Langsung ke konten utama

Game Anak KEPPO


Permainan dan kekompakkan sering menjadi dua sisi yang saling mendukung. Dalam berbagai kegiatan, tidak jarang selalu diselipkan sebuah permainan yang bertujuan untuk menjaga kekompakan atau sekadar menjadi hiburan di tengah kepenatan. Dalam kegiatan KEPPO pun hal itu dilakukan demi menjaga kekompakkan peserta dan tentunya mencairkan rasa canggung antar peserta.

“Bagaimana Em, kamu siap bermain?” Sella menatapku. Gayanya dibuat secentil mungkin.

“Memangnya ada pilihan untuk rebahan?” aku berseloroh. Sella malah memukul kepalaku.

Sella tampak antusias sekali dengan permainan ini. Wajahnya tak hilang raut cerianya, hingga senyumnya tak henti. Berbeda dengan aku, aku malah mencemaskan bagaimana nanti kalau tim yang ku pandu tidak berhasil menyelesaikan permainan ini dengan baik. Seharusnya aku tidak perlu serius sekali menanggapi permainan ini, karena tujuannya bukan untuk mencari siapa yang menang atau kalah. Tapi selama ini aku selalu menang dalam permainan apa pun ketika mengikuti kegiatan di daerah.

Ku perhatian peserta sudah bersiap di zona permainan sesuai kartu petunjuk yang mereka pegang berkelompok. Situasi itu menandakan aku dan tim panitia lainnya juga harus bersiap mendampingi mereka. Tim yang aku pandu menamai diri mereka sebagai “Indonesia Gemilang” yang beranggotakan dari 10 orang. Aku berusaha menghafal nama-namanya, tapi tetap saja kesulitan. Namun tak mengurangiku untuk serius memperhatikan mereka. Ada Syarat utama dari permainan ini, mereka harus menjalin kersama, kepercayaan dan komunikasi yang baik dari masing-masing anggota kelompok untuk bisa membawa bendara sampai pada finish.

Usai mempersiapkan permainan, tampaknya kelompok yang ku dampingi sudah bersiap. Dua peserta sudah memandu satu tongkat di pundaknya. Empat peserta lainnya menyiapkan tali putih yang mengikat tongkat berbendera merah putih. Anggota kelompok lainnya saling membantu untuk menempatkan posisi tongkat yang terikat tali empat sisi untuk diseimbangkan dengan tongkat yang ditandu oleh dua peserta tadi. Tongkat berbendera merah putih diusahakan terjaga keseimbangan. Gerakan gontai peserta yang berusaha menjaga keseimbangan menjadi pemandangan yang menimbulkan gemuruh temuk tangan.

“Hei, awas!...” teriak masing-masing kelompok yang berjalan menuju akhir. Gemuruh tepuk tangan saling bersautan dari penonton. Tentu tidak mudah menjaga tongkat tetap berdiri.

Beberapa langkah sudah ada peserta yang gagal. Mereka tak mampu menjaga ritme langkah dan keseimbangan tongkat. Kelompokku masih berusaha untuk menyelesaikan permainan.

“Ayo semangat adik-adik!” aku berusaha memotivasi mereka untuk tetap berjuang. Mereka terlihat lebih antusias dan waspada dengan perannya masing-masing.

“Huuuuuh…” Sella yang mendampingi kelompok lain berusaha mengacaukan konsentransi tim ku. Ini tak bisa ku biarkan. Segera ku tunjukkan raut wajah mengancam. Dia akhirnya diam.

Beberapa langkah terlihat juga kelompok lain akhirnya tersisih. Hingga menyisakan kelompokku dan Sella. Hal ini menjadi persaingan yang semakin panas. Suara tepuk tangan dari penonton membuat semarak permainan tampak meriah. Aku panas dingin menanggung grogi. Ada perasaan khawatir kalau timku kalah. Tak terbayangkan kalau Sella nanti mengolokku.

“Hei.. awas!” Aku spontan teriak cukup keras ketika salah satu orang tak hati-hati menggerakkan tali, sehingga tongkat hampir saja terjatuh. Anak itu wajahnya menjadi tegang, aku merasa bersalah telah berlebihan mengkhawatirkan mereka.

Ku lihat kelompok Sella masih aman, bahkan beberapa langkah telah mendahului tim ku. Tak ku lihat ada kendala dari permainan mereka. Sedangkan tim ku tampaknya mulai demam panggung. Namun aku terus menyemangati mereka. Dalam situasi seperti ini hanya dibutuhkan ketenangan dan konsentrasi penuh.

“Ayo Indonesia Gemilang, jangan menyerah!” terdengar suara kencang di sebelahku. Penasaran siapa sosok itu, ku palingkan wajahku, ternyata dia adalah Lila. Aku senang mendapat dukungan darinya. Dalam situasi ini aku merasa dukungannya sangat berarti.

Keringat yang mulai bercucuran di dahi peserta tak mengurangi semangat mereka. Aku senang dengan kekompakkan tim yang saling menjaga kekompakkan. Usaha mereka untuk menjaga keseimbangan begitu lekat terlihat. Namun…

“Awaaaaas!” teriakan itu menjadi pertanda timku gugur. Padahal tinggal satu meter lagi mencapai garis finish. Aku menunduk lesu. Perjuangan yang tinggal selangkah lagi harus berakhir. Lila menepuk pundakku untuk berempati.

Di sisi lain, Sella terbakar semangatnya untuk tim yang dikomandaninya. Aku sudah duga, dia memberikan tatapan mencibir padaku. Kesal sekali rasanya melihat tingkahnya kali ini. Aku seperti tak mengenal Sella sebagai temanku.

“Sudahlah Em.. ayo kita samperin mereka,” Lila berusaha menguatkan.

Lila benar, aku harus mengampiri timku. Walaupun mereka gagal, tak pantas aku mengabaikan perjuangannya. Segera ku tampilkan wajah yang ceria untuk mereka. Aku tidak boleh ikutan frustasi dengan kekalahan kami.

“Sudah, gak masalah. Ini kan hanya permainan, kalian sudah melakukan yang terbaik,” hiburku. Mereka mengangguk paham.

Ku berikan minuman untuk menyegarkan semangat mereka lagi.

“Kamu sih tadi kurang hati-hati,” salah seorang anak tampak tidak terima.

“Heh, sudah! Jangan saling menyalahkan. Ingat loh ya! Ini kan permainan tim, jadi kalau gagal berarti ditanggung bersama,” ucapku.

Anak itu kemudian tak berkomentar lagi. Sedangkan anak yang disalahkan, ku hampiri untuk meyakinkan bahwa ini bukan salah dia. Lila mengacungkan jempol untukku.

Usai saling menghibur diri, mereka ku izinkan kembali ke tenda masing-masing. Sedangkan Lila mengajakku ke dapur panitia untuk mengecek makan malam nanti.

“Memangnya sudah masak mereka?” tanyaku ke Lila.

“Ya justru itu, kita cek. Kamu tahu sendiri kan tim konsumsinya agak malas-malasan,” jawab Lila.

Baiklah, aku ikut saja langkah dia. Toh kalau lihat Sella lama-lama makin kesal karena dia tak peduli dengan perasaanku.

Sampai di lokasi, ku lihat panitia yang bertugas memasak ternyata sudah meracik bumbu untuk lauk makan. “Ada yang bisa ku bantu?” tawarku. Mereka menggelang. Ku perhatikan memang tak ada lagi yang perlu dilakukan.

Aku dan Lina pun memutuskan untuk meninggalkan dapur panitia. Namun baru saja berbalik arah, ku lihat Sella ada di depanku.

“Kasih aku selamat dong…” ucapnya berlagak.

“Sella….” Lila membentak.

Aku menatapnya tajam dan berlalu meninggalkan dia. Rasa kesalku semakin besar.

“Eh tunggu… Em…” teriak Sella yang tak ku hiraukan.

Aku meminta Lila untuk meninggalkanku sendirian. Namun tak lama kemudian Sella yang menghampiriku.

“Mau apa?” ucapku.

“Kamu kenapa sih Em?” tanyanya.

“Kamu puas kan ngalahin aku?” sungutku.

Astaghfirullah, jadi kamu memandang ini serius?” Sella mendekat ke arahku yang dalam posisi duduk.

“Aku minta maaf ya kalau ternyata sikapku menyakitimu,” ucapnya dengan intonasi lebih rendah dari sebelumnya. Sedangkan aku masih membisu.

“Emy cantik… dengar ini! aku tak pernah merasa permainan tadi persaingan kita loh. Baiklah, mungkin ekspresi aku berlebihan menanggapi kemenangan tadi. Niatnya kan hanya untuk hiburan,” Sella menjelaskan.

“Menang kalah itu biasa kan dalam permainan?” ucapnya sambil menghadapkan wajahku ke arahnya.

“Tapi aku gak pernah kalah,” jawabku.

“Oooooh begitu. Nah inilah kesempatanmu untuk kalah, supaya merasakan posisi orang yang kalah dalam kompetisi. Pantas saja kamu ngambek sama aku sampai begini,” Sella menertawaiku.

“Apaan sih malah ketawa,” aku kembali kesal dengan sikapnya.

“Maaf.. sekarang begini deh. Yuk aku traktir makan bakso di depan sana. Mau ya? Ayolaaah…” Sella menarik tanganku.

Aku melihat Sella tampaknya tulus. Maka ku putuskan untuk ikut.

Pilihan Sella untuk mengajakku makan bakso sukses mencairkan suasana di antara kami. Aku menyadari bahwa kekesalanku padanya pun berlebihan. Ternyata dia tidak memandangku sebagai lawan. Aku saja yang harus bisa menyesuaikan diri dengan kondisi apa pun dalam permainan.

“Bersyukurlah punya teman yang lebih hebat dari kamu, Em..” ucapnya.

“Somboooong…” ucapku sambil menyikut pinggangnya. Sella membalasnya lebih terasa. Akhirnya kami saling tertawa.

Kembali pada hakekat permainan. Kami hanya sedang dalam situasi saling menjaga kekompakan. Maka konflik yang sempat membuatku bersitegang dengan Sella merupakan proses dari permainan yang kami jalankan. Belajar dari kekalahan adalah belajar untuk menghargai prestasi orang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b