Aku
tak terbiasa sendirian. Hampir setiap hari tidak ada jadwal kosong untuk ketemu
kamu. Ada saja hal yang membuat kita bisa bertemu; mengerjakan tugas kuliah,
acara intra kampus, atau sekadar diskusi tentang buku baru, film baru, hingga
berita popular untuk kita perbincangkan tanpa bosan. Dinda, namamu yang mudah
diingat dan disebutkan. Aku ingat bau parfummu, baju kesukaanmu, bahkan hafal
apa saja yang membuatmu nyaman dan kesal.
Sajak
malam yang sering aku kirimkan melalui aplikasi LINE, kamu jawab dengan satu kata;
Gombal. Tapi itu cukup membuatku bahagia. Karena setelahnya pasti kamu kirimkan
stiker love. Aku ingat, satu kali kamu pernah mencoba melakukan hal yang sama,
membuatkanku sajak, sama sekali gak memenuhi kaedah yang benar, tapi karena
darimu aku suka. Bahkan aku screenshoot dan ku tampilkan di beranda LINE ku.
Esoknya kamu datang pagi-pagi menggedor kamar kosku, menghukum ulahku dan
meminta ditraktir nonton film Teman Tapi Nikah 2. Tak bisa ku tolak, aku senang
apa pun bersamamu.
Dinda,
ku hitung-hitung, ternyata kita saling kenal sudah hampir 4 semester ya?
Cukup
lama bagi orang yang setiap hari ketemu, bahkan di hari minggu. Tak ikhlas
kayaknya kalau ingin sehari saja aku rebahan menikmati libur. Sengaja sekali
kamu tak mengirimkan pesan apa pun, melainkan langsung ngetuk pintu dan
mengajak lari pagi di hari minggu. Kadang aku benaran kesal loh Din, apa kamu
nyadar dengan hal itu?
“Kalau
bukan kamu, siapa yang bisa aku paksa?” katamu.
“Ada
Tommy tuh yang suka nyamperin kamu di selasar kampus,” jawabku terlihat sekali
cemburu.
“Mukamu
gak cocok cemburu gitu, ganti gih!” komentarmu yang sukses membuatku tertawa.
Dinda,
menyikapi sesuatu tidak lebay adalah karaktermu. Sebagai cowok, aku bahkan yang
sering berlebihan menanggapi apa pun yang terjadi sama kamu. Persis Ketika kamu
ngabari sedang dirawat di RS Persahabatan, aku langsung datang tengah malam dan
berakhir dengan pengusiran oleh satpam. Karena berlaku jam malam. Kamu bukannya
kasian atau minta maaf, malah menertawakanku.
“Lagian
siapa suruh datang, aku kan Cuma ngabari. Lagian aku gak sedang sekarat kok,”
balasmu di LINE.
“Emang
malaikat nyabut nyawa nunggu orang sakit?” timpalku.
“Gama……
tega kamu ya. Awas! Sembuh nanti ajak aku makan Takoyaki,” pesanmu tak ku
balas. Memangnya kamu saja yang bisa ngisengin aku.
Dinda,
kamu tahu kan aku pernah menyesal karena memilih jurusan Sastra. Banyak juga
cibiran dari teman-temanku, tapi kamu bilang aku sudah di jalan yang benar.
“Orang
kadang ngejar gengsi doang, jurusannya keren, pas dapat tugas, setresnya udah
kayak telat dapat uang bulanan,” katamu.
“Nyindir
diri sendiri apa gimana tuh?” selorohku.
Bukannya
kamu menjawab, malah mendaratkan buku Kebijakan Publik itu ke bahuku. Gak punya
perasaan, sakitnya sampai malam menjelang tidur. Untung kamu kirimkan pesan
yang sukses membuat rasa sakitnya hilang.
“Besok
aku temenin deh ke Gramedia nya, biar gak jomlo ngenes,” tulismu.
Dinda,
kamu ngerasain gak, anak-anak di belakang kita suka ngomongin loh status hubungan
kita.
“Kalian
itu pacarana gak sih,” ucap mereka.
Aku
sendiri belum sempat membahas ini denganmu. Aku terlalu menikmati kebersamaan
kita atau terlalu mengecut untuk mengakuinya? Dua hal itu kadang tengah malam
membuat pikiranku kalut. Satu sisi, kamu memperlakukanku lebih dari sekadar
teman, aku pun begitu ke kamu. Sampai aku menyadari bahwa apa yang kita jalani
ini tak sekadar pertemanan.
Baiklah,
aku mulai memiliki keberanian untuk memastikan bahwa aku mencintaimu. Iya,
cinta yang lebih dari hubungan teman, melainkan sesuatu yang memiliki masa
depan untuk tinggal serumah. Aku sudah merencanakan momen untuk menyatakan
perasaanku. Tempat yang ku pilih tak akan membuat obrolan kita canggung atau
berbeda. Ku harap itu semua bisa membuatmu lebih nyaman membicarakannya. Jika
ada kemungkinan buruk, misalnya kamu ternyata tak memiliki perasaan yang sama
denganku, harapannya tempat itu menolongku untuk tidak kecewa yang berlebihan.
Aku
sudah menyiapkan sajak yang membuatmu nanti berbunga-bunga. Setidaknya, lebih
spesial dari yang biasa ku kirimkan ke kamu sebelum tidur. Begini bunyinya:
Dinda,
kupu-kupu yang cantik itu berasal dari ulat yang kita hindari. Sedangkan kamu
yang cantik, berasal dari aib yang diperbaiki.
Malam
gelap terbantu taburan bintang yang bercahaya. Kamarmu yang hampir gelap
diterangi notifikasi LINE yang penuh kata-kata.
BTS,
Black Pink, EXO, dan SHINee, digemari jutaan orang di dunia. Dinda, nama satu-satunya
yang ku sebut dalam doa.
Begitulah
kira-kira yang ingin ku ucapkan langsung. Barulah kalimat sakral ku ucapkan:
Wahai
Dinda, maukah kamu menjadi pasanganku? Kita rencanakan masa depan kita untuk
pernikahan?
Duaaaar…..
Rencana
itu buyar. Tanganku gemetar membaca
pesan darimu. Singkat, jelas, dan merubah semuanya mengenai kita.
“Gama,
aku positif Covid-19. Sekarang dikarantina. Sementara hape aku nonaktifkan ya.
Kalau hal buruk terjadi padaku, maaf atas semua kesalahan yang sengaja atau
tidak ku lakukan” tulisnya.
Itulah
pesan terakhir darimu. Ketika aku membalasnya, sudah tidak ada respon lagi. Aku
kehilangan, aku benar-benar semakin sadar bahwa selama ini telah membuang waktu
banyak bersamamu tanpa kejelasan tentang hubungan kita.
Berita
di televisi, perbincangan di grup LINE, WA, dan sosial media lainnya tak pernah
jeda membahas virus yang belum ditemukan obatnya. Indonesia sempat menyatakan
diri sebagai negara yang aman Covid-19, tetapi semua berubah Ketika salah satu Menteri
dinyatakan positif. Berbagai pernyataan istana membuat banyak pengamat mendesak
pemerintah untuk segera membuka nama-nama orang yang positif, namun pemerintah
bersikukuh tak akan membukanya.
Banyak
spekulasi yang berkembang di masyarakat maya. Aku jadi khawatir dengan keadaan
sekitar, apalagi selembar surat dari kampus mengabarkan bahwa kegiatan belajar
mengajar dilakukan secara online selama 14 hari ke depan.
Dinda,
aku gagap menghadapi virus ini, karena biasanya apa pun ku bahas denganmu. Aku
benar-benar seperti kehilangan satu kaki untuk melangkah, kehilangan satu
tangan untuk menggenggam, dan tersumbat satu lubang hidung untuk bernafas. Sama
sekali tidak nyaman menjalani hari-hari.
Aku
tidak bisa pulang ke rumah, karena sudah dapat imbauan dari pemerintah bagi
mahasiswa untuk tidak Kembali ke kampung, karena beresiko penularan. Aku juga
memutuskan untuk mengindari keluar kamar kos, kecuali beli makan. Kegiatan nongkrong
di teras rumah bareng penghuni kos lainnya, tak lagi ku lakukan. Lagipula
beberapa liga bola dari tim favoritku sudah diputuskan untuk dibatalkan
digelar.
Dinda,
seminggu berlalu. Aku belum juga mendengar kabarmu apakah sudah bisa pulang
atau masih dalam tahap karantina? Tak ada yang bisa ku hubungi, karena semua
anggota keluargamu dinyatakan positif juga. Perasaan kesepian yang melandaku
bercampur dengan rasa cemas akan suatu hal buruk, yaitu kita gak akan pernah
ketemu lagi.
Astaghfirullah.
Apa yang aku pikirkan? Bukankah sebaiknya aku berdoa untuk kesembuhannya dan
kita bisa menjalani hari-hari seperti semula? Rasa cemasku sudah berlebihan
ternyata. Aku jadi susah tidur juga di malam hari. Langit-langit kamar seperti
menampakkan pola bayangan bahwa dunia akan berakhir segera.
Dinda,
aku kangen. Batinku benar-benar dalam kerinduan yang besar. Sebesar kecemasan
seluruh dunia karena Corona telah merubah kita. Kini, aku harus terbiasa melewati
hari-hari sendiri, sampai virus itu pergi dari pertiwi.
Komentar
Posting Komentar