Kantin menjadi pusat keramaian mahasiswa melepaskan penat usai mata kuliah berlangsung. Tempat itu tak pernah sepi pengunjung. Jadwal perkuliahan acak membawa untung bagi sebagian mahasiswa yang tak ingin kuliah maraton. Ada yang menjadwalkan jeda tiap mata kuliah. Nah, kantin menjadi ruang istirahat yang akrab.
Din, salah satu mahasiswa Ilmu Komunikasi duduk sendirian di pojok kantin, depan lapak Bakso Malang. Dia tak pernah terganggu dengan keriuhan mahasiswa lain yang tak bisa mengontrol volume perbincangan. Ia juga tak pernah canggung makan bakso sendirian. Toh, ada buku yang selalu ia bawa sebagai teman.
Din bukan tak punya teman sama sekali, tapi lebih suka menyendiri. Ia bisa fokus menyerap mata kuliah yang selesai ia ikuti. Buku yang bolak-balik ia pinjam di perpustakaan lebih cepat diselesaikan. Ia bisa menghabiskan tiga buku dalam seminggu. Tak ada buku khusus yang digemarinya, namun penjaga perpus sudah hafal kebiasaannya. Sehingga sebelum ia mencari di rak buku, penjaga perpus yang menawarkan buku terbaru yang diyakini bakal dipinjam Din.
"Kamu kenapa ngelihat aku kayak gitu?" Din menyadari kedatanganku. Eka, teman satu-satunya yang tahu betul keseharian Din.
"Aku sudah dari tadi loh di sini. Kamu gak sadar?" Ku sindir Din. Dia tak menanggapi. Kembali ia berkutat dengan buku yang kertasnya mulai menguning.
"Kalau begini terus. Nanti kamu bisa pacaran sama buku loh." Candaku.
"Gak masalah. Tambah pintar kan bagus." Jawabnya datar.
"Astaga! Mimpi apa aku dulu pas ospek ketemu teman sedingin ini." Timpalku berlagak sedih.
"Hai Din. Boleh duduk?" Datang mahasiswi berparas cantik. Rambutnya tergerai lurus sebahu.
Din langsung menatapku. Matanya memberi aba-aba supaya aku tak mengganggunya.
"Oke. Aku tidak dibutuhkan di sini." Ucapku bergegas berdiri.
"Eh maaf Kak. Gak bermaksud." Mahasiswi itu sok-sokan merasa bersalah. Padahal dia senang aku pergi.
"Gak masalah cantik. Tapi kamu kayaknya salah orang untuk ditemui." Godaku.
"Ehem.." Ku dengar suara kode dari Din agar aku segera pergi.
Baiklah. Aku cukup tahu diri untuk memberi waktu siapa pun ngobrol dengan Din. Kasus seperti ini sudah biasa ku alami. Lagi pula sudah ada kesepakatan antara aku dan Din. Aku tak akan bertanya topik apa yang mereka ceritakan.
"Nanti kamu bisa beli bukuku kalau terbit." Itu kalimat yang ia ucapkan ketika aku menggodanya untuk bercerita.
Sial. Ternyata anak itu mempersiapkan buku hasil ngupingnya dia. Apakah teman-teman yang datang pada
sadar?
Eh. Aku sendiri kan suka curhat ke dia?
Wah ini bisa jadi aib kalau namaku disebutkan tanpa inisial. Sempat ku protes hal itu ke Din. Namun dia malah tertawa.
"Aku gak senorak kamu." Sanggahnya.
Baiklah. Aku memang tak sepandai dia menyimpan rahasia teman. Malah aku sering dihindari teman-teman untuk curhat masalah pribadi mereka karena sering keceplosan. Komentar mereka, aku dan Din adalah dua sahabat yang bertolak belakang. Aku anaknya ramai, banyak bergaul dan tahu tempat tongkrongan ter-hits. Tapi jangan sekali-kali buka aib, aku mudah gatal untuk membaginya ke yang lain.
"Hati-hati ada Eka. Dia cowok tapi lemes mulutnya" itulah satu kalimat pedas yang pernah ku dengar. Mereka pikir aku ini tak tahu batasan mana yang bisa ku umbar dan tidak? Sungguh ya, mereka gak punya perasaan.
"Emang kenyataan kok." Begitulah timpal mereka kalau aku mulai ngeyel. Namun, Din sering membelaku ketika teman-teman mulai memojokkan aku. Satu hal ini yang membuat aku Lalu kenapa kita cocok berteman hingga melewati semester tiga?
Sabar ya! Aku nguping dulu obrolan Din dengan mahasiswi semampai tadi.
Ssst.. jangan bilang Din. Dia kalau sudah fokus gak akan lihat kanan kiri.
Benar kata orang, melalui pernikahan kita justru mengenal lebih banyak hal tentang pasangan kita. Ku mengira sudah mengenal Billy secara dalam, tapi justru itu baru luarnya saja. Ada hal-hal kecil yang baru aku ketahui pasca menikah. Hal yang tak pernah ku pikirkan, ternyata Billy setiap bangun tidur pasti bergegas ke balkon, berdiam sejenak untuk menikmati udara pagi. Hal yang ku kagumi adalah, ia berucap syukur pada Tuhan atas nikmat bangun tidur. Terkadang aku tertawa geli ketika ia masih belum terbiasa menghilangkan gerakan tangan berbentuk Salib. Aku paham, tidak mudah bagi siapa pun merubah kebiasaan yang sudah dianut sejak kecil. Selepas itu Billy kemudian berucap istighfar. “Apa indahnya kamu berdiri di sini?” aku menghampiri Billy yang terdiam di balkon. “An, bangun tidur adalah anugerah yang setiap hari perlu disyukuri. Terlihatnya sama saja, tapi setiap aku berdiam diri, posisi awan tak pernah sama. Tidak setiap pagi pun ada burung berkicau dan kupu-kupu terba
Komentar
Posting Komentar