Aku
mengambil keputusan besar. Bagi lelaki dewasa, membawa seorang perempuan datang
ke rumah bukanlah hal main-main. Pasti ada pertanyaan serius, siapa dia? Tidak mungkin
dengan bercanda aku bilang ke keluarga; coba saja kenalan sendiri. Lalu aku berjalan
cuek menuju kamar. Ah dimana akhlaknya? Begitulah mungkin komentar Erick Tohir,
sang Menteri BUMN periode sekarang.
Mengenalkan
Nabila, kekasihku ke keluarga harus dengan pertimbangan yang matang. Tidak boleh
dengan ambisi atau egoisme semata. Aku tidak ingin menjadikannya perempuan yang
dicap jelek oleh keluarga. Apalagi dia akan bersanding dengan ibuku, sebagai
perempuan yang penting untuk aku perjuangkan dan bahagiakan. Namun, seperti
keluarga lain yang ketat aturan soal bibit bebet dan bobot, maka Nabila harus
masuk kriteria yang keluargaku inginkan, supaya kami berdua pun menjalani
hari-hari dengan tentram.
Rencanaku
membawa Nabila sudah ku kabarkan ke keluarga, bahkan semua kakakku menjadwalkan
tanggal khusus untuk bisa menjadi saksi kehadirannya. lebih tepatnya sih mereka
pun ingin andil sebagai penilai apakah aku mengenalkan orang yang tepat. Tanggal
14 Februari dipilih sebagai hari baik. Nabila pun akhirnya ku beritahu mengenai
rencana itu.
“Kamu
yakin Am?” Nabila menatapku kaget.
“Kapan
lagi kita menunda ini?” Aku menjawab dengan sebuah pertanyaan.
Nabila
menahan nafas berat. Ia mendongakkan kepalanya. Setelah itu dia mengangguk.
“Tenang!
Semua akan baik-baik saja, insya Allah,” ucapku. Nabila menggenggam tanganku.
Malam
hari sebelum keberangkatan, Nabila mengirimkan pesan melalui whatsapp;
“Am,
apakah aku perlu mengenakan Jilbab?” tulisnya. Ku jawab tidak. Dia harus tampil
seperti ia berpakaian sehari-hari. Terpenting, lebih sopan saja.
Tampaknya
dia cukup gelisah dengan resiko tidak mengenakan Jilbab, berhubung aku pernah
mengatakan bahwa menantu idaman di keluargaku adalah seorang Muslimah yang
taat. Aku rasa kriteria itu bukan buruk, tapi menempatkan Jilbab sebagai simbol
ketaatan, masih aku perdebatkan. Ada banyak sisi dari Nabila yang menurutku cocok
dengan kehidupan religius keluargaku.
****
Keberangkatan
dari Jakarta ke Jombang memakan waktu selama 10 jam. Kebetulan rumahku dengan
dekat tol, sehingga aksesnya lebih mudah. Aku sengaja membawa mobil pribadi,
supaya tidak merepotkan orang untuk menjemput kami. Lagi pula aku ingin Nabila
mengalami pengalaman pertama bepergian dengan jalur darat. Karena dia asli
orang Jakarta, tidak pernah merasakan mudik.
Tiba
di rumah, lampu sudah banyak yang dipadamkan. aku ketuk berkali-kali sampai
jawaban salam kami dijawab.
“Waalaikum
salam..” terdengar suara ibuku.
Nabila
cukup sigap untuk langsung mencium tangannya. Seperti biasa, ibuku penampilannya
cukup sederhana. Ia mengenakan kerudung panjang yang biasa dipakai perempuan Jawa.
“Ini
toh le, calon menantu ibu?” aku tersenyum. Nabila ku lihat sangat gugup. Namun
mendapati sikap ibuku yang ramah, tampaknya dia berusaha mengurai kegugupannya.
“Kalian
pasti lelah, sebaiknya istirahat dulu. Mbok Sari sudah menyiapkan kamar buatmu
Nduk..” ucap Ibuku.
Nabila
pun berjalan sesuai arahan. Mbok Sari sempat hendak membawa tasnya tapi ditolak
Nabila. Aku rasa dia segan dengan perlakuan itu. Sikap yang bagus.
Esok
harinya, di meja sarapan, semua anggota keluarga kumpul. Etika makan yang sudah
turun temurun dilakukan, kami duduk sesuai jenjang umur, dan tak ada satu pun
yang berbicara ketika makan sedang berlangsung. Untuk hal ini, aku percaya
Nabila bisa mengatasinya.
Sarapan
pagi ini, menunya adalah sayur asem yang berisi Ikan Mas, sambal terasi pedas,
tahu, dan tempe. Semua itu hasil masakan Mbok Sari, orang yang sejak kecil
sudah membantu keluarga kami.
Lima
belas menit berlalu, semua telah menyelesaikan makannya. Maka aku punya
kesempatan untuk memperkenalkan Nabila ke mereka. “Bapak, Ibu, Mbak Sri, Mas
Bagus, Mas Ridho, Mas Saiful, Mbak Aisyah, dan Mas Hidayat, perkenalkan ini
Nabila,” ucapku tegas.
Nabila
tanggap apa yang harus dilakukan. Ia pun memasang wajah senyum ramah pada
mereka semua sambil menatap satu per satu wajahnya. Itulah tata krama yang
sudah pernah aku ajarkan.
“Sri,
ajak dia ngobrol. Bapak ingin ngomong sama anak bungsu ku ini,” Bapak cepat
merespon. Ia menyuruh Mbak Sri untuk mengajak Nabila meninggalkan meja makan,
diikuti sama Mbak Aisyah.
Ketika
Nabila sudah tidak bersama kami, Bapak langsung mengutarakan pendapatnya.
“Kamu
sudah lupa sama ajaran bapak?” ucapnya.
“Amir
tak pernah lupa dengan apa pun yang bapak ajarkan,” jawabku.
“Lalu,
kenapa kamu memperkenalkan wanita seperti itu?” tanyanya lagi.
“Nabila
perempuan baik. Dia ngerti agama, Salatnya rajin, aku juga tahu dia bisa baca
Al-quran. sudah cukup dikatakan perempuan salehah kan pak?” ucapku.
“Bagimana
bapak bisa yakin dia solehah, kalau auratnya saja tidak dijaga,” bapak membantahku.
“Menutup
aurat adalah kewajiban bagi setiap muslim. Menutup aurat bukanlah pilihan, Am. Jangan
pernah kamu mempermainkan agama seenakmu sendiri,” kali ini Mas Saiful
berbicara.
“Aku
gak pernah memainkan agama mas. Ini hanya soal waktu, tolong beri kesempatan Nabila
untuk menemukan jalan hidayahnya sendiri,” jawabku.
“Sampai
kapan? Ingat loh, suami itu tanggungjawab keluarga di akhirat,” Mas Ridho
ikutan komentar.
Aku
tentu tak bisa menjawab kapan Nabila memutuskan untuk bersedia mengenakan Jilbab.
Di
ruang yang berbeda, berdasarkan cerita Nabila. Ia mendapat pertentangan yang
sama dengan apa yang ku alami.
“Banyak
hal dalam kehidupan beragama, kita ada yang bisa menjalankan da nada yang
tidak. Maaf jika ini salah menurut Mbak Sri dan Mbak Aisyah, ada ruang dalam
hati yang kadang hanya kitalah yang tahu kapan sesuatu itu siap kita laksanakan
dan tidak. Seperti sebuah renungan, apakah kita melakukannya karena faktor
lingkungan, kebiasaan (budaya), atau malah paksaan? Nabila dalam posisi ingin
melakukan apa pun benar-benar karena Allah. Dan saat ini, Nabila belum
menemukan alasan itu,” jelas Nabila.
“Ini
perintah Allah. Tidak ada pilihan di situ, bagaimana kamu menjalankan shalat,
puasa, bayar zakat, dan ibadah lainnya, padahal kamu belum taat untuk kewajiban
pada tubuhmu. Tahukah kamu dosa membuka aurat?” kini Mbak Aisyah yang bicara.
“Aku
tidak pernah menganggap semua ini benar mbak. Terima kasih telah memberikan
banyak ilmu, bukankah pada akhirnya setiap manusia akan menerima buku amalnya
masing-masing?” jawab Nabila.
“Masalahnya,
kamu akan menjadi bagian dari keluarga kami. Dan kami memiliki tanggungjawab
untuk menjaga adik kami dari panasnya api neraka,” Mbak Sri memungkas obrolan.
Tidak
ada titik temu lagi. Dua kakak itu memutuskan menolak Nabila sebagai adik
iparnya.
Kembali
ke meja makan, kondisi semakin memanas. Perdebatan dengan perempuan baik-baik
cukup alot. Sesuai prediksiku, Mas Hidayat lah yang mau membela untuk menghadapi
Bapak, mas Saiful dan mas Ridho.
“Ini
hasil didikanmu Buk. Mengizinkannya anakmu kuliah di kampus yang tidak agamis.
Pemikirannya sudah sangat liberal. Apa orang-orang barat itu bisa menolongnya
di akhirat?” Kali ini ibu yang menjadi sasaran luapan kekesalan bapak.
“Selama
ini Bapak sudah cukup toleran dengan pilihan-pilihanyang jauh dari agama. Tapi
untuk satu hal ini, bapak tidak akan merestuimu menikah dengannya,” keputusan
kelapa keluarga sudah diketuk palu.
Semua
perdebatan tidak berarti lagi. Mas Hidayat berusaha menghiburku. Ibu juga
menghampiriku, mengusap-usap kepalaku.
“Jangan
pernah membenci Bapakmu. Apa yang kami lakukan hanya ingin yang terbaik buat
anak. Cara Ibuk dan Bapak mungkin beda. Kamu mesti paham itu ya Nak,,” Ibu lalu
memelukku.
Aku
dan Nabila merenung di teras rumah ketika semua anggota keluarga sudah beranjak
istirahat. Aku tak menyangka kalau hasilnya tetap tak ada perubahan.
“Aku
pikir, ketika ibumu mengulas senyum waktu pertama ketemu, itulah pertanda baik,
Am,” ucapnya.
“Aku
masih akan memperjuangkan hubungan kita. Kamu sabar ya,” aku menenangkannya. Padahal
aku pun gelisah memikirkan cara apalagi supaya mereka menerima.
Suara
kodok yang bersautan mengiringi kegelisahan kami. Malam terasa begitu sendu
karena ada dua insan yang berjuang untuk mendapatkan restu. Namun seketika ada
suara pintu terbuka. Kami berdua secara bersamaan menoleh ke belakang.
“Masuklah,
sudah malam. Gak enak sama tetangga,” ternyata Ibu.
Kami
menuruti perintah itu. Tampaknya kita memang sudah harus mengistirahatkan
pikiran.
Ketika
hendak masuk ke dalam, ibu menepuk bahu Nabila.
“Ibu
tahu kamu perempuan baik-baik dan ada darah ningrat dalam dirimu. Jangan
menyerah, ini hanya soal waktu. Bukankah kita tidak pernah tahu apa yang
terjadi esok? Dan bukan hal mustahil kamu tergerak untuk memakai hijab, kan?”
ucapan itu membuatku terenyu. Aku percaya sesama perempuan pasti memiliki empati
yang baik.
“Nabila
tidak sedang berjuang untuk hal buruk bu. Insya Allah kebaikan tidak untuk diabaikan,
hanya saja terkadang seseorang butuh keteguhan hati melakukannya,” jawab
Nabila.
Mendengar
jawaban itu, hatiku senang. Tampaknya Nabila berhasil meyakinkan ibu bahwa
pasti ada harapan untuk niat baik.
Aku
sebagai lelaki telah memberinya banyak kesempatan untuk memilih dan merdeka
atas hidupnya. Jikalau dengan mengenal keluargaku yang memiliki aturan ketat
dia mampu berkompromi, maka ke depan ku yakini bahwa jalan terjal apa pun yang
menghadang hubungan kami, mudah untuk dihadapi.
Aku
tak boleh membiarkan Nabila berjuang sendirian menemukan prinsip-prinsip
hidupnya. keluargaku pun harus belajar dari orang lain bahwa ada cara pandang
yang terbuka dalam setiap keputusan hidup. Peluang kami bersama pada akhirnya
tergantung bagaimana semuanya tidak menutup diri menerima satu sama lain. Selama
masih ada pemikiran bahwa akulah yang terbaik, maka peluang untuk bersama tidak
terjadi. Aku percaya, aku dan Nabila sedang menuju peluang bersama itu.
Komentar
Posting Komentar