Aku tertunduk diam. Suara pengkhutbah terdengar menggebu-gebu, lantang, kadang juga terdengar bergetar. Tampak sekali dia lihai memainkan kalimat demi kalimat sesuai emosi pesan yang ingin dia sampaikan. Sayangnya, aku tak dapat menyaksikan dia secara langsung, karena posisi ada di Serambi Masjid. Salat Jumat masih mematuhi protokol kesehatan, sehingga masjid yang biasa muat jamaah di dalam, serambi pun jadinya penuh. Ada juga yang sampai duduk di jalan raya. Petugas masjid sengaja menyiapkan portal supaya akses kendaraan depan masjid tertutup sementara.
“Jamaah Salat Jumat yang dirahmati oleh Allah..” begitulah kalimat jeda yang sering dipakai oleh pengkhutbah untuk melanjutkan isi khutbah.
“Allah telah gantikan Ismail dengan seekor hewan sebagai hadiah pada Ibrahim atas ketataannya pada perintah-Nya”. Ucapnya terdengar syahdu.
Pengkhutbah berhasil menyeret imajinasiku untuk membayangkan peristiwa bersejarah dalam ajaran Islam itu. Aku sering mendengarnya setiap menjelang bulan Dzulhijah datang. Pasti isi Khutbah Jumat selalu membahas tentang peristiwa Nabi Ibrahim diperintah menyembelih Nabi Ismail. Pasti banyak juga yang sudah familiar dengan peristiwa sejarah itu. Entah daya magis apa yang membuat peristiwa itu selalu mengajak untuk menyemai pesan sakral di dalamnya. Tentang cinta, ketaatan, dan pengorbanan diri.
Nabi Ibrahim adalah sosok yang penting dalam kenabian, ketika beliau adalah Nabi yang menemukan Allah dalam pencarian iman. Namun sejarah tak berhenti pada momen itu. Pernikahannya dengan Sarah mendapat ujian tak kunjung diberi seorang anak. Aku tak bisa menerka, kegelisahan batin apa yang keduanya rasakan. Khususnya, terkait siapa sosok yang menjadi penerus garis kenabian.
Tak ingin aku mengulang kisah yang pasti sudah banyak pembaca ketahui. Namun melalui berbagai pengetahuan dan perenungan yang cukup dalam, aku memiliki pemahaman cinta dari peristiwa yang terkait dengan ayah yang disuruh menyembelih anak. Ku coba membaginya ke dalam tiga pesan yang bisa disemai dari peristiwa itu.
Pertama, cinta itu indah. Kehadiran Ismail adalah drama panjang dari sebuah keluarga yang merindukan sosok seorang anak. Sarah, istri Nabi Ibrahim memutuskan untuk dimadu dengan Hajar supaya Nabi Ibrahim memiliki keturunan, sebelum pada akhirnya Sarah sendiri diberi keturunan seorang putra bernama Ishaq. Bisa dibayangkan pergolakan batin seperti apa yang dirasakan Sarah ketika mengizinkan suaminya menikahi perempuan lain, tak lain seorang budak. Namun itulah cinta, ia hadir dengan keindahan yang unik. Hingga lahirlah Ismail dari rahim perempuan bernama Hajar. Hati Nabi Ibrahim tentu sangat berbahagia menyambut kelahiran putranya. Apalagi bagi sebagian besar orang, memiliki anak laki-laki adalah kebanggaan.
Kedua, cinta adalah pengorbanan. Ketika cinta telah menjadi sumber keindahan bagi keluarga Nabi Ibrahim, ternyata membuat Allah ingin menunjukkan pada keluarga itu tentang cinta yang lebih hakiki. Maka dalam mimpinya, Nabi Ibrahim diberi petunjuk sama Allah untuk menyembelih anaknya. Sempat ia ragu dengan mimpi tersebut, dikhawatirkan itu adalah bisikan syetan. Bahkan Nabi Ibrahim butuh waktu lama untuk menceritakan pada istri dan anaknya. Di sisi lain, hatinya masih bergemuruh, akankah dia harus melakukan hal besar itu. Apa tega? Sebagai manusia, tentu pergulatan batin tak terhindarkan. Namun ketiganya sangat yakin dengan perintah Allah tersebut. Maka perjalanan ke bukit daerah Mina menjadi penanda bahwa mereka siap menjalankan perintah Allah. Betapa pengorbanan itu sungguh berat kan? Seorang ayah akan menyembelih anaknya.
Ketiga, cinta itu hadir. Pada bagian terakhir ini, aku bisa mengatakan bahwa sifat hakiki dari peristiwa di Mina adalah puncak tertinggi dari wujud cinta. Orang-orang, tak terkecuali Sarah boleh saja menganggap bahwa Nabi Ibrahim sangat mencintai Ismail dibandingkan siapa pun. Tapi menjadi pembuktian bahwa ada cinta yang luar biasa besar, yaitu kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya. Ketaatan Nabi Ibrahim, Ismail, dan Hajar adalah bukti bahwa mereka hadir untuk melayani Tuhan. Balasannya sungguh menggembirakan, tak ada yang merasa kehilangan. Ismail tetap hidup, dan yang disembelih adalah hewan. Sekarang peristiwa itu dirayakan seluruh umat islam sebagai penyembelihan hewan qurban.
Indah, pengorbanan, dan hadir adalah tiga kunci yang bisa ku petik dari peristiwa Mina. Kadang kita hanya siap menerima keindahan, kabar baik, dan segala hal yang menggembirakan. Namun sejatinya, tak pernah menemukan kehadiran cinta itu sendiri. Karena bisa jadi kita belum mampu hadir untuk memberikan kasih sayang, bagaimana Allah bisa memberikan Rahman dan Rahim-Nya?
Perenunganku berakhir seiring suara jamaah yang mengamini pengkhutbah membaca doa penutup. Setelah itu disahut dengan suara iqamah sebagai penanda bahwa jamaah siap melaksanakan Salat. Aku pun berdiri dan merapikan sajadahku. Tak terasa, ada tetesan bening keluar dari mata. Tampaknya aku cukup meresapi apa yang disampaikan oleh pengkhutbah.
Selesai Salat, ada tangan yang menabok pundakku. Spontan ku menoleh ke belakang, ternyata itu Gama, tetangga rumah.
“Keren ya tadi pengkhutbahnya. Gak kayak biasanya marah-marah mulu. Ngomongin politiklah, ujar kebencianlah.” Komentarnya.
Aku tersenyum. Apa yang dikatakan Gama betul. Masjid di lingkunganku ini memang kerap menghadirkan pengkhutbah yang lantang suaranya. Pesannya tak jauh-jauh dari memaki pemerintah atau pesan-pesan yang memicu permusuhan.
“Kayaknya memang orang baru. Soalnya suaranya pun gak familiar,” jawabku menanggapi komentar Gama.
“Eh. Seandainya kamu jadi Ismail, gimana siapa gak kalau bokapmu mau nyembelih?” Gama menepuk pundakku.
“Gimana ya. Soalnya nama bokapku bukan Ibrahim sih.” Jawabku asal.
“Eh ditanya serius malah bercanda.” Gama tak puas dengan jawabanku. Aku ketawa saja melihatnya kesal. Namun aku segera mengeluarkan pendapatku.
“Gam. Peristiwa itu kan sebuah gambaran untuk kita bahwa jangan pernah mencintai siapa pun atau apa pun melebihi cinta kita pada Allah. Gak akanlah ada peristiwa yang sama di era sekarang. Kan sudah selesai kenabian. Toh Nabi Muhammad pun dapat ujian dan tantangan yang berbeda kan dari Allah. Kalau kayak kita-kita ini paling gede ujiannya, ketusuk tulang ikan di lidah Gam.” Selorohku.
“Benar juga...” timpalnya disertai gelak tawa.
Aku lalu teringat dengan hubungan Gama dan Dinda yang tampaknya sudah lama aku tak melihat mereka jalan berdua.
“Eh. Kamu putus sama Dinda?” ucapku sedikit kepo.
“Woi. Jadian saja belum. Gimana mau putus.” Ucapnya kesal.
“Loh jadi ada rencana ditembak nih?” tanyaku usil dan berhasil membuatnya gelagapan.
“Ah kamu bisa saja jebak orang ya. Lihat nanti lah.” Jawabnya sambil berjalan lebih cepat mendahuluiku.
Aku berusaha mensejajarkan diri lagi. Namun Gama makin kencang berlari. Aku hanya tertawa saja melihat tingkahnya.
Aku tahu, gak gampang bagi sebuah hubungan pertemanan menjadi hubungan hati. Aku jadi teringat di balik kisah dramatis antara Nabi Ibrahim dan Ismail di Mina, terdapat sisi lain yang cukup mengusik siapa pun ketika berada di posisi Sarah. Aku yakin tak mudah bagi perempuan itu untuk membagi cintanya pada Hajar. Bahkan sempat Hajar harus diungsikan supaya lebih menghindari pertikaian. Namun Allah selalu adil. Ketulusan hati Sarah mengikhlaskan suaminya untuk perempuan lain, dibalas oleh Allah dengan menghadirkan putra bernama Ishaq di usianya yang sudah lanjut.
Cinta akan selalu membawa pada kita keputusan-keputusan yang tak pernah ideal. Cinta menyeret kita pada pergolakan batin antara siap dan tidak siap, suka dan duka. Tapi Allah memperlihatkan bahwa keputusan apa pun yang kita ambil, akan ada hikmah yang mendamaikan hati.
Komentar
Posting Komentar