Langsung ke konten utama

Cinta Yang Menyakitkan (Part 2)

Perjalanan selama satu jam dari kampus ke rumah ternyata tidak menghilangkan pikiran Amir. Sambil ia memakirkan motor SupraX miliknya, ia masih bergelut dengan prasangka-prasangka. Rumah terlihat sepi, Ia segera mencari kunci rumah yang sudah biasa diletakkan di lokasi tersembunyi yang diketahuinya. Tampaknya sang kakak sedang pergi sekeluarga. Ketika ia hendak melepas sepatu, tetangga sebelah menyapa. “Sudah pulang kuliah mas?” Ujar Mbak Pri, nama perempuan itu. Ia sedang menenteng barang belanjaan dari swalayan. “Iya ini. pada keluar ya?” Ujar Amir basa-basi siapa tahu Mbak Pri mengetahui kepergian kakaknya. “Iya, barusan banget. Sudah pegang kunci kan?” timpal Mbak Pri. Amir mengangguk sambil menunjukkan kunci di tangannya. Meselat ke ruang lantai dua, Amir memasuki kamar tidurnya untuk berganti pakaian. Selanjutnya, ia menuju ke dapur untuk mengambil minuman dingin di kulkas. Jus Melon kesukaannya langsung masuk tenggorokannya. Tak lama setelah ia beristirahat, ponsel yang digenggamnya kembali berdering. Nomor yang tertulis di layar ponsel berseri sama dengan perempuan yang menelfonnya di kampus tadi. Ia pun bergegas mengangkat telfon tersebut. “Nak Amir, ini saya ibu e Lala,” Suara perempuan menjelaskan siapa dirinya. Amir cukup kaget, tapi berusaha setenang mungkin ia menanggapi. “Wonten nopo, bude?” Sambut Amir menanyakan keperluannya. “Nak, bude nyuwun ngapunten ingkang katah nggeh. Menawi sampean saget wangsul, bude nyuwun ingkang sanget. Lala kondisine sakit parah nak,” ujar ibunya Lala yang meminta Amir untuk pulang kampung karena Lala sedang sakit parah. “Sakit nopo bude?” timpal Amir gusar. Ibunya Lala pun menjelaskan tentang penyakit anaknya. Ternyata Lala mengalami penyakit Depresi Akut. Dokter menjelaskan, hal tersebut disebabkan oleh kondisi psikis seseorang terlalu memikirkan orang lain yang dicintainya atau masalah yang tidak kunjung diselesaikan. Akhirnya menjauh dari keramaian dan aktivitas apapun. Ia awalnya kurang memiliki pikiran positif, dan berdampak pada kurangnya selera makan dan mengakibatkan asupan gizi pada tubuh tidak terpenuhi. Sejauh ini, Sang ibu sudah berusaha semaksimal mungkin membuat anaknya mau bercerita tentang masalahnya. Tetapi, Lala termasuk perempuan yang tertutup. Bahkan apabila banyak orang mengatakan perempuan itu sulit dimengerti, bahkan dirinya sendiri terkadang tidak tahu apa yang diinginkan, cocok disematkan untuk Lala. Hingga akhirnya, Lala sering memanggil nama Amir. Hal itu lah petunjuk awal yang membantu dirinya untuk mencari tahu siapa Amir yang dilamunkan Lala. Mendengar penjelasan Mama nya Lala, Amir teriris hatinya. Ia jadi teringat tentang kisah percintaannya yang tidak berjalan mulus dengan perempuan tersebut. lebih tepatnya, Amir menaruh perasaan yang teramat pada perempuan yang pertama dikenalnya di bangku Sekolah Menengah Pertama tersebut. Ia adalah sahabatnya yang duduk tepat di depan Amir berada. Mereka suka bercanda dan akhirnya kerenggangan terjadi ketika Amir berharap lebih dari hubungan tersebut. Amir pun menyanggupi untuk pulang ke Lamongan menemui Lala dalam waktu dekat. Ia harus menyelesaikan semesternya dua hari mendatang. Mama nya Lala terdengar senyum sumringah mendapat angin surga dari Amir. Obrolan mereka pun terputus beriringan dengan suara klakson mobil di depan rumah. Amir bergegas menyambut kakaknya yang baru pulang memboyong barang belanjaan. Dua ponakannya, Fanny dan Bian sibuk memamerkan baju dan celana yang dibeli. Mereka terlihat beradu barang untuk ditunjukkan ke Amir. Sedangkan Amir hanya menanggapi senyum untuk menutupi kegundahan hati. Guna mengalihkan suasana sedihnnya, ia membantu saudaranya mengangkat barang belanjaan ke dalam rumah. Diperhatikan ada susu kaleng, mie instan, dan minyak goreng dalam balutan kresek putih. Usai membantu merapikan barang belanjaan, Amir naik ke kamarnya di lantai dua. Dia kembali teringat apa yang diucapkan oleh ibunya Lala. Ia masih tidak percaya apa yang didengarnya. Harusnya, Amir yang mengalami depresi karena cintanya pada Lala tidak tergantikan meskipun di tolak. Tetapi, Lala justru membawa misteri tersendiri terhadap perasannya pada Amir. Ia pun membuka Laptop dan menyalakan sambungan internet. Ia mengecek tiket perjalanan kereta jurusan Surabaya Pasar Turi. Beruntungnya, ia masih mendapatkan tiket pulang sesuai hari yang ditetapkan. Ia pun melakukan transaksi dan siap mencetak kartu tiket di stasiun saat pemberangkatan. Amir memejamkan matanya sejenak, mengusir perasaan yang kalut. Sesekali ia menatap buku di meja belajar yang menantinya untuk dibaca. Besok ada ujian mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi. Buku bersampul abu-abu tersebut harus dipelajari dengan baik. Ia tidak ingin larut dalam masalah yang bisa mengganggu aktivitas kuliahnya. Ia mengeluarkan secarik kertas yang didapatkan dari kisi-kisi dosen seminggu lalu saat perkuliahan terakhir. Amir memulai belajar dari pengertian komunikasi menurut Harold Lasswell bahwa komunikasi merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa? mengatakan apa? dengan saluran apa? kepada siapa? dengan akibat atau hasil apa? (who? says what? in which channel? to whom? with what effect?). (Lasswell 1960). Pukul 23:00 wib, Amir sudah mulai menguap. Kantuk tak tertahan lagi. Ia segera meninggalkan aktivitasnya di meja belajar. ia menutup gorden dari sorotan bulan purnama yang beradu terang dengan lampu kamar. Ia juga mematikan pendingin ruangan serta lampu atap dan menyisakan lampu meja yang remang-remang. Tubuhnya direbahkan ke kasur sambil memejamkan mata untuk menyabut hari esok yang lebih baik. Oh Lala, gadis yang sudah mulai ingin dilupakan, justru membawa kabar yang membuatnya kini harus melamunkan dia kembali. Bagaimana kisah selanjutnya? Tetap setia menbaca kisahnya ya…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b