Langsung ke konten utama

Cinta Yang Menyakitkan (Part 1)

Musim hujan memang dilematis, ketika petani butuh siraman air untuk sawah dan kebun mereka, maka penduduk perkotaan lebih mencintai awan gelap tanpa hujan. salah satunya, Amir seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas swasta Jakarta, ia terlihat gusar di beranda rumahnya. Pasalnya, dia harus pergi ke kampus untuk mengikuti ujian sementer ganjil perdananya. Ia yang malamnya sudah belajar kisi-kisi yang diberikan dosen Pengantar Ilmu Politik, telah yakin bisa merampungkan soal yang diujikan. Namun kendala menyapanya ketika pagi penuh genangan air di depan rumahnya. Pandangan mata tak terlepas bergantian antara jam tangan dan langit. Amir semakin tidak sabar menanti hujan reda ketika waktu sudah menunjukkan pukul 07:00 WIB. Sedangkan ujian dilaksanakan pukul 09:00 WIB. Butuh waktu 1,5 jam untuk sampai di kampus apabila kondisi tidak hujan. Nah ketika hujan, bisa saja butuh waktu lebih lama, apalagi ketika ada jalanan yang memiliki genangan cukup tinggi. Jas hujan yang terbungkus rapi di dalam jok motor pun akhirnya dikeluarkan. Ia tak ingin berlama-lama menanti ketidakpastian. Hal yang terpikirkan terjadi. Ada banyak genangan air yang harus dilalui ketika menyusuri jalanan Margonda, Lenteng Agung, hingga Pasar Minggu. Pada beberapa titik, kemacetan tidak terhindarkan. Apalagi beberapa jalan memiliki ketinggian lebih rendah dari pemukiman sekitarnya. “Untung saja tadi tidak sampai mogok,” batinnya lega ketika sampai di parkiran motor kampus. Alroji di tangan masih menunjukkan pukul 08:45 wib. Amir bersekempatan untuk merapikan pakaian dan mencuci muka sebelum memasuki gedung kampus. Ketika melintasi pintu masuk toilet, Amir berpapasan dengan Dika teman sekelasnya. Mereka pun terjadi obrolan singkat dan bersamaan menuju ruang ujian. “Gue belum belajar sama sekali nih Mir, tolong donk bagi ilmu sambil jalan,” ujar Dika disela langkah mereka ke ruang ujian. Amir dengan senang hati berbagi ilmunya. Ia menjelaskan tentang teori ilmu politik menurut berbagai para ahli. Pertama menurut Socrates (469-399 SM), ilmu politik adalah ilmu yang membahas masalah Public good (kebaikan bersama) yakni struktur ideal serta tentang keadilan. Kedua menurut Plato (429-347 SM), ilmu politik adalah ilmu yang membahas tentang siapa yang memerintah dan kedudukan individu dalam lingkup kekuasaan yang dipegang. Sedangkan, menurut Aristoteles (384 - 322 SM) ilmu politik adalah ilmu yang membahas tentang asal dan tujuan terbentuknya negara. Tidak banyak yang bisa diingat Dika, sedangkan Amir dengan lancar bisa mengerjakan apa yang sudah dipelajarinya. Ketika keduanya keluar ruangan, nada keluhan terucap dari bibir cowok berambut gondrong tersebut. Lima soal yang diujikan, ternyata hanya mampu dia kerjakan 3 soal saja. Itu pun hasilnya belum diyakini kebenarannya. “Tenang saja Dik, pak Doddy kan orangnya baik,” ujar Amir berusaha menenangkan Dika. “Kita ngopi dulu lah di kantin. Mau cobain rokok?” ujar Dika dengan senyuman jahil. Dika ngerti kalau Amir tidak merokok. Bahkan ketika berusaha dibujuk untuk mencoba sesekali. Tentu saja Amir hanya mengulum senyum. Ide untuk ke kantin bukan hal buruk. Beberapa mahasiswa terlihat menghambur menuju kantin. Suara terdengar samar, tetapi Amir masih bisa jelas mendengar bagaimana mereka mengeluhkan tentang ujian yang baru saja dilaksanakan. Sedangkan Dika asyik memainkan ponselnya dan menghisap rokok Mild kesukaannya serta aroma kopi hitam yang menusuk hidung. Amir memilih membaca buku Pengantar Ilmu Komunikasi dan memesan segelas es teh manis dan soto Lamongan. Amir menebar pandangan ke sisi lain, seorang penjaga parkiran tengah menggoda salah satu mahasiswi yang mengenakan pakaian yang harusnya pantas ketika jalan ke mall. Lucunya, mahasiswi tersebut menyambut hangat godaan sang tukang parkir. Pada sisi lain, ada perempuan berambut panjang dikuncir sedang membawa tumpukan buku keluar dari ruang perpustakaan. Bersamaan dengan teriakan mahasiswi yang memesan jus alpokat pada penjual, ponsel Amir berdering nyaring memainkan nada penyanyi Maha Dewi. Dika sejenak menoleh ke arah sahabatnya, dan kembali fokus pada ponselnya ketika Amir berbincang dengan penelfon. “assalamulaiakum..” sapa suara penelfon. “waalaikum salam, maaf dengan siapa?” sambut Amir ramah. “Mir, aku njalok ngapuro yo. Menawi sampean loro ati karo aku, sampean ikhlasno aku yo,” ujar suara yang diketahui perempuan dengan nada serak. Namun belum sempat Amir menjawab, sambungan telepon mereka terputus. Dan ketika amir hendak menghubungi lagi panggilan tidak terjangkau. “Siapa Mir,” selidik Dika. “Entahlah Dik, kayaknya teman SMA gue, soalnya dia berbahasa Jawa,” jelas Amir dan disertai anggukan Dika. Dika kembali dengan ponsel yang dipegangnya sambil sesekali mengisap rokok. Sedangkan Amir mulai memikirkan siapakah gerangan yang menghubunginya tadi. Kenapa perempuan tersebut meminta maaf padanya? Namun dari suara yang didengar, ada sebuah firasat bahwa itu adalah suara dari seseorang yang selama ini mengisi hatinya. Ia lalu melamun dalam pikiran kisahnya setahun silam tentangnya. Benarkah dia? "Mir.." "Mir.." "Mir.." "Eh iya Dik?" "Yah, ngelamun elo yak? Pulang yuk!" Ajak Dika. Amir pu mengangguk dan segera menuju parkiran motor. Namun pikirannya belum berhenti tentang sosok penelfon tadi. Ia masih ragu apabila benar yang menghubunginya adalah perempuan yang dicintainya. "Lala...." Amir bergumam mengingat banyak hal tentangnya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b