Langsung ke konten utama

Misi Rahasia Din Part 1

Kantin menjadi pusat keramaian mahasiswa melepaskan penat usai mata kuliah berlangsung. Tempat itu tak pernah sepi pengunjung. Jadwal perkuliahan acak membawa untung bagi sebagian mahasiswa yang tak ingin kuliah maraton. Ada yang menjadwalkan jeda tiap mata kuliah. Nah, kantin menjadi ruang istirahat yang akrab. Din, salah satu mahasiswa Ilmu Komunikasi duduk sendirian di pojok kantin, depan lapak Bakso Malang. Dia tak pernah terganggu dengan keriuhan mahasiswa lain yang tak bisa mengontrol volume perbincangan. Ia juga tak pernah canggung makan bakso sendirian. Toh, ada buku yang selalu ia bawa sebagai teman. Din bukan tak punya teman sama sekali, tapi lebih suka menyendiri. Ia bisa fokus menyerap mata kuliah yang selesai ia ikuti. Buku yang bolak-balik ia pinjam di perpustakaan lebih cepat diselesaikan. Ia bisa menghabiskan tiga buku dalam seminggu. Tak ada buku khusus yang digemarinya, namun penjaga perpus sudah hafal kebiasaannya. Sehingga sebelum ia mencari di rak buku, penjaga perpus yang menawarkan buku terbaru yang diyakini bakal dipinjam Din. "Kamu kenapa ngelihat aku kayak gitu?" Din menyadari kedatanganku. Eka, teman satu-satunya yang tahu betul keseharian Din. "Aku sudah dari tadi loh di sini. Kamu gak sadar?" Ku sindir Din. Dia tak menanggapi. Kembali ia berkutat dengan buku yang kertasnya mulai menguning. "Kalau begini terus. Nanti kamu bisa pacaran sama buku loh." Candaku. "Gak masalah. Tambah pintar kan bagus." Jawabnya datar. "Astaga! Mimpi apa aku dulu pas ospek ketemu teman sedingin ini." Timpalku berlagak sedih. "Hai Din. Boleh duduk?" Datang mahasiswi berparas cantik. Rambutnya tergerai lurus sebahu. Din langsung menatapku. Matanya memberi aba-aba supaya aku tak mengganggunya. "Oke. Aku tidak dibutuhkan di sini." Ucapku bergegas berdiri. "Eh maaf Kak. Gak bermaksud." Mahasiswi itu sok-sokan merasa bersalah. Padahal dia senang aku pergi. "Gak masalah cantik. Tapi kamu kayaknya salah orang untuk ditemui." Godaku. "Ehem.." Ku dengar suara kode dari Din agar aku segera pergi. Baiklah. Aku cukup tahu diri untuk memberi waktu siapa pun ngobrol dengan Din. Kasus seperti ini sudah biasa ku alami. Lagi pula sudah ada kesepakatan antara aku dan Din. Aku tak akan bertanya topik apa yang mereka ceritakan. "Nanti kamu bisa beli bukuku kalau terbit." Itu kalimat yang ia ucapkan ketika aku menggodanya untuk bercerita. Sial. Ternyata anak itu mempersiapkan buku hasil ngupingnya dia. Apakah teman-teman yang datang pada sadar? Eh. Aku sendiri kan suka curhat ke dia? Wah ini bisa jadi aib kalau namaku disebutkan tanpa inisial. Sempat ku protes hal itu ke Din. Namun dia malah tertawa. "Aku gak senorak kamu." Sanggahnya. Baiklah. Aku memang tak sepandai dia menyimpan rahasia teman. Malah aku sering dihindari teman-teman untuk curhat masalah pribadi mereka karena sering keceplosan. Komentar mereka, aku dan Din adalah dua sahabat yang bertolak belakang. Aku anaknya ramai, banyak bergaul dan tahu tempat tongkrongan ter-hits. Tapi jangan sekali-kali buka aib, aku mudah gatal untuk membaginya ke yang lain. "Hati-hati ada Eka. Dia cowok tapi lemes mulutnya" itulah satu kalimat pedas yang pernah ku dengar. Mereka pikir aku ini tak tahu batasan mana yang bisa ku umbar dan tidak? Sungguh ya, mereka gak punya perasaan. "Emang kenyataan kok." Begitulah timpal mereka kalau aku mulai ngeyel. Namun, Din sering membelaku ketika teman-teman mulai memojokkan aku. Satu hal ini yang membuat aku Lalu kenapa kita cocok berteman hingga melewati semester tiga? Sabar ya! Aku nguping dulu obrolan Din dengan mahasiswi semampai tadi. Ssst.. jangan bilang Din. Dia kalau sudah fokus gak akan lihat kanan kiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b