Kegiatan hari pertama diisi dengan seremonial
pembukaan dan berakhirlah malam dengan kelelahan. Alhamdulillah, semua berjalan
lancar tanpa ada gangguan apa pun. Tak banyak hal yang dapat ku ceritakan,
karena tak ada kejadian yang berbeda dari umumnya. Belum tampak sorotan sinar
matahari, mataku sudah dibuat terbuka oleh suara keras yang mengusik
telinganku. Tampaknya itu adalah teriakan panitia yang membangunkan peserta
KEPPO. Ada satu suara yang tak terkira volumenya.
“Dik..bangun!!!, Sholat!!!, Sholat!!!, sudah
adzan tuh!!!” suaranya.
Ku perhatikan Lila, Sella, dan Nobi pun sudah
beranjak dari posisi tidurnya. Walaupun ku perhatikan mereka masih
malas-malasan untuk bangun. Mungkin mereka tak enak hati kalau tak ikut bangun
dan membantu panitia lainnya. Di sini tugasku dan teman-teman IPPNU adalah
menjadi kakak Pembina yang baik, maka kita turut serta teriak-teriak
membangunkan peserta. Hanya saja memastikan peserta putri tidak absen dalam
setiap kegiatan yang dijadwalkan panitia, termasuk salat subuh berjamah
dilanjutkan kegiatan-kegiatan lain sampai kembali beristirahat di pulau tak
berkapuk.
Suara keras yang tadi ku dengar adalah suara
Kak Rida. Ia salah satu panitia yang memiliki penampilan tidak terlalu tinggi,
badan sedang dan perawakan lumayan berisi. Keunggulan Kak Rida adalah suaranya
yang kencang melebihi teriakan orang pada umumnya. Kalau anak sekarang
disebutnya ‘ngegas’. Maka cocok untuk ditugaskan membangunkan peserta. Nadanya
yang menyerupai suara cowok berhasil membuat mereka tak ada kesempatan untuk
malas-malasan berbaring.
Membicarakan Kak Rida, loyalitasnya sebagai
panitia tidak boleh diragukan. Ia selalu siaga di tenda panitia tanpa melihat
waktu. Hal itu dia lakukan demi menjaga peserta untuk tetap tertib mengikuti
kegiatan tanpa ada yang berusaha kabur. Aku memang baru mengenalnya, tapi
kemarin ia sempat menghampiriku dengan permintaan yang terbilang unik.
“Kak Emy, sini bentar. Bisa minta tolong
fotoin aku?” ucapnya. Aku tidak tahu alasan dia memintaku. Padahal tidak hanya
aku waktu dipanggilnya. Ternyata Kak Rida tetap menjadi anak milenial yang
menyukai hal yang berbau eksis media sosial.
Usai aku mengambil gambar dengan pose yang
disukainya, yaitu hormat bendera. Ia sangat menghayati sekali ketika memberikan
hormat kepada simbol negara tersebut. Sehingga butuh waktu tiga kali mengambil
gambar hingga akhirnya dia puas dengan hasilnya. Tak berhenti sampai proses
pengambilan gambar, Kak Rida memintaku untuk melakukan boomerang di Instagram. “Bagus gak?” ucapnya meminta pendapatku. Tak
ada yang jelek dengan aksi boomerang-nya.
Berlanjut pada pose lainnnya, aku akhirnya
tertarik mengikuti posenya. Tanpa sadar hingga menghabiskan slot memori yang
ada di ponsel miliknya. “Makasih ya Kak Emy, nanti aku kirim hasilnya. Aku isi
baterai dulu ya,” ucapnya pamit. Aku menganggukkan kepala.
Belum hilang pandanganku menyaksikan Kak Rida
pergi, datanglah Sella menepuk pundakku. “Em, habis ini acaranya permainan peserta putra, sedangkan peserta putri keluar untuk
Ansos,” ucapnya mengingatkanku.
“Kenapa nafasmu ngos-ngosan begitu?” aku balik bertanya penasaran melihat tingkahnya yang seperti selesai lari marathon.
“Tadi mondar-mandir nyari kamu, ternyata ada
di sini,” jawabnya terlihat kesal. Aku meminta maaf.
“Berarti kita ditugaskan mendampingi peserta
putra atau putri ya?” ku tegaskan lagi maksud dari perintah itu. Sella
menggelengkan kepala.
“Kita tetap di sini membantu kordinator
permainan, yang keluar ada petugasnya sendiri selain kita” jelasnya.
“Terus, teman-teman yang lain udah dikabari ?”
tanyaku.
“Belum, habis ini bantu aku ya kasih kabar
mereka dan segera kita berkumpul di aula bertemu dengan kordinator permainan
dari Pembina putra” ucap Sella.
Sella kembali ke aula untuk berkordinasi
dengan panitia lain, aku menemui
teman-teman dan menjelaskan yang disampaika Sella padaku tadi. sembari
menunggu Sella kordinasi dengan kak Liya .aku dan teman-teman bercanda gurau di
ruang sekretariat bersama tim medis yang bersiaga disana sejak kemarin.
Lila yang kakinya terluka akibat jatuh minggu
lalu mencoba minta obat pada dokter yang bertugas disana, alhasil diobati
dokter dan Lila disarankan untuk istirahat di ruangan saja agar kakinya yang
bengkak segera bisa normal kembali. Aku sempat menemani Lila sebentar untuk
menenangkan pikirannya. Namun setelah itu aku harus membantu panitia lainnya.
Dalam perjalanan, aku kembali ketemu Kak Rida.
Ia tersenyum ke arahku.
“Eh nanti ya foto-fotonya,” ucapnya
menginformasikan bahwa ponselnya belum sempat dibuka. Bagiku tak masalah, bukan
hal yang mendesak. Namun ketika aku hendak beranjak, Kak Rida memanggilku.
“Kenapa Kak?” tanyaku.
“Kamu baru kan tinggal di Jakarta?” tanyanya.
“Iya Kak. Ini juga pertama kalinya aku ikut
kegiatan di sini. Ada apa ya?” tanyaku takut tanpa sengaja membuat kesalahan.
“Gak apa-apa. Aku senang melihatmu semangat.
Kamu kelihatan tulus dan berdedikasi. Jangan pernah berubah ya,” nasehatnya.
Aku mengucapkan terima kasih padanya. Namun
aku tak menangkap maksud dari kalimat pujian tersebut. Hingga Sella datang
dengan mengagetkanku.
“Hayo, kamu ngobrol apa saja sama Kak Rida?”
ia penasaran juga.
Aku tak ingin menanggapinya. Segera ku ajak
melanjutkan tugas kepanitiaan.
Sella terlihat kesal ketika aku tak acuh
dengan pertanyaannya. Dalam berkegiatan, dia lama sekali mendiamkan aku.
“Nanti hilang loh cantiknya kalau cemberut
begitu,” godaku pada Sella.
“Heh, gak ada ya ceritanya Sella tidak
cantik,” timpalnya.
Barulah setelah itu Sella mau ngobrol lagi
denganku.
Usai aku berjibaku dengan Sella dalam satu
tim. Malamnya aku kembali berkesempatan ketemu dengan Kak Rida lagi. Sayangnya,
momen pertemuan kami kurang tepat, karena dia baru saja memarahi peserta yang
melanggar aturan. Wajahnya tampak sekali merah padam. Aku sempat mengurungkan
niat untuk menyapanya. Namun dia justru lebih dulu menyapaku dengan berusaha
menenangkan pikiran.
“Kamu ada aplikasi Share it kan? Aku mau kirim
foto tadi,” ucapnya.
“Kak Rida, kamu ini lucu banget,” aku
mengomentari salah satu boomerang yang luput dari perhatianku sebelumnya. Dia
pun tampaknya baru mengetahuinya. Ia tertawa lepas melihat aksinya sendiri.
“Kak Emy, tuh kamu malah gaya apa itu?”
komentar Kak Rida heboh dengan gayaku yang berlagak akan terbang seperti
kupu-kupu.
Usai foto terkirim semua. Aku mengajaknya
bercerita pengalamannya selama aktif di IPPNU. Aku tersenyum melihat caranya
duduk bersila sambil membenarkan kerudungnya. Ternyata ia memiliki cerita yang
luar biasa. Berhubung cerita yang dibagikan terbilang urusan pribadi, maka aku
tak ingin membagikannya ke siapa pun. Namun satu nasehat yang akhirnya aku pahami.
“Di mana pun ada orang baik dan jahat. Manusia
memiliki pilihan mau berperan sebagai apa. Setiap pilihan juga ada resikonya.
Tapi yakinlah memilih menjadi orang baik tidak akan rugi walau berada di jalan
yang sepi,” nasehatnya.
Kak Rida benar, aku sendiri mengalaminya.
Terkadang pikiran kita mudah digoyahkan oleh prinsip-prinsip yang popular demi
supaya tidak merasa sendirian. Tetapi mengabaikan naluri bahwa menjadi baik
akan selalu mulia. Aku bersyukur dikenalkan dengan Kak Rida dengan nasehatnya. Setidaknya
aku bisa lebih bersiap diri apabila dalam pergaulanku di IPPNU nanti menuai
banyak masalah yang bertolakbelakang dengan nilai yang aku pegang.
Komentar
Posting Komentar