang indah hari ini. mendapat usulan dari Oma bahwa kami perlu mencari tempat yang lebih nyaman untuk berbincang, maka ku putuskan untuk segera keluar Bandara. Mas Bayu setuju ikut mobilnya Oma. Mas Parjo sudah hafal tempat pilihan Oma, yaitu  Pondok Tempo Doeloe. Aku ikut saja kalau Oma memang selera dengan tempat makan itu.

Tak butuh waktu lama, kami sampai tujuan. Tampaknya kami beruntung karena kondisinya tidak terlalu ramai seperti biasanya. Oma yang memilihkan menu. Ku lihat Bahran cukup tenang dan tidak banyak tingkah. Aku tidak perlu khawatir untuk bisa lebih lama bersama Mas Bayu.

“Om Calv.. cama Mbah Malia,” Bahran nyeletuk yang tak ku pahami.

“Iya. Om Calvin dan Oma sama kayak Bude Maria. Mereka nanti merayakan Natal,” Mas Bayu memberikan penjelasan ke Bahran.

Belum sempat aku menanyakan maksudnya. Mas Bayu menjelaskan bahwa Bahran melihat kalung Salib yang ku kenakan mirip dengan yang dipakai oleh neneknya dari saudara sang ibu. Aku pun jadi paham apa yang dimaksud Bahran. Anak kecil itu sudah paham perbedaan di antara kita. Ternyata Mas Bayu tak berubah. Pasti Bahran sudah mendapatkan pendidikan tentang perbedaan sejak dini. Sampai hal yang tak terpikirkan bagi anak lainnya, ia menyadari bahwa antara dia dan aku dan dia ada perbedaan. Aku jadi ingin menggendongnya.

“Mau ikut om Calvin gak? Sini…” ayo arahkan tanganku ke Bahran.

Anak itu melihat Mas Bayu. Tampaknya dia butuh persetujuan dari papanya. Mas Bayu mengisaratkan setuju. Dengan ekspresi malu-malu, Bahran mau juga aku gendong. Berhubung makanan yang kami pesan belum diantar, maka ku ajak Bahran keluar sebentar.

Ada banyak omongan Bahran yang aku tak bisa timpali. Apalagi dia menggunakan bahasa Jawa. Bahran juga tampaknya tak betah digendong, ia minta turun. Aku jadinya kejar-kejaran ketika dia mulai aktif berlarian. Bahran pun terlihat sengaja mengajakku main-main. Tawanya membuatku ikut bahagia di tengah perkenalan kami yang singkat.

Tak lama Mas Bayu menghampiri kami. Bahran malah menghambur ke arahku menyadari papanya mendekat.

“Kenapa senyum-senyum mas?” Ku lihat Mas Bayu menertawaiku.

“Ah enggak. Ku perhatikan kamu sudah cocok punya anak,” ucapnya.

“Sudah tua banget ya berarti,” timpalku.

Tampak sekali kecanggungan antara aku dan Mas Bayu. Dia lalu mengatakan bahwa makanan sudah siap, makanya dia datang memanggilku.

Usai makan, barulah ada kesempatan aku ngobrol banyak hal dengan Mas Bayu.
Cerita lima tahun silam dimulai. Mas Bayu tampak mengingat apa saja yang sudah terjadi lima tahun silam.

****

2 Februari 2015

Usai putus dengan Tania, ku rubah segala perspektif hidupku. Tak ada lagi prioritas yang harus aku kejar mati-matian, selain apa yang dibilang ibuku. Maka ketika kabar bahwa ia sudah memiliki calon istri untukku dan meminta pulang ke Surabaya, tak ada pertimbangan apa pun. Aku segera memesan tiket pulang.

Benar saja, ketika aku dijemput di Bandara Djuanda, ibu didampingi oleh seorang perempuan yang ku taksir namanya Lailatuf Mufida. Tak jauh berbeda dengan foto yang dikirimkan ke aku. Kesan pertama, dia anak yang penyayang sama ibu. Sikapnya kepadaku juga sopan dan terpenting, dia bisa mencairkan suasana pada perkenalan pertama kami. Aku yakin dia bisa menghidupkan hubungan kita kalau ditakdirkan menikah.

14 Juli 2015

“Nak. Ibu senang akhirnya kamu cocok sama dia. Tenang saja, Fida anaknya bisa kamu ajak ke Jakarta kalau memang kamu tetap ingin balik ke sana.” Ucap ibuku dengan mata berbinar.
“Bu, sekarang bagi Bayu tak ada lagi hal yang lebih penting dari restumu. Bayu ingin menemanimu di sini ya, bolehkan?” tanyaku. Ibu tak menjawab. Ia lalu memelukku erat. Jadilah tangis haru antara kami hingga Mbak Ulfa mengabarkan bahwa keluarga besar calon besan sudah datang. Pertunanganku dengan Fida, panggilannya, akan segera dilangsungkan. Sebulan kemudian tanggal pernikahan bisa digelar.

Cerita Mas Bayu berhenti ketika ponselnya berbunyi. Dia meminta izin untuk tersambung dengan orang yang menghubunginya. Bahran dititipkan ke aku. Dia senang sekali menatapku. Membuatku jadi gemas untuk menyubit pipinya.

Lima menit berlalu Mas Bayu kembali. Dia meminta maaf harus pulang lebih dulu, karena ada urusan mendesak yang harus diselesaikan di rumah. Sempat aku usulkan untuk kami antar, tapi tampaknya Mas Bayu tak mau merepotkan. Aku sadar bahwa kita belum sempat tukar nomor telepon. Aku inisiatif memintanya. Untungnya Mas Bayu tidak keberatan.

“Semoga bisa ketemu lagi ya Mas,” perkataanku sedikit memohon. Mas Bayu hanya menganguk.

Oma memegang pundakku. Dia berusaha membuatku tenang. Iya, aku harus lebih tenang menghadapi ini. Setidaknya aku sudah ketemu lagi dengan orang yang selama ini aku rindukan. Oma lalu mengajakku segera pulang. Pastinya aku butuh istirahat segera walau perjalanan Jakarta-Surabaya tak begitu melelahkan.

“Oma yakin, semua ini berkat kasih-Nya. Maka percayalah Vin, Tuhan sudah mengatur ini semua,” ucapan Oma tak salah. Aku segera memeluknya. Dalam hati aku bersyukur sama Tuhan, melalui perjalanan ini dipertemukan dengan Mas Bayu.

Malamnya aku mengirimkan pesan ke Mas Bayu. Sekadar mengabarkan nomorku padanya. Lalu dibalasnya dengan sebuah pesan:

“Calv, kalau besok pagi tidak ada kegiatan, kita ketemu di sini ya,” tulisanya sambil mengirimkan alamat pertemuan kami. Segera aku menyetujuinya walau menjadi bertanya-tanya kenapa memilih tempat yang sejatinya kurang pas untuk ngobrol.

Pagi usai sarapan, aku pamit ke Oma untuk bertemu Mas Bayu. Niatnya Oma pun ingin ikut, tapi ketika aku kasih tahu alamatnya, Oma mengurungkan diri.

“Salam saja ya ke Bayu,” ucap Oma. Aku mengangguk dan pamit dengan mencium tangannya.

Sampai di lokasi, aku menebar pandangan, hingga menemukan sosok yang berpakaian putih dengan peci hitam dan sarung berwarna hijau. Ku mengenalinya dan segera menghampiri sosok tersebut.

“Hai Bahran…” Aku menyapa anak kecil yang bersamanya. Dia sudah tidak malu-malu ketika pertama ketemu. Bahkan dia berani menggodaku dengan menendangkan kakinya ke arahku.

Mas Bayu lalu mengajakku masuk ke dalam lokasi. Berjalan cukup panjang melewati banyak kuburan, hingga berhenti ke sebuah nisan bertuliskan;

“Lailatul Mufida”

Nama itu…. Tenggorokanku tercekat. Mas Bayu dan Bahran fokus membaca doa-doa. Aku tak ingin menganggunya. Berhubung cukup lama mereka berdoa, aku memutuskan duduk juga sejajar dengan mereka. Ku lihat Bahran jadi fokus memperhatikan aku. Tampaknya anak ini ingin mengenalku lebih. Aku mengusap rambutnya yang sama ikal dengan papanya. tak lama kemudian, Mas Bayu mengakhiri doanya. Lalu ia mengusap batu nisan dan berkata padaku. “Fida meninggal ketika dia melahirkan Bahran,” jelasnya.

Oke, sekarang aku mengerti. Mas Bayu mengajakku ke sini ingin menunjukkan ia telah kehilangan orang yang penting dalam hidupnya. Tanpa banyak bicara, aku mengerti perasaannya. Setelah hubungannya dengan Kak Tania berakhir, dia juga mengalami kehilangan yang lebih besar dari itu. Sekarang dia harus membesarkan Bahran sendirian. Tak kuasa air mataku menetes.

“Ayah.. Om Vin nanis ntu..” Bahran menyadari mengalirnya air mataku di pipi.

“Eh enggak. Om Calvin kelilipan kok,” ucapku mengelak. Aku pun langsung memeluknya.

Bahran mungkin sudah terbiasa dengan cerita meninggalnya sang mama. Dia juga mungkin masih sulit memahami apa yang terjadi padanya.

“Fida sangat menyayangiku. Begitu dalam rasa sayangnya, hingga dia tak pernah menanyakan bahwa ada seorang perempuan bernama Tania yang pernah hadir dalam hidupku. Ternyata dia cukup pandai menyembunyikan semuanya, bahkan rasa cemburunya. Ia lebih memilih melakukan sesuatu yang membuatku menyadari bahwa dia ingin seperti Tania. Rok bunga-bunga, potongan rambut sebahu, dan bahkan riasan wajahnya yang tipis. Tapi bodohnya aku tak pernah mengungkapkan itu padanya. Calv, seandainya dia masih hidup, ingin ku katakan padanya. Sayang, istriku, terima kasih sudah melahirkan Bahran. Aku menyayangimu sebagai Fida, bukan orang lain. Aku tak pernah ingin kamu menjadi siapa pun,” jelas Mas Bayu.

Aku mendengarkan dengan seksama semua kalimat itu. Ternyata tak hanya keluargaku saja yang tak pernah bisa lepas dari bayang-bayang Mas Bayu. Keluarga Mas Bayu pun menyimpan cerita itu. Serpihan rasa yang tak mudah untuk diungkapkan. Sebuah rasa sayang yang tersembunyi dan tak terkatakan hingga semua tak lagi penting diungkapkan selain doa.

“Nanti malam datang ya acara 1000 harinya Fida,” ucap Mas Bayu.

Aku mengangguk. Aku memegang kalung salibku dan berdoa untuk almarhum Kak Fida sebelum akhirnya kami meninggalkan pusaranya. Aku mengusapkan tanganku ke batu nisan sambil bergumang. “Kak, aku akan menjaga Mas Bayu seperti dia pernah menjagaku. Terima kasih sudah hadir dalam hidupnya. Bolehkah kamu juga aku anggap kakak?” batinku menutup pertemuan pagi ini bersama Mas Bayu.

Ada selalu balas budi untuk sebuah kebaikan. Jika tidak langsung dijawab Tuhan, hanya soal waktu bahwa kasih sayang yang pernah dibagikan ke orang lain akan terbalas. Entah terbalas dari orang yang kita kasihi atau melalui kasih sayang orang lain pada kita. Aku percaya itu ketika melihat Mas Bayu yang mendapatkan kasih sayang tulus dari istrinya yang tiada, sama seperti apa yang dulu Mas Bayu berikan pada kakakku, aku, dan keluarga.

Puji Tuhan…



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b