Langsung ke konten utama

Mengenal Kak Rida


Kegiatan hari pertama diisi dengan seremonial pembukaan dan berakhirlah malam dengan kelelahan. Alhamdulillah, semua berjalan lancar tanpa ada gangguan apa pun. Tak banyak hal yang dapat ku ceritakan, karena tak ada kejadian yang berbeda dari umumnya. Belum tampak sorotan sinar matahari, mataku sudah dibuat terbuka oleh suara keras yang mengusik telinganku. Tampaknya itu adalah teriakan panitia yang membangunkan peserta KEPPO. Ada satu suara yang tak terkira volumenya.

 “Dik..bangun!!!, Sholat!!!, Sholat!!!, sudah adzan tuh!!!” suaranya.

Ku perhatikan Lila, Sella, dan Nobi pun sudah beranjak dari posisi tidurnya. Walaupun ku perhatikan mereka masih malas-malasan untuk bangun. Mungkin mereka tak enak hati kalau tak ikut bangun dan membantu panitia lainnya. Di sini tugasku dan teman-teman IPPNU adalah menjadi kakak Pembina yang baik, maka kita turut serta teriak-teriak membangunkan peserta. Hanya saja memastikan peserta putri tidak absen dalam setiap kegiatan yang dijadwalkan panitia, termasuk salat subuh berjamah dilanjutkan kegiatan-kegiatan lain sampai kembali beristirahat di pulau tak berkapuk.

Suara keras yang tadi ku dengar adalah suara Kak Rida. Ia salah satu panitia yang memiliki penampilan tidak terlalu tinggi, badan sedang dan perawakan lumayan berisi. Keunggulan Kak Rida adalah suaranya yang kencang melebihi teriakan orang pada umumnya. Kalau anak sekarang disebutnya ‘ngegas’. Maka cocok untuk ditugaskan membangunkan peserta. Nadanya yang menyerupai suara cowok berhasil membuat mereka tak ada kesempatan untuk malas-malasan berbaring.

Membicarakan Kak Rida, loyalitasnya sebagai panitia tidak boleh diragukan. Ia selalu siaga di tenda panitia tanpa melihat waktu. Hal itu dia lakukan demi menjaga peserta untuk tetap tertib mengikuti kegiatan tanpa ada yang berusaha kabur. Aku memang baru mengenalnya, tapi kemarin ia sempat menghampiriku dengan permintaan yang terbilang unik.

“Kak Emy, sini bentar. Bisa minta tolong fotoin aku?” ucapnya. Aku tidak tahu alasan dia memintaku. Padahal tidak hanya aku waktu dipanggilnya. Ternyata Kak Rida tetap menjadi anak milenial yang menyukai hal yang berbau eksis media sosial.

Usai aku mengambil gambar dengan pose yang disukainya, yaitu hormat bendera. Ia sangat menghayati sekali ketika memberikan hormat kepada simbol negara tersebut. Sehingga butuh waktu tiga kali mengambil gambar hingga akhirnya dia puas dengan hasilnya. Tak berhenti sampai proses pengambilan gambar, Kak Rida memintaku untuk melakukan boomerang di Instagram.  “Bagus gak?” ucapnya meminta pendapatku. Tak ada yang jelek dengan aksi boomerang-nya.

Berlanjut pada pose lainnnya, aku akhirnya tertarik mengikuti posenya. Tanpa sadar hingga menghabiskan slot memori yang ada di ponsel miliknya. “Makasih ya Kak Emy, nanti aku kirim hasilnya. Aku isi baterai dulu ya,” ucapnya pamit. Aku menganggukkan kepala.

Belum hilang pandanganku menyaksikan Kak Rida pergi, datanglah Sella menepuk pundakku. “Em, habis ini acaranya permainan peserta putra, sedangkan peserta putri  keluar untuk Ansos,” ucapnya mengingatkanku.

“Kenapa nafasmu ngos-ngosan begitu?” aku balik bertanya penasaran melihat tingkahnya yang seperti selesai lari marathon.

“Tadi mondar-mandir nyari kamu, ternyata ada di sini,” jawabnya terlihat kesal. Aku meminta maaf.
“Berarti kita ditugaskan mendampingi peserta putra atau putri ya?” ku tegaskan lagi maksud dari perintah itu. Sella menggelengkan kepala.

“Kita tetap di sini membantu kordinator permainan, yang keluar ada petugasnya sendiri selain kita” jelasnya.

“Terus, teman-teman yang lain udah dikabari ?” tanyaku.

“Belum, habis ini bantu aku ya kasih kabar mereka dan segera kita berkumpul di aula bertemu dengan kordinator permainan dari Pembina putra” ucap Sella.

Sella kembali ke aula untuk berkordinasi dengan panitia lain, aku menemui  teman-teman dan menjelaskan yang disampaika Sella padaku tadi. sembari menunggu Sella kordinasi dengan kak Liya .aku dan teman-teman bercanda gurau di ruang sekretariat bersama tim medis yang bersiaga disana sejak kemarin.

Lila yang kakinya terluka akibat jatuh minggu lalu mencoba minta obat pada dokter yang bertugas disana, alhasil diobati dokter dan Lila disarankan untuk istirahat di ruangan saja agar kakinya yang bengkak segera bisa normal kembali. Aku sempat menemani Lila sebentar untuk menenangkan pikirannya. Namun setelah itu aku harus membantu panitia lainnya.

Dalam perjalanan, aku kembali ketemu Kak Rida. Ia tersenyum ke arahku.

“Eh nanti ya foto-fotonya,” ucapnya menginformasikan bahwa ponselnya belum sempat dibuka. Bagiku tak masalah, bukan hal yang mendesak. Namun ketika aku hendak beranjak, Kak Rida memanggilku.

“Kenapa Kak?” tanyaku.

“Kamu baru kan tinggal di Jakarta?” tanyanya.

“Iya Kak. Ini juga pertama kalinya aku ikut kegiatan di sini. Ada apa ya?” tanyaku takut tanpa sengaja membuat kesalahan.

“Gak apa-apa. Aku senang melihatmu semangat. Kamu kelihatan tulus dan berdedikasi. Jangan pernah berubah ya,” nasehatnya.

Aku mengucapkan terima kasih padanya. Namun aku tak menangkap maksud dari kalimat pujian tersebut. Hingga Sella datang dengan mengagetkanku.

“Hayo, kamu ngobrol apa saja sama Kak Rida?” ia penasaran juga.

Aku tak ingin menanggapinya. Segera ku ajak melanjutkan tugas kepanitiaan.

Sella terlihat kesal ketika aku tak acuh dengan pertanyaannya. Dalam berkegiatan, dia lama sekali mendiamkan aku.

“Nanti hilang loh cantiknya kalau cemberut begitu,” godaku pada Sella.

“Heh, gak ada ya ceritanya Sella tidak cantik,” timpalnya.

Barulah setelah itu Sella mau ngobrol lagi denganku.

Usai aku berjibaku dengan Sella dalam satu tim. Malamnya aku kembali berkesempatan ketemu dengan Kak Rida lagi. Sayangnya, momen pertemuan kami kurang tepat, karena dia baru saja memarahi peserta yang melanggar aturan. Wajahnya tampak sekali merah padam. Aku sempat mengurungkan niat untuk menyapanya. Namun dia justru lebih dulu menyapaku dengan berusaha menenangkan pikiran.

“Kamu ada aplikasi Share it kan? Aku mau kirim foto tadi,” ucapnya.

“Kak Rida, kamu ini lucu banget,” aku mengomentari salah satu boomerang yang luput dari perhatianku sebelumnya. Dia pun tampaknya baru mengetahuinya. Ia tertawa lepas melihat aksinya sendiri.

“Kak Emy, tuh kamu malah gaya apa itu?” komentar Kak Rida heboh dengan gayaku yang berlagak akan terbang seperti kupu-kupu.

Usai foto terkirim semua. Aku mengajaknya bercerita pengalamannya selama aktif di IPPNU. Aku tersenyum melihat caranya duduk bersila sambil membenarkan kerudungnya. Ternyata ia memiliki cerita yang luar biasa. Berhubung cerita yang dibagikan terbilang urusan pribadi, maka aku tak ingin membagikannya ke siapa pun. Namun satu nasehat yang akhirnya aku pahami.

“Di mana pun ada orang baik dan jahat. Manusia memiliki pilihan mau berperan sebagai apa. Setiap pilihan juga ada resikonya. Tapi yakinlah memilih menjadi orang baik tidak akan rugi walau berada di jalan yang sepi,” nasehatnya.

Kak Rida benar, aku sendiri mengalaminya. Terkadang pikiran kita mudah digoyahkan oleh prinsip-prinsip yang popular demi supaya tidak merasa sendirian. Tetapi mengabaikan naluri bahwa menjadi baik akan selalu mulia. Aku bersyukur dikenalkan dengan Kak Rida dengan nasehatnya. Setidaknya aku bisa lebih bersiap diri apabila dalam pergaulanku di IPPNU nanti menuai banyak masalah yang bertolakbelakang dengan nilai yang aku pegang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b