Langsung ke konten utama

Misi Rahasia Din Part 3

Kantin menjadi pilihan yang tepat untuk mengisi waktu luang sebelum lanjut ke mata kuliah kedua. Tapi Din biasanya mengunjungi perpustakaan lebih dulu untuk meminjam buku. "Ka, temenin ya." Pinta Din padaku. Tentu aku tak akan menolaknya. Dia sudah banyak membantu. Apalagi setiap pembagian kelompok, namaku selalu nempel di bawahnya. Pernah sekali aku tidak masuk kelas karena sakit, Din mengirimkan pesan bahwa namaku dicatat masuk kelompok mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi. Bisa dibilang itu kabar baik, karena aku tak perlu kesulitan mengerjakan tugas. Biasanya kebagian membuat layout presentasi. Ngomong soal ke Perpustakaan, Din malah berbelok arah menuju Kantin. "Lah, katanya ke perpus?" Aku heran dengan perubahan rute kita. "Bentar. Mau pesan Bakso Malang dulu, biar gak kehabisan." Jawabnya dengan langkah cepat menuju pojok kantin, tempat lapak Bakso Malang berjualan. Nah ini, salah satu menu kesukaan Din yang gak pernah bosan dia beli. Kadang aku penasaran, di rumahnya apa menunya juga bakso. Sempat ku tanyakan langsung ke dia. Tapi jawabnya ngeselin. "Gerobak baksonya ada di kamarku." Selorohnya. Gak lucu banget bercandanya. Berhubung Din pesan bakso, aku pun ikutan. Soalnya, kelihatannya memang ramai. Antrean mahasiswa yang mau beli membuatku ragu kalau nanti pas balik dari perpustakaan masih tersisa baksonya. "Eh, aku tunggu sini ya Din. Berani kan ke perpus sendirian?" Tiba-tiba aku punya ide buat ngerjain dia. "Ooh, oke. Rencanaku mengenalkanmu sama penjaga perpus yang cantik batal ya." Dia berkata begitu sambil berlalu. Mendengar itu aku mengejarnya. "Tadi perasaan gak pernah ada omongan itu dah?" Selaku. "Kan niatnya kejutan." Balasnya santai. "Gak bohong kan? Awas!!" Aku kepalkan tanganku ke arahnya. "Terserah!" Dia malah mempercepat jalannya. Din memang paham banget soal aku. Gak bisa nolak kalau urusan cewek cantik. Nah ini yang kadang jadi kelemahanku. Mudah dimanfaatkan untuk kepentingan dia. Padahal mah modus saja minta ditemani ke Perpustakaan. "Ayolah cepat! Masa mau ketemu cinderela jalannya loyo gitu." Komentarnya melihatku kalah beberapa tangga dari dia. Sampai di tangga terakhir, aku sempat melihat mahasiswi mengenakan tanda pengenal sebagai penjaga perpustakaan. Apa dia yang dimaksud Din? Lumayan cantik. Termasuk seleraku lah. "Din, dia mahasiswinya?" Ku senggol lengannya. "Sabar!" Jawabnya singkat. Dih, nanya cewek malah dibilang sabar. Kadang kalau sudah gak jelas gitu, Din jauh dari kata teman yang baik. "Eh Din. Jadi minjam buku yang kemarin kamu pesan ya. Sudah ada loh." Dari arah depan sudah ada yang menyapa Din. Aku terpanah melihat wajahnya yang bisa dibilang lebih cantik dari yang tadi aku lihat. Namun aku lebih terkejut ketika Din mengatakan sesuatu. "Bukan Naf. Ini si Eka yang mau minjam." Ucapnya. Aku langsung menyikut lengannya. "Gak gini juga dong cara ngenalinnya." Ucapku pelan supaya tak terdengar Naf yang tadi disebut namanya oleh Din. Seperti biasa, dia tanpa ekspresi melenggang begitu saja. Aku yang terjebak permainan Din, jadinya harus ajak ngobrol Naf. "Aku baru lihat kamu. Baru pertama ke sini?" Pertanyaan menohok itu membuatku malu. Mau mengelak pun malah nanti jadi bumerang. Maka aku jujur saja ke Naf kalau memang baru pertama ke Perpustakaan. "Din bilang banyak buku bagus. Jadi ya penasaran." Jawabku bohong. Masa iya aku jujur kalau ke Perpustakaan karena mau dikenalin sama dia. "Namaku Nafa." Dia memperkenalkan diri. Berhubung tadi Din sudah menyebut namaku, bisa jadi Nafa merasa perlu memperjelas nama lengkapnya. Kan bingung juga kalau cuma Naf. Baiklah, jadi namanya Nafa. "Nama yang cantik." Komentarku. "Terima kasih." Balasnya sambil senyum. Duh. Aku jadi tambah suka nih. Berhubung ini bukan kantin, maka kita gak bisa ngobrol banyak. Aku segara menyusul Din ke dalam. Ternyata dia duduk di pojok dekat rak buku psikologi. Aku jadi mikir, ini anak suka banget duduk di pojokan. Apa jangan-jangan dia juga suka mojok sama cabe-cabean dulu waktu SMA. Aku geli sendiri membayangkan anak secupu dia bisa pacaran. "Ngetawain apa?" Dia sadar aku ketawa. "Siapa yang ketawa?" Aku mengelak. Lalu duduk di sampingnya. Mengingat dia telah membantuku kenalan dengan cewek cantik, maka ku ucapkan terima kasih. Namun kata-kata itu menyesal ku ucapkan ketika dengar dia ngomong, "Tadi niatnya ngerjain kamu. Mana bukunya?". Din ini memang anaknya gak butuh pujian atau ucapan terima kasih. Makanya mendengar ucapan terima kasih dia akan berusaha mengalihkan obrolan. Padahal aku tahu, dia memang punya niat baik itu. Tapi karena memang aku tak butuh buku tadi, maka ku kasihkan saja ke dia. Baca sampulnya saja aku sudah pusing. Keluar Perpustakaan, aku sempat minta nomor ke Nafa. Alasannya biar mudah kalau mau nyari buku baru. Gak sulit untuk mendapatkannya. Tebakanku, Nafa ini anaknya polos. Tapi bisa jadi memang dia juga naksir sama aku. Dari gesturnya kelihatan memang ada ketertarikan. Ketika aku tanyakan itu ke Din, dia bilang begini; "Ngayalmu ketinggian." Ucapnya. Tuh kan, selain pelit informasi, dia juga bukan teman yang memotivasi. Makanya aku heran, kenapa banyak mahasiswi yang curhat ke dia. Aku gak pernah banyak kesempatan buat mendengarkan obrolan Din dengan para pasiennya itu. Karena setiap aku menemani Din di pojokan kantin yang depannya lapak Bakso Malang itu, selalu diusirnya. Persis seperti sekarang. Baru saja aku menyelesaikan makan bakso bareng dia. Sudah ada mahasiswi yang berdiri di meja kita. Pernah aku diam saja, pura-pura gak peka. Malah diancam gak akan dimasukkan tugas kelompok lagi bareng dia. "Ancamanmu gak lucu. Sekalian coret namaku di absen kelas." Komentarku kesal. "Sudah sana! Banyak omong." Begitulah kalimat pamungkasnya. Pojok kantin memang tempat yang pas buat ngobrol hal pribadi. Tempatnya hanya muat satu meja, tapi menghadap langsung ke lapangan futsal dan taman. Jadi pikiran gak stres. Tempat itulah yang menyimpan banyak cerita tersembunyi Din sebagai teman curhat. Nah, berhubung aku gak bisa mendengar apa saja obrolan antara Din dan semua orang yang pernah curhat ke dia. Maka cerita selanjutnya aku rebahan dulu ya. Biar digantikan langsung sama si punya cerita. Tenang! Kalau rindu, ada kok bagianku lagi menjelang akhir cerita. Selamat membaca curhatan mereka ya readers..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b