Langsung ke konten utama

Misi Rahasia Din Part 2

Bagaimana aku pertama mengenal Din? Beginilah mulanya.. **** "Sial..." Aku merutuki diriku sendiri yang telat datang orientasi mahasiswa baru. Sehingga aku berada di barisan paling belakang. Panitia tampak kesal sekali mendapati banyak yang datang terlambat, termasuk aku. Mereka galak sekali, apalagi ke mahasiswa. Seenaknya saja menendang kaki. Beda sekali perlakukan ke mahasiswi. Santun kayak ketilang polisi lalu lintas. "Nama kamu siapa?" Salah satu panitia menepuk pundakku. "Eka Saputra, Kak." Jawabku. "Jurusan apa?" Tanyanya lagi. "Ilmu komunikasi" jawabku mulai ada perasaan curiga. Jangan-jangan.. "Lalu gelang birunya mana?" Ucapnya membuatku menyadari sesuatu. Melihat aku yang kebingungan, kakak panitia seakan dapat angin surga buat menghukumku. "Ini punyamu. Maaf tadi belum aku kasih." Tiba-tiba cowok berkulit kecoklatan mendekatiku. Wajarnya datar saja ketika memberikan gelang itu. "Kamu temannya dia?" Kakak panitia itu kebingungan. Sama seperti aku yang juga bingung harus berterima kasih karena belum kenal namanya. "Iya Kak. Dia kemarin titip ke aku. Berhubung dia telat datang dan aku baru lihat dia di sini." Jawabnya yang jelas-jelas itu ngarang. Kakak panitia tampaknya tak curiga dengan kebohongan dia. Akhirnya meninggalkan aku. Aku beruntung banget bisa ketemu malaikat di hari pertama ikut orientasi mahasiswa. Namun sejak tadi raut wajahnya datar saja. Seakan semua kejadian tadi hal yang tak berarti. Maka aku yang harus tahu diri untuk mulai mengajaknya ngobrol. "Makasih ya." Ucapku memulai obrolan. Dia tak menjawab. Hanya menganggukkan kepala. Padahal dia tadi pas ngomong ke kakak panitia bisa santai. Maka aku lagi yang inisiatif mengenalkan diri. "Kenalin, Eka. Kamu?" Ku ulurkan tangan. "Din." Jawabnya singkat. "Din?" Aku tak yakin ada nama sesingkat itu. "Kenapa?" Dia tampak serius sekali. "Ah..." aku kebingungan mau menanggapi apa. Maka ku gelengkan kepala. Berhubung kegiatan orientasi mahasiswa berlangsung. Maka aku tak bisa banyak ngobrol dengan cowok bernama Din ini. Ku lihat dia serius sekali memperhatikan arahan dari panitia. Penampilannya terlihat dia anak daerah. Penasaran juga dia berasal dari mana. Aku bisa menebak dia dari Jawa. Aku tak fokus dengan suara yang ada di depan. Lebih tepatnya aku tak minat mendengarkan visi misi kampus dan segala perkenalan lainnya. Tapi berhubung diwajibkan ikut, maka ku putuskan ikut saja. Sisi positifnya lebih cepat dapat teman baru. "Kamu gak nyatet?" Din menegurku. "Buat apa?" Tanyaku konyol. Aku tak begitu memperhatikan ternyata kita disuruh nyatat untuk kemudian di hari terakhir, bakal ditanya acak. Sekali lagi Din yang menjadi penolongku. Rajin dong dia, inisiatif fotokopi tulisannya ketika kami menyelesaikan orientasi mahasiswa di hari ini. "Minta nomormu dong!" Ucapku ketika kami bersiap pulang ke rumah masing-masing. "0812XXXXXXXX" tulisnya di kertas fotokopi yang diserahkan ke aku. Hari kedua, aku dan Din tidak sekelompok. Namun jangan khawatir. Aku tak lagi ketinggalan atribut yang disuruh panitia. Din semalam sudah mengingatkan daftar bawaan melalui pesan WA. Baik kan dia? Baru di hari ketiga atau hari terakhir, aku sekelompok lagi dengan Din. Sesuai petunjuk di hari pertama. Kami ditanya satu-satu mengenai informasi yang sudah dibagikan. Aku beruntung, disuruh menyebutkan kapan kampus berdiri. "Tahun 1949 Kak." Jawabku. Aku lolos dari hukuman. Sedangkan Din kebagian disuruh menyebutkan nama-nama fakultas dan jurusan. Aku takjub sama dia, hafal semua. Gile kan? Padahal ku lihat kakak panitia sudah senyum penuh kemenangan untuk bisa menghukum tim kami kalau Din tak bisa menjawab. Selesai dengan tebak-tebakan itu. Inagurasi penutupan, kami mendapat kesempatan untuk memgenal lebih dekat kakak panitia. Din kali ini beruntung, dia dapat kesempatan ngobrol dengan kakak panitia yang cantik. Padahal itu menjadi incaranku. Kabarnya, kakak itu menjadi primadona di kampus. Bagaimana aku bisa tahu? Urusan kepoin hal-hal yang sensasional memang tugasku. Setelah hari pertama ikut orientasi. Aku langsung melihat pembaruan feed IG kampus. Kebetulan foto kakak itu yang dipasang. Segera ku baca keterangannya. Benar sekali, ada nama IG kakak itu. Ternyata tidak dikunci. Sehingga bisa aku lihat semua feednya. Eh, ternyata followernya sudah 40ribu lebih. Nah dari situlah satu per satu aku jadi kenal karakter Din. Dia ternyata pelit informasi. Sudah berkali-kali aku usaha tanya hal apa saja yang diobrolin dengan Kak Sandra, nama kakak itu. Din cuma jawab, dia baru semester 4. Sungguh informasi yang tak terlalu aku butuhkan. Dia malah mengalihkan obrolan kita dengan menunjukkan lembar jadwal perkuliahan. Ternyata ada tiga mata kuliah yang kita sekelas. Lumayan, dapat teman yang otaknya encer dan peduli, walau pun bakal membosankan. Hehe canda Din.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Cinta Yang Menyakitkan (Part 5)

Mendung menggantung di langit-langit Makam. Suasana duka masih menyelimuti keluarga Lala. Tanah kuburan baru saja menutupi jasat kembang desa itu. Bunga kamboja ikut berguguran mengirim rasa empati yang mendalam atas terpisahnya dua insan yang saling mencintai itu. Burung Gagak tak berniat lagi untuk bersiul, kehadirannya sudah cukup bukti bahwa duka kehilangan itu sangat nyata. Kepergian Lala diantarkan oleh orang sekampung. Menurut tradisi di kampung tersebut juga ditanamkan pohon pisang pada tanah makam. Hal itu dilakukan mengingat gadis tersebut belum menikah. Tak seperti biasanya, pemakaman Lala menjadi sangat istimewa dengan bumbu kisah cinta yang memilukan. Banyak pemuda desa yang mengagumi dan berniat untuk menjadi pendampingnya. Bahkan tunangannya merelakan diri pulang dari Malaysia demi ingin melihat jasad terakhir orang yang seharusnya ia nikahi nanti. Bapaknya pingsan berkali-kali di pemakamam, ketika sadar ia pun tak bergeming sama sekali. Prosesi mengadzankan jenazah pu