Kantin menjadi pilihan yang tepat untuk mengisi waktu luang sebelum lanjut ke mata kuliah kedua. Tapi Din biasanya mengunjungi perpustakaan lebih dulu untuk meminjam buku.
"Ka, temenin ya." Pinta Din padaku. Tentu aku tak akan menolaknya. Dia sudah banyak membantu. Apalagi setiap pembagian kelompok, namaku selalu nempel di bawahnya. Pernah sekali aku tidak masuk kelas karena sakit, Din mengirimkan pesan bahwa namaku dicatat masuk kelompok mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi. Bisa dibilang itu kabar baik, karena aku tak perlu kesulitan mengerjakan tugas. Biasanya kebagian membuat layout presentasi.
Ngomong soal ke Perpustakaan, Din malah berbelok arah menuju Kantin.
"Lah, katanya ke perpus?" Aku heran dengan perubahan rute kita.
"Bentar. Mau pesan Bakso Malang dulu, biar gak kehabisan." Jawabnya dengan langkah cepat menuju pojok kantin, tempat lapak Bakso Malang berjualan.
Nah ini, salah satu menu kesukaan Din yang gak pernah bosan dia beli. Kadang aku penasaran, di rumahnya apa menunya juga bakso. Sempat ku tanyakan langsung ke dia. Tapi jawabnya ngeselin.
"Gerobak baksonya ada di kamarku." Selorohnya. Gak lucu banget bercandanya.
Berhubung Din pesan bakso, aku pun ikutan. Soalnya, kelihatannya memang ramai. Antrean mahasiswa yang mau beli membuatku ragu kalau nanti pas balik dari perpustakaan masih tersisa baksonya.
"Eh, aku tunggu sini ya Din. Berani kan ke perpus sendirian?" Tiba-tiba aku punya ide buat ngerjain dia.
"Ooh, oke. Rencanaku mengenalkanmu sama penjaga perpus yang cantik batal ya." Dia berkata begitu sambil berlalu. Mendengar itu aku mengejarnya.
"Tadi perasaan gak pernah ada omongan itu dah?" Selaku.
"Kan niatnya kejutan." Balasnya santai.
"Gak bohong kan? Awas!!" Aku kepalkan tanganku ke arahnya.
"Terserah!" Dia malah mempercepat jalannya.
Din memang paham banget soal aku. Gak bisa nolak kalau urusan cewek cantik. Nah ini yang kadang jadi kelemahanku. Mudah dimanfaatkan untuk kepentingan dia. Padahal mah modus saja minta ditemani ke Perpustakaan.
"Ayolah cepat! Masa mau ketemu cinderela jalannya loyo gitu." Komentarnya melihatku kalah beberapa tangga dari dia.
Sampai di tangga terakhir, aku sempat melihat mahasiswi mengenakan tanda pengenal sebagai penjaga perpustakaan. Apa dia yang dimaksud Din? Lumayan cantik. Termasuk seleraku lah.
"Din, dia mahasiswinya?" Ku senggol lengannya.
"Sabar!" Jawabnya singkat.
Dih, nanya cewek malah dibilang sabar. Kadang kalau sudah gak jelas gitu, Din jauh dari kata teman yang baik.
"Eh Din. Jadi minjam buku yang kemarin kamu pesan ya. Sudah ada loh." Dari arah depan sudah ada yang menyapa Din.
Aku terpanah melihat wajahnya yang bisa dibilang lebih cantik dari yang tadi aku lihat. Namun aku lebih terkejut ketika Din mengatakan sesuatu.
"Bukan Naf. Ini si Eka yang mau minjam." Ucapnya. Aku langsung menyikut lengannya.
"Gak gini juga dong cara ngenalinnya." Ucapku pelan supaya tak terdengar Naf yang tadi disebut namanya oleh Din. Seperti biasa, dia tanpa ekspresi melenggang begitu saja. Aku yang terjebak permainan Din, jadinya harus ajak ngobrol Naf.
"Aku baru lihat kamu. Baru pertama ke sini?" Pertanyaan menohok itu membuatku malu. Mau mengelak pun malah nanti jadi bumerang. Maka aku jujur saja ke Naf kalau memang baru pertama ke Perpustakaan.
"Din bilang banyak buku bagus. Jadi ya penasaran." Jawabku bohong. Masa iya aku jujur kalau ke Perpustakaan karena mau dikenalin sama dia.
"Namaku Nafa." Dia memperkenalkan diri. Berhubung tadi Din sudah menyebut namaku, bisa jadi Nafa merasa perlu memperjelas nama lengkapnya. Kan bingung juga kalau cuma Naf. Baiklah, jadi namanya Nafa.
"Nama yang cantik." Komentarku.
"Terima kasih." Balasnya sambil senyum. Duh. Aku jadi tambah suka nih.
Berhubung ini bukan kantin, maka kita gak bisa ngobrol banyak. Aku segara menyusul Din ke dalam. Ternyata dia duduk di pojok dekat rak buku psikologi. Aku jadi mikir, ini anak suka banget duduk di pojokan. Apa jangan-jangan dia juga suka mojok sama cabe-cabean dulu waktu SMA. Aku geli sendiri membayangkan anak secupu dia bisa pacaran.
"Ngetawain apa?" Dia sadar aku ketawa.
"Siapa yang ketawa?" Aku mengelak. Lalu duduk di sampingnya. Mengingat dia telah membantuku kenalan dengan cewek cantik, maka ku ucapkan terima kasih. Namun kata-kata itu menyesal ku ucapkan ketika dengar dia ngomong,
"Tadi niatnya ngerjain kamu. Mana bukunya?".
Din ini memang anaknya gak butuh pujian atau ucapan terima kasih. Makanya mendengar ucapan terima kasih dia akan berusaha mengalihkan obrolan. Padahal aku tahu, dia memang punya niat baik itu. Tapi karena memang aku tak butuh buku tadi, maka ku kasihkan saja ke dia. Baca sampulnya saja aku sudah pusing.
Keluar Perpustakaan, aku sempat minta nomor ke Nafa. Alasannya biar mudah kalau mau nyari buku baru. Gak sulit untuk mendapatkannya. Tebakanku, Nafa ini anaknya polos. Tapi bisa jadi memang dia juga naksir sama aku. Dari gesturnya kelihatan memang ada ketertarikan. Ketika aku tanyakan itu ke Din, dia bilang begini;
"Ngayalmu ketinggian." Ucapnya. Tuh kan, selain pelit informasi, dia juga bukan teman yang memotivasi. Makanya aku heran, kenapa banyak mahasiswi yang curhat ke dia.
Aku gak pernah banyak kesempatan buat mendengarkan obrolan Din dengan para pasiennya itu. Karena setiap aku menemani Din di pojokan kantin yang depannya lapak Bakso Malang itu, selalu diusirnya.
Persis seperti sekarang. Baru saja aku menyelesaikan makan bakso bareng dia. Sudah ada mahasiswi yang berdiri di meja kita. Pernah aku diam saja, pura-pura gak peka. Malah diancam gak akan dimasukkan tugas kelompok lagi bareng dia.
"Ancamanmu gak lucu. Sekalian coret namaku di absen kelas." Komentarku kesal.
"Sudah sana! Banyak omong." Begitulah kalimat pamungkasnya.
Pojok kantin memang tempat yang pas buat ngobrol hal pribadi. Tempatnya hanya muat satu meja, tapi menghadap langsung ke lapangan futsal dan taman. Jadi pikiran gak stres. Tempat itulah yang menyimpan banyak cerita tersembunyi Din sebagai teman curhat.
Nah, berhubung aku gak bisa mendengar apa saja obrolan antara Din dan semua orang yang pernah curhat ke dia. Maka cerita selanjutnya aku rebahan dulu ya. Biar digantikan langsung sama si punya cerita. Tenang! Kalau rindu, ada kok bagianku lagi menjelang akhir cerita. Selamat membaca curhatan mereka ya readers..
Benar kata orang, melalui pernikahan kita justru mengenal lebih banyak hal tentang pasangan kita. Ku mengira sudah mengenal Billy secara dalam, tapi justru itu baru luarnya saja. Ada hal-hal kecil yang baru aku ketahui pasca menikah. Hal yang tak pernah ku pikirkan, ternyata Billy setiap bangun tidur pasti bergegas ke balkon, berdiam sejenak untuk menikmati udara pagi. Hal yang ku kagumi adalah, ia berucap syukur pada Tuhan atas nikmat bangun tidur. Terkadang aku tertawa geli ketika ia masih belum terbiasa menghilangkan gerakan tangan berbentuk Salib. Aku paham, tidak mudah bagi siapa pun merubah kebiasaan yang sudah dianut sejak kecil. Selepas itu Billy kemudian berucap istighfar. “Apa indahnya kamu berdiri di sini?” aku menghampiri Billy yang terdiam di balkon. “An, bangun tidur adalah anugerah yang setiap hari perlu disyukuri. Terlihatnya sama saja, tapi setiap aku berdiam diri, posisi awan tak pernah sama. Tidak setiap pagi pun ada burung berkicau dan kupu-kupu terba
Komentar
Posting Komentar