Langsung ke konten utama

Game Kafimir

Gadget sudah menjadi teman sehari-hari anak generasi Z. Namun beberapa di antara mereka masih menyukai permainan yang dilakukan bukan di dunia virtual. Salah satu anak itu adalah Alfi. Gadis kecil berambut gelombang, kulit sawo matang, dengan suara sedikit nge-bass, ditambah tertawanya membuat teman sepermainan ikut tertawa.

Uno!!

Itulah teriakan Alfi mendapati permainannya segera berakhir. Tinggal satu kartu saja yang ia pegang. Serius sekali dia menyembunyikan angka dan warna kartu supaya tak diketahui lawan mainnya. Ia sekarang bermain Uno bersama Amir, Melinda, dan Imah. Hampir setiap hari mereka bermain. Hingga orangtua dan tetangga berkomentar.

“Kalian ini apa gak bosan?” komemtar mereka.

Alfi dengan suara nge-bass nya berseloroh.
“Gak budhe...” intonasi suaranya dibuat meliuk-liuk.

Kalian ada yang gemar bermain Uno? Bisa jadi kalian satu aliran dengan Alfi dan kawan-kawan.

Mereka berempat adalah pelajar SD kelas 4 yang sedang belajar di rumah karena ada pandemi virus Korona atau dikenal dengan Covid-19. Setiap hari mereka mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru melalui aplikasi pesan whatsapp. Semua tugas yang mereka buat harus dilaporkan ke guru mereka melalui aplikasi tersebut. Alfi tak pernah absen untuk mengerjakan tugas sekolah walau dikerjakan di rumah. Terkadang Alfi meminta bantuan sang ibu ketika tugasnya adalah berbentuk video.

Banyaknya tugas sekolah, terkadang membuat Alfi jenuh. Beruntungnya dia memiliki teman yang selalu menemaninya.

“Mir, ayo keluarkan kartumu!” perintah Alfi pada temannya yang rumahnya bersebelahan darinya.

“Merah..” Ucap Amir yang memgeluarkan kartu merah dengan angka 6.

Alfi yang tinggal memiliki satu kartu berwarna hijau dengan angka sama dengan yang dikeluarkan Amir tentu saja tersenyum riang.

“Yes, aku menang!” Alfi teriak bangga kepada teman-teman sepermainannya.

“Duh.. aku kalah terus.” Amir mengaduh.
Melinda dan Imah yang ikut bermain berusaha menyemangati Amir yang kartunya tersisa paling banyak. Sehingga ia dapat tugas untuk mengacak urutan kartu dan dibagikan kembali sesuai kesepakatan.

Begitulah permainan Uno yang sering dimainkan Alfi bersama teman-temannya. Amir adalah teman yang sering diajaknya main bareng ketika Melinda dan Imah sibuk di rumah masing-masing. 

“Mir.. main Uno lagi yuk!” ajak Alfi pada Amir yang berdiam diri di teras rumah.

“Bosen ah, Fi.” Amir mulai jenuh dengan permainan tersebut. Alfi mengangguk paham. Pasti Amir tak mau lagi mendapati dirinya kalah terus dalam permainan Uno. Ia lalu berfikir keras untuk memainkan permainan baru.

“Melinda dan Imah ke mana ya? Aku belum lihat seharian ini.” Ucap Alfi teringat pada temannya yang lain.

“Kurang tahu. Mungkin diajak ibunya ke sawah.” Amir coba menebak.

“Eh, aku punya ide.” Ucapan Alfi membuyarkan lamunan Amir.

“Ayo main Karambol saja. Tapi pakai koin ya.” Ucapnya.
“Boleh. Mana koinnya?” Amir menimpali.
Alfi pun berlari cepat ke dalam rumahnya untuk mengambil koin yang ia simpan di kamarnya. Tak lama kemudian, ia keluar membawa kardus kue bolu yang berisi koin-koin uang seratus rupiah.

Amir terperangah ketika melihat Alfi mengeluarkan koinnya yang banyak. Ia tampak senang sekali tidak hanya bisa main Uno. Selanjutnya, Amir melihat Alfi yang sedang membuat lingkaran di lantai menggunakan spidol warna hitam. Lingkaran tersebut sebagai pembatas untuk satu koin yang ditandai buat denda. Apabila koin yang ditandai tersebut keluar dari garis lingkaran, maka pemain yang mendapat giliran dikenakan denda sebanyak 3 koin. Sedangkan kumpulan koin lainnya disebar di sekitaran koin bertanda tersebut. Siapa saja yang bisa mengeluarkan dari kotak permainan, maka mereka berhak atas koin tersebut.

“Kamu sudah ngerti kan?” Alfi bertanya ke Amir yang daritadi mendengarkan penjelasannya. Amir  mengangguk antusias.

Mereka berdua lalu melakukan suit untuk menentukan siapa yang mendapat giliran pertama.

Hompimpa....

“Yeh.. aku yang pertama main.” Alfi ceria.

Segera Alfi menempatkan posisi yang strategis untuk mengumpulkan koin yang banyak. Sebisa mungkin dia menghindari koin yang bertanda supaya tidak kena denda.

Jari lentiknya cukup cekatan untuk mengoper koin pengumpan dan mengeluarkan koin-koin dari batasnya. Sekali koin pengumpan ditembakkan, keluarlah dua koin yang menjadi milik Alfi. Namun pada tembakan kedua, Alfi gagal mendapatkan satu koin pun. Maka Amir mendapatkan giliran. Begitulah permainan mereka dilakukan dengan persaingan ketat dan berakhir dengan kemenangan Alfi.

Tak puas dengan kemenangan Alfi, Amir mengajak temannya tersebut untuk bermain ulang. Namun Alfi memiliki ide lain.

“Mir, gimana kalau kita ubah permainannya?” usul Alfi.
“Gimana?” Tanya Amir penasaran.

“Coba pikirkan dong!” Alfi malah menguji Amir.
Mendapat tantangan tersebut, Amir menggaruk-garukkan jarinya di kepala. Pandangannya menerawang ke atas. Tampak seperti orang sedang mencari ide. Tak lama berfikir, Amir menemukan ide menarik.

“Coba ya kamu lihat!” Amir mulai membuat pola lingkaran sebanyak tiga buah. Lingkaran tersebut ditulisi angka satu, dua, dan tiga. Sedangkan di sudut kotak lantai yang dijadikan alas bermain tersebut, Amir membuat lingkaran kecil sebagai titik start koin pengumpan.

“Coba dong jelasin cara mainnya!” Alfi meminta penjelasan.

“Jadi gini....” Amir pun mulai menjelaskan pola permainannya.

Permainan tersebut adalah modifikasi karambol dengan mendapatkan koin lebih mudah tanpa harus menyebar koin dalam kotak. Koin  disusun bertingkat di luar kotak permainan. Apabila koin pengumpan berhasil masuk dalam lingkaran yang bertuliskan angka tiga, maka pemain berhak mendapatkan tiga koin. Namun tak mudah bagi pemain berada di dalam lingkaran tersebut karena ukurannya paling kecil dibandingkan lingkaran dengan angka satu dan dua.
“Satu lagi, ketika mengumpan koin, jarinya gak boleh melebihi batas lingkaran ini ya.” Tunjuk Amir ke kotak permainan.

“Kalau begitu, aku punya usul.” Alfi memiliki ide baru.
Menurut Alfi, sebaiknya ada pembatasan tertentu ketika koin diumpankan. Misalnya, apabila umpan koin tidak sampai separuh jarak menuju lingkaran angka tersebut, pemain dikenakan denda. Sedangkan apabila melebihi batas kotak permainan, pemain tidak dikenakan denda. Aturan tersebut bisa membuat permainan lebih menarik dan tidak mudah memunculkan pemenang.

Sepakat dengan permainan tersebut, Alfi dan Amir pun memulai permainan. Mereka segera suit untuk menentukan  pemain pertama. Benar juga kata Alfi, permainan tersebut tidak mudah mendapatkan pemenang.

“Yah.. koinku mau habis.” Keluh Alfi yang tadi berhasil mendapatkan koin.

“Lama juga ya kita main.” Amir berkomentar.

“Eh, Melinda dan Imah kok gak kelihatan juga ya. Sibuk banget kayaknya.” Alfi teringat teman-temannya yang biasa ikut bermain.

Sambil menunggu teman-temannya bergabung, Alfi fokus mengumpulkan koinnya.

Setengah jam lebih mereka bermain. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Melinda dan Imah datang juga. Mereka berlari dari jarak yang jauh. Tampaknya mereka mengetahui kalau Amir dan Alfi sedang bermain.
Ketika sampai di dekat Amir dan Alfi, terlihat Melinda kebingungan dengan apa yang dimainkan Alfi dan Amir. Imah pun langsung nyeletuk.

“Kalian main apaan sih?” tanyanya penasaran.

“Rahasia dong. Kalian ke mana saja baru nongol?” Alfi berkacak pinggang.

“Eh tadi kan kita main petak umpat sama anak-anak lain.” Jawab Melinda.

“Yaudah..” Alfi tak berselera tanya lebih lanjut.
Namun tampaknya Imah penasaran dengan permainan tersebut. Sehingga ia mendesak Alfi memberitahu nama permainan tersebut.

“Ayo dong kasih tahu game apaan itu?” Ucapnya.
Alfi tak langsung menjawab. Ia masih fokus mengumpulkan koin yang hampir habis di bank permainan.

“Ini namanya Kafimir..” ucap Alfi spontan.

“Hah?” Amir yang daritadi tak menanggapi kedatangan kedua temannya, tampak kaget.

“Apa itu?” Melinda mulai penasaran.

Alfi pun menjelaskan bahwa Kafimir merupakan kepanjangan dari Karambol Alfi dan Amir. Alasannya, permainan tersebut hasil ide yang dimainkan Alfi dan Amir menggunakan koin uang 100 rupiah atau 500 rupiah. Tidak perlu beli di toko permainan. Sangat cocok dimainkan siapa pun di rumah masing-masing. Alas permainan pun cukup menggunakan lantai yang digarisi spidol warna.

Kreatifitas Alfi dan teman-temannya tumbuh di tengah keterbatasan gadget yang mereka miliki. Apalagi di tengah pandemi covid-19 tentu orang tua mereka lebih fokus pada kebutuhan primer dibandingkan membeli mainan untuk anaknya.

“Alfi.. udahan mainnya. Makan dulu!” Ibunya memanggil.

Alfi pun bergegas menyelesaikan maiannya. Ia lalu pamit ke Amir, Melinda, dan Imah.

“Nanti kita lanjut ya mainnya..” ia membuat bulatan jari jempol daan telunjuk.

Begitulah dunia anak-anak menghadapi wabah. Bagaimana? Kalau tertarik permainan tersebut bisa dicoba ya.....

Dapat salam dari Alfi, Amir, Melinda, dan Imah buat teman-teman yang sekolahnya belajar di rumah saja. Semoga permainan tersebut maampu mengurai kejenuhan disela-sela mengerjakan tugas dari guru. Tetap jaga kesehatan ya teman-teman..

Bye....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b