Langsung ke konten utama

Mengenal KEPPO Berfaedah



Aku anak Pramuka. Aku bangga dan senang menjadi bagian dari Pramuka. Maka ketika ada kegiatan kepramukaan, aku tak peduli musim panas atau musim hujan yang datang, aku menghadapinya dengan riang. Persis seperti hari ini, aku mengikuti kegiatan perkemahan di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta Selatan. Kegiatan yang berlangsung 4 hari 3 malam tersebut bernama KEPPO.

“KEPPO adalah singkatan Kegiatan Pramuka 4.0, gimana pas kan?” Lila menjelaskan kepadaku istilah KEPPO yang dipakai dalam kegiatan yang aku ikuti ini. Aku menyukainya, mudah disebarluaskan dengan istilah yang sering diucapkan tanpa mengurangi makna dibalik penggunaan nama tersebut. Kepramukaan 4.0 tentu bertujuan untuk mengembangkan perilaku dan sikap anak pramuka menghadapi perkembangan teknologi dalam industri 4.0. walaupun begitu, tentu penggunaan sandi-sandi dalam pramuka tetap dipakai, beberapa peralatan seperti tandu pun digunakan. Hanya saja komunikasi kita lebih mudah menggunakan ponsel. Apalagi kalau sedang terjebak oleh hujan di sebuah tempat.

“Lila, bentar lagi aku sampai. Tapi aku kejebak ujan di Stasiun Pasar Minggu nih” tulisku mengirimkan pesan padanya. Tak lama pesanku pun dibalasnya. Ternyata Lila mengalami nasib yang sama. Aku pikir hujan segera reda, ternyata aku harus menunggu hingga setengah jam. Barulah setelah itu butiran air itu berkurang volumenya. Aku lalu membuka aplikasi ojek online untuk memesan seorang pengemudi untuk mengantarkan ke lokasi. Tak butuh lama muncullah nama dan plat nomor kendaraan.

Menunggu ojek online nya tiba, ponselku berbunyi dna ada notifikasi pesan dari Lila.

“Sudah di mana?” bunyi pesannya. Ku balas segera bahwa aku baru saja naik ojek online bersiap menuju lokasi dari Stasiun Pasar Minggu.

Sampai di lokasi, Lila menyambutku dengan tatapan ke celanaku yang basah akibat terkena hembasan air dari mobil yang melintas di sebelahku. “Nanti pakai saja celanaku ya, aku bawa dua,” ucapnya. Aku mengatakan terima kasih atas perhatiannya. Ia lalu mengenalkan aku pada panitia lainnya, namanya Rida. Kami pun menanyakan nama dan alamat tinggal masing-masing, serta ingin mengetahui kegiatan lain yang dikerjakan di luar menjadi anggota IPPNU.

Satu jam berselang, Sella dan Nobi datang. Aku akrab dengan mereka berdua. Tak tahan rasanya untuk mencela keterlambatan mereka.

“Eits. Aku tahu apa yang ada di pikiranmu,” Sella menggagalkan ucapanku.

“Maaf ya nyonya-nyonya, kami ini orang sibuk sekali. Jadi ada hal-hal yang perlu kita selesaikan sebelum datang ke sini,” Nobi membantu menjelaskan.

Aku dan lainnya lalu menyoraki mereka berdua yang tak merasa berdosa sama sekali dengan keterlambatannya. Kemudian datanglah Kak Liya yang sejak tadi sibuk melakukan koordinasi. “Bagaimana sudah kumpul semua?” ucapnya menghampiri kerumunan kami.

Sebelum kegiatan dilangsungkan kami sudah mengagendakan untuk rapat awal supaya semuanya berjalan dengan baik tanpa adanya tumpang tindih kegiatan. Ku lihat Kak Liya cukup jelas memberikan gambaran kegiatan. Kami masing-masing orang menerima selembaran berupa rangkaian kegiatan yang akan berlangsung selama 4 hari tersebut.

“Em, kamu nginap di sini kan?” Sella membisikkan pertanyaan di sela rapat berlangsung.

“Iya, rencananya begitu. Kenapa?” jawabku berbisik juga.

“Aku pikir pulang ke rumah, aku kan mau ikut,” balasnya.

“Jauh loh. Lagian enak di sini, bisa kumpul bareng menjadi anak pramuka sejati,” jelasku.

‘Huh, mulai deh drama queen,” Sella mencibirku. Segera ku cubit pinggangnya. Dia mengaduh. Kak Liya sempat melihat ke arah kami, namun kami gerak cepat fokus pada rapat.

“Baiklah, kira-kira demikian yang bisa saya jelaskan. Ada yang perlu ditanyakan?” Kak Liya menatap kami satu persatu dan semua kompak menggelengkan kepala. Tak butuh perintah dua kali, kami membubarkan diri dan menjalankan tugas masing-masing.

Aku, Lila, Sella, dan Nobi ditugasi untuk menjaga meja registrasi. Maka kami pun membagi tugas supaya peserta yang datang tidak menumpuk di satu tempat. Aku dan Lila menyiapkan daftar hadir, Sella dan Nobi menyiapkan goody bag yang dibagikan ke peserta.

“Sell, awas ya kalau kamu bungkus sendiri itu goody bag untuk dibawa pulang,” sindirku ketika melihat Sella tampak tertarik dengan goody bag yang disiapkan panitia acara.

“Oh pastinya. Kamu gak usah dibagi, fix,” selorohnya. Aku memberikan tatapan tajam. Ia lalu memamerkan senyuman yang dipaksakan. Namun ternyata Lila memiliki ide untuk mengerjai Sella.

“Sel, kamu juga bertanggungjawab ya kalau sampai ada peserta yang gak dapat goody bag. Kan kita tadi belum menghitung ya, Em,” ia berkata sambil melirik ke arahku. Aku senyum lebar dibantu Lila untuk menggoda Sella. Rasain kamu Sel, batinku.

“Eh.. enak saja. Nob, cepat kamu hitung dulu. Rugi bandar dong kita kalau ternyata pengadaannya kurang,” Sella langsung panik. Lucunya, Nobi dengan muka lugunya mengikuti saja perintah Sella.

“Kak.. kami sudah bisa daftar?” salah satu ketua rombongan menyela bercandaan kami. Sehingga kami kembali pada aktivitas menerima rombongan peserta yang sudah berdatangan. Sella ku lirik panik dengan barang-barang yang dibebankan padanya. Ternyata anak itu bisa juga dibuat panik.

Di sisi lain. ternyata antusias peserta yang datang dari sekolah se-Jabodetabek cukup tinggi. Ku lihat ekspresi wajah mereka pun ceria dan tanpa beban mengikuti kegiatan ini. Aku sebagai panitia jadi ikut bersemangat walaupun di tengah cuaca yang mulai memasuki musim hujan.

“Kak. Aku lupa bawa jas ujan, apakah panitia menyiapkan?” salah seorang peserta mengaduhkan ketidaklengkapan barang bawaan.

“Resiko kamu lah,” sambar Sella tanpa sempat aku menjawab.

Aku segera mengoreksi ucapan Sella. “Nanti kami anntarkan untuk membelinya di sekitar sini ya, lain kali harus lebih memperhatikan kelengkapan,” ucapku.

“Ada kok, di depan sana biasanya orang jualan,” Lila yang lebih mengerti daerah sini memberikan ketenangan peserta tersebut. Aku melihat anak itu sudah menunjukkan wajah leganya. Setelah itu ku dekati Sella. “Lain kali kamu harus sabar menghadapi peserta,” nasehatku. Sella diam saja tidak merespon.

Proses registrasi pun berlanjut tanpa jeda dari rombongan peserta yang sudah hadir. Ada rombongan yang berisik sekali. Lila sempat menegur mereka untuk lebih tertib ketika melakukan pendaftaran.

“Em, kamu kenapa nangis?” Lila yang duduk di sampingku memergoki wajahku yang sempat dengan mata berkaca-kaca.

Aku segera menghapusnya dan menggelengkan kepala ke arahnya. “Aku hanya terharu. Rasanya senang bisa kenal kalian dan melihat wajah-wajah asing mereka tapi penuh dengan sikap ramah dan bersahabat,” jelasku.

Sella yang biasa mencibir ucapanku, kali ini hanya diam menganggukkan kepala. Nobi yang lebih banyak diam, kali ini mengacungkan jempolnya tanda sepakat dengan omonganku.

Ini baru hari pertama, aku sudah merasakan atmosfer kegiatan yang penuh dengan semangat. Tentu aku tak ingin berakhir tanpa kesan yang baik di mata mereka. Aku sudah berjanji pada diri sendiri bahwa inilah pengabdianku untuk IPPNU dan Pramuka.

Aku jadi tak sabar menunggu hari esok untuk menikmati segala aktivitas pramuka yang tak pernah menjemukan. Aku yakin akan ada saja hal tak terduga berupa masalah, kekonyolan tingkah peserta, hingga tawa tulus yang mewarnai kegiatan KEPPO ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Cinta Yang Menyakitkan (Part 5)

Mendung menggantung di langit-langit Makam. Suasana duka masih menyelimuti keluarga Lala. Tanah kuburan baru saja menutupi jasat kembang desa itu. Bunga kamboja ikut berguguran mengirim rasa empati yang mendalam atas terpisahnya dua insan yang saling mencintai itu. Burung Gagak tak berniat lagi untuk bersiul, kehadirannya sudah cukup bukti bahwa duka kehilangan itu sangat nyata. Kepergian Lala diantarkan oleh orang sekampung. Menurut tradisi di kampung tersebut juga ditanamkan pohon pisang pada tanah makam. Hal itu dilakukan mengingat gadis tersebut belum menikah. Tak seperti biasanya, pemakaman Lala menjadi sangat istimewa dengan bumbu kisah cinta yang memilukan. Banyak pemuda desa yang mengagumi dan berniat untuk menjadi pendampingnya. Bahkan tunangannya merelakan diri pulang dari Malaysia demi ingin melihat jasad terakhir orang yang seharusnya ia nikahi nanti. Bapaknya pingsan berkali-kali di pemakamam, ketika sadar ia pun tak bergeming sama sekali. Prosesi mengadzankan jenazah pu