Langsung ke konten utama

Misi Rahasia Din Part 4

“Hai Din..” Cukup itu kalimat pembuka untuk mengawali cerita dengan Din. Dia tak mau dipanggil Kak, Bang, atau embel-embel lainnya, juga mas. Aku tertarik untuk cerita masalahku pada dia karena sudah terkenal bahwa dia teman curhat yang baik di kampus. Namaku Lisa. Semua masalahku bermula ketika melihat selebaran pendaftaran UKM ditempel di berbagai sudut papan pengumuman area kampus. Ada setidaknya 6 UKM di kampusku yaitu, Musik, Futsal, Basket, Teater, Fotografi dan Jurnalistik, Pecinta Alam. Menurut kabar yang terdengar, UKM Musik menjadi yang paling populer. Aku bisa mengenal kampusku sekarang juga karena mengenal band kampus yang berada di bawah naungan UKM Musik. Ku lihat antusiasme mahasiswa tertuju pada UKM tersebut, menjadi terkenal tampaknya impian semua orang. “Eh kamu mau ikut UKM apa Lis?” Tanya Lita temanku. “Aku mau nerusin hobiku pas di SMA Lit.” Jawabku. “Gak bosan kamu ya?” Lita mengonfirmasi. “Sudah jadi nyawa aku.” Jawabku hiperbola. Lita mengacungkan jempolnya. Aku pun merangkulnya untuk segera masuk kelas usai mencatat jadwal pendaftaran UKM yang aku dan Lita cek di papan pengumuman. Dua jam telah berlalu. Perkuliahanku selesai. Aku mengajak Lita untuk ke kantin sambil menunggu jam kuliah selanjutnya. Namun tiba-tiba ada yang menyapa kami. “Hai Lisa, hai Lita..” ucapnya. Aku dan Lita menjawabnya canggung. Caranya menyapa seakan menunjukkan bahwa kita ini saudara kembar. Nama kita ini memang mirip. Kadang, teman-teman kami pun suka bercanda kalau kita ini kakak adik. Kembali ke orang yang menyapaku tadi, ternyata dia mengonfirmasi kalau kita satu kelompok tugas kuliah yang baru saja selesai. “Nanti saling ngabarin ya.” Ucapku mengakhiri obrolan. Setelah itu aku dan Lita menuju kantin. Tanpa pikir panjang, aku memesan Nasi Goreng Jawa dan Lita memesan ayam bakar. Tampaknya ibu kantin mulai hafal dengan kebiasaan kami. Sehingga, belum juga kita menyebut mau pesan apa, sudah didahului, “Nasi Goreng Jawa kan mbak?” ucapnya. Padahal kadang aku ingin memesan yang lain. Namun sudah seperti terkena hipnotis ibu kantin. Jadinya langganan itu terus. Kami pun makan sambil menunggu minuman kami datang. Lita ku lihat semangat sekali makannya. Aku jadi ikut bersemangat menghabiskan nasiku. Mataku sambil memperhatikan lalu lalang antara mahasiswa yang baru mau pesan dan sudah meninggalkan kantin. Lalu pandanganku tertuju pada satu sosok yang duduk sendirian di pojok depan lapak Bakso Malang. Ia terlihat asik membaca buku motivasi. “Lis...” Aku dikagetkan suara Lita yang cukup keras. “Kamu ngelihat siapa sih? Dipanggil daritadi bengong doang.” Ucapnya kesal. “Eh sini..” Ku minta Lita lebih mendekat ke arahku. Lalu ku bisikkan ke telingannya. “Kamu kenal siapa dia?” Tanyaku. Lita lantas menengok ke arah yang ku maksud. Dia lalu mengangguk. “oooh.. dia Din.” Jawab Lita. “Din?” tanyaku sedikit janggal dengan nama sesingkat itu. “Iya.. panggil dia Din. Cukup itu yang ku tahu. Dia cukup terkenal sebagai motivator. Sudah banyak yang curhat ke dia dengan hasil memuaskan.” Jelasnya. Mendengar ucapan Lita. Aku jadi tertarik untuk ngobrol dengannya. Selesai makan ku ajak Lita menyapa orang bernama Din itu. “Hai Kak. Boleh duduk?” ucapku. Dia menatapku lama. Lalu ia mengangguk. “Ini tempat umum kok.” Ucapnya kemudian. “Iya sih..” aku dan Lita kompak mengatakan itu. “Nama Kakak Din kan ya?” ucapku membuka obrolan lagi. Ku lihat dia kembali asyik dengan buku yang dia baca. Dia mengangguk. Lita berbisik ke arah Lisa. “ngapain sih di sini. Ayo pergi. Dia gak asik.” Ucapnya. Lisa menolak. Ia masih ingin mengenal cowok di depannya. Lebih tepatnya penasaran jaman sekarang masih ada cowok yang suka baca buku. “Kenalin. Aku Lisa...” ucapku sambil mengulurkan tangan. Mendengar itu Din menatapku lekat. Mungkin ia bingung ada cewek yang mengajaknya kenalan dengan situasi yang begitu canggung. “Kamu baru semester awal ya?” dia malah bertanya tanpa menyambut tanganku. “Kelihatan ya? Maaf Kak kalau gak sopan.” ucapku. “Sorry, bukan itu maksudnya. Aku sedang baca buku. Kalau mau ada yang diobrolin, bisa lain waktu.” Jelasnya. Aku mengerti, terkadang bagi sebagian orang tidak ingin diganggu ketika sedang membaca. Maka ku putuskan untuk meminta kontaknya. Aku pikir bakal dipersulit ternyata mudah. Dia juga orang yang cepat merespon pesan, ya tapi selalu berjalan satu arah. Sempat ku coba ajak jalan, tapi dia gak banyak waktu. Aku berfikir harus tetap menjaga komunikasi yang baik dengannya, karena siapa tahu suatu waktu ada masalah yang membuatku harus menemuinya di bangku kantin yang sudah terkenal menjadi ajang percurhatan. Hehe.. Benar juga, aku menemukan masalah di UKM yang ku ikuti. Rasanya aku sulit memecahkan masalah ini sendirian. Lita memberiku solusi untuk keluar saja, tapi aku ragu. Akhirnya aku teringat bahwa punya kontaknya Din. Dua hari kemudian aku dapat giliran untuk curhat. “Apa yang bisa ku bantu?” ucapnya. Itulah waktuku bercerita. Fotografi dan Jurnalistik adalah UKM yang aku pilih. Semua proses pendaftaran hingga malam keakraban antara anggota baru dan senior aku jalani dengan lancar. Tak ada halangan apapun. Hobiku yang gemar jurnalistik lebih berkembang ketika mengikuti UKM tersebut. Namun tiga bulan berjalan, ada yang janggal. Kegiatan jurnalistik tak banyak dilakukan. “Aku kan basic nya Jurnalistik. Dulu pas SMA pasti berdua sama fotografer. Sedangkan yang terjadi di UKM itu lebih mengutamakan fotografinya. Aku jadinya dipaksa menyukai fotografi. Sedangkan aku gak mampu beli kamera Din” Jelasku. “Lalu yang kamu mau gimana?” tanya Din. “Kan aku ke sini minta pendapatmu. Kok malah ditanya.” Ucapku kesal. “Lis. Aku paham. Justru karena kamu datang ke sini, maka aku berhak tahu apa yang kamu sendiri inginkan.” Jelasnya. “Ya aku mau berimbanglah. Fotografi oke, jurnalistiknya juga oke.” Jawabku. “Sudah kamu sampaikan ke senior atau ketua UKM gitu?” tanyanya. “Sudah, tapi ya Cuma iya-iya doang.” Jawabku. Din mengangguk. Ia tampaknya memikirkan sesuatu. Semoga aku ke sini gak sia-sia seperti kebanyakan orang. Tapi melihat obrolan kita ini, kok rasanya gak ada solusi, pikirku dalam hati. “Kamu harus keluar!” Ucapnya yang membuatku kaget. Wah kalau solusinya keluar berarti aku menyerah. Percuma curhat kalau solusinya menyuruh aku berhenti. “Jangan salah paham dulu!” Dia tampaknya paham yang ku pikirkan. Ia lalu menjelaskan bahwa aku harus keluar dari lingkungan yang membuatku tidak nyaman. Kalau ternyata di UKM itu dominan pengembangan fotografinya, bisa dinilai bahwa jurnalistik mereka lemah. “Siapa seniormu yang memiliki visi seperti kamu.” Tanya Din. “Ada, namanya Kak Desi.” Jawabku. “Apa yang dia pikirkan tentang UKM itu?” tanya Din sambil ia menggambar sesuatu di kertas. “Dia sih bilang, ya sudah kita ikutin saja. Memang banyak yang bisanya fotografi.” Jawabku. “Nah. Itu masalahmu. Kamu kehilangan figur untuk membudayakan jurnalistik di UKM itu. Mereka bukannya gak mau mengembangkan, hanya saja sudah nyaman dengan berbagai pameran foto yang sukses mereka ikuti. Seniormu Desi saja gak ada semangat buat ngembangin kok. Gimana Jurnalistik bisa diminati.” Jelas Din. Dia lalu menunjukkan skema kerja yang menggambarkan bahwa aku harus ekstra waktu dan pikiran untuk mengimbangi kegiatan UKM yang cenderung ke Fotografi dan pelan-pelan menanamkan kemampuan jurnalistik ke anggota lain. “Jangan frontal. Kalau kamu yakin ada peluang baik di sana, ya lakukan. Gak ada salahnya juga kok kamu mulai belajar Fotografi. Toh itu berkaitan kan dengan Jurnalistik?” Ucapannya membuatku mengangguk ngerti. “Kamu harus mulai dan tanamkan dalam diri, kamulah orang pertama yang akan dikenang nanti sama juniormu yang ikut bergabung di UKM itu bahwa hidupnya jurnalistik karena gebrakanmu.” Lanjutnya. Ku baca sekali lagi skema yang dibuat Din. Cara kerjanya mudah dimengerti walaupun butuh tenaga dan pikiran yang lebih besar. Kenapa aku tak pernah berfikir ke arah itu ya, batinku. “Ya itu sekali lagi, kalau kamu merasa UKM itu ruangmu untuk berkembang. Aku yakin kamu bisa.” Ucap Din mantap. Aku mengangguk. “Lis. Kadang, Tuhan mengirimmu pada situasi yang tidak nyaman, supaya kamu mendapatkan berkat yang tidak seperti biasanya. Kamu sedang disayangi.” Kalimat terakhir Din itu mampu membuat semangatku kembali membuncah. Aku seperti mendapat tambahan energi mendengar kalimat itu. Din benar, aku sudah belajar banyak Jurnalistik di SMA. Kalau aku menuntut hal yang sama di UKM, berarti aku tidak berkembang. Tantanganku selanjutnya ya menciptakan lingkungan yang ramah Jurnalistik. Makasih Din.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b