Langsung ke konten utama

Teman Kamu

Tak pernah membayangkan pada aku menyaksikan sebuah situasi yang luar biasa membuat gagap jagat raya. Situasi yang membuat semua orang dipaksa untuk berdiam diri di rumah, jaga jarak dengan lingkungan sosial. Pekerjaan yang melibatkan interaksi fisik pun dihentikan. Kedekatanku dengan kamera DSLR pun harus berhenti bergerak. Alat itu kini tergeletak di dalam lemari kaca. Sungguh, situasi yang sangat sulit dijalani.

Kamera bukan lagi alat pendukung karirku. Kamera sudah menjadi bagian dari hari-hari yang penuh dengan karya dan kolega. Rasanya, dunia begitu mengasikkan ketika tanganku sudah menggenggam alat itu. Banyak sudut pandang kehidupan yang bisa ku tangkap dengan estetis melalui kamera milikku. Ku pikir, kamera menjadi jawaban atas banyak hal dalam hidup yang sulit terjelaskan oleh kata-kata. Namun hari ini, bulan ini, dan situasi sekarang ini, kameraku tak berdaya. Ia berdiam diri di tempatnya selama dua bulan lebih. Ku hanya bisa bermain-main atau memandanginya dengan pikiran-pikiran yang terkenang.

“Bro.. 5 kali shoot lagi ya.”

“Bro, akhir pekan ini dua tempat ya.”

“Bro, deadline dua minggu lagi ya.”

Begitulah obrolan yang lazim aku lakukan dengan rekan kerja.

Tak sekadar itu, pesan dari Anna yang tak lupa mengingatkan untuk makan siang atau Salat pun membuatku merindukan momen-momen itu. Di rumah saja, semua berubah. Aku tak hanya menerima perhatiannya, melainkan ikut terlibat memasak, membersihkan rumah, dan melakukan aktivitas berdua. Hikmahnya, kita lebih banyak waktu untuk saling mengenal, mengasihi, dan memahami hal-hal kecil yang selama ini tampaknya abai.

Dua bulan berlalu, pemerintah tampaknya mulai memikirkan untuk membuka Kembali kran aktivitas kerja atau yang kini disebut New Normal. Pandemi virus Covid-19 tampaknya masih bertahan lama. Banyak prediksi dari para ilmuwan bahwa keadaan yang sekarang disebut New Normal berjalan hingga 2 tahun ke depan, bahkan ada yang menyebut lebih. Hal tersebut tentu menjadi pemikiran yang mendalam bagaimana nasib karir di berbagai sektor, khususnya aku yang selama ini bekerja dengan mobilitas tinggi di luar ruangan. Sebagai seorang fotografer yang bersentuhan dengan orang berbeda setiap harinya, memiliki resiko lebih tinggi untuk terserang virus tersebut.

“Billy, kamu jangan patah semangat ya.” Anna menguatkan mentalku yang memang sedang tidak baik. Bayangkan, pekerjaan di bidang fotografi tak ramai seperti biasanya. Pesta pernikahan dan acara-acara yang membutuhkan dokumentasi professional tak banyak dilakukan. Semua sektor menahan diri untuk membuat kegiatan berskala besar. Tentu untuk urusan dokumentasi cukup dikerjakan orang-orang terdekat saja.

“Anna, aku harus memikirkan cara lain. Gak bisa dong aku begini terus.” Responku.

Anna tak lagi mengatakan sesuatu, malah menyandarkan kepalanya di pundakku. Tak butuh diajari, aku pun membelai rambutnya. Walaupun sekarang ia memutuskan mengenakan jilbab, namun ia tetap merawat rambutnya, sehingga masih halus seperti sebelumnya. Aku sangat menyukai aktivitas ini.

“Billy…” ucap Anna.

Aku menoleh ke arahnya.

“Tabungan kita cukup kok untuk menyambut anggota keluarga baru kita.” Ucapnya.

Aku tersenyum dan selanjutnya merapatkan tubuhku ke arahnya. Aku sangat bahagia sekali punya istri yang bisa begitu tenang menghadapi situasi yang semua orang sedang stress dengan finansial. Sejujurnya aku senang, berkat adanya kampanye stay at home, aku lebih punya banyak waktu dengan Anna. Dan Alhamdulillah, setelah menunggu cukup lama kami akhirnya dipercaya untuk segera menjadi orangtua.

Kabar bahagia itu kami dapatkan sebulan lalu, pas di momen hari raya idul fitri. Ketika itu, kami berdua sedang asik melakukan panggilan video dengan kedua orang tua kami masing-masing. Di tengah obrolan, tiba-tiba Anna muntah-muntah.

“Billy.. Anna kenapa itu?” Mamaku terlihat panik.

“Bentar ya Mam…” Aku meninggalkan panggilan video dan segera ku susul Anna ke westafel.

“Hei.. are you okey, Ann?” aku ikutan panik melihatnya muntah-muntah.

“Kayaknya masuk angin deh Bill.” Jawab Anna ketika kondisinya sudah membaik. Sama sekali belum terpikirkan bahwa hal itu adalah pertanda Anna sedang hamil. Dia juga tampaknya waktu itu lupa kalau seharusnya tanggalnya datang bulan. Tak lama berselang, ketika kami melakukan panggilan video kedua dengan keluarganya Anna, kejadian serupa muncul.

“Hei sayang, kamu hamil?” ucap Mama mertua dengan ekspresi kaget.

Aku dan Anna saling menatap. Kaget juga dengan respon Mama.

Anna lalu menjelaskan padaku bahwa harusnya dia menstruasi sejak kemarin. Tapi nyatanya sampai hari ini belum juga. Mendengar penjelasannya itu, maka ku putuskan untuk membeli tespek. Ternyata setelah dilakukan pengetesan hasilnya positif.

“Billy…” ku lihat Anna matanya berkaca-kaca.

Aku langsung memeluknya. Tak lupa mengucap syukur pada Allah atas amanah yang diberikan. Namun di sisi lain, tentu menjadi pikiran adalah persiapan menyabut kelahirannya. Aku justru harus mulai memikirkan skema pekerjaan yang mengikuti protokol kesehatan.

“Ann.. aku punya ide deh.” Ucapku padanya yang sedang menyiapkan makan malam kita.

“Apa Bill?” Ia menatapku serius.

“Kamu kan sering diundang jadi pembicara. Sayang loh kalau ilmu yang selama ini dibagikan hanya lewat webinar saja, apa gak sebaiknya mulai membuat channel youtube ya?” usulku.

“Kamu gak takut, istrimu ini semakin terkenal?” sindirinya.

Aku memang selama ini sering mengkhawatirkan dia ketika bepergian jauh bahkan keluar negeri sendiri. Namun seiring waktu, aku mulai memahami peran masing-masing. Kalau diingat masa-masa itu, aku memang terlihat sangat ketat menjaganya. Sebisa mungkin setiap dia ada acara, aku menawarkan untuk menjadi tim dokumentasi.

“Justru kalau kita kerja bareng, kan kita kemana-mana berdua terus. Iya kan?” jawabku.

“Kamu sudah tahu apa kebutuhannya?” tanyanya.

“Sudah ok. Aku juga sudah menghitung berapa tim yang dibutuhkan, pasarnya kan sudah jelas. Tinggal gimana kita ngemas lebih santai dan bisa diterima kalangan luas. Gimana?” tanyaku antusias.

“Abis makan ya kita ngobrolin lagi Bill. Yuk ah, kita makan dulu! Sudah siap ini masakannya,” timpal Anna.

“Hei, kenapa malah bengong?” tegurnya.

“Aku teringat sama mereka. Apa kabar ya?” ucapku merindukan sepupu dan saudara jauh kami yang tinggal bersama kami. Berhubung kuliah dan pekerjaan mereka terhenti, mereka memutuskan pulang kampung.

“Kamu ini kayak punya banyak waktu sama mereka aja.” Ucap Anna.

“Kan waktuku hanya buatmu sayang,” godaku.

“Duh, jadi mual nih.” Anna memegang perutnya. Aku langsung panik mendekat ke arahnya.

“Hei.. aku mual karena gombalanmmu.” Anna tanpa berdosa mengerjaiku.

“Dasaaar..” Aku segera memeluknya. Betapa aku bersyukur memilikinya.

Usai makan, kami melanjutkan obrolan yang terpotong terkait pembuatan channel youtube. Anna mengusulkan nama “Teman Kamu”. Profesi Anna yang selama ini sering memberi motivasi dan mental healing, pun tampaknya cocok dengan konsep nama itu. Mendengarkan penjelasannya, aku setuju dengan ide itu. Maka segera ku siapkan logo dan tim media sosial. Aku memiliki beberapa kenalan yang ahli dalam bidang tersebut. Untuk kamera, aku hanya butuh satu orang lagi yang mengasistensiku.

“Aku yakin kamu bisa melakukan semuanya ini dengan baik.” Ucap Anna membuatku semakin percaya diri.

“Ann, mudah-mudahan ini rezeki kita ya.” Ucapku.

Anna merentangkan tangannya. Aku menyambutnya dan memeluknya erat.

Aku tahu, selama ini sudah cukup ahli dalam memegang projek tentang fotografi, tapi menjadi leader mandiri, ini adalah pengalaman baru. Langkah berani yang coba aku jalani menjadi titik awal bagaimana karirku di bidang fotografi semakin berkembang tak hanya fokus pada fotografi saja, melainkan marketing, dan komunikasi konten dengan pemirsa.

Anna…

Terima kasih banyak sudah menemaniku dalam situasi yang sulit ini. jalan yang kita lalu masih panjang. Aku ingin terus bersamamu menua dan menyelesaikan banyak ujian yang Allah berikan. Tak lelah rasanya aku harus terus menggenggam tanganmu, menjagamu, dan saling menguatkan. Dunia boleh berubah, karir boleh berpindah, tapi sayangku tetap bergairah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b