Langsung ke konten utama

Perjuangan Cinta Menyok (Part 1)

Cinta itu ekspresif. Banyak cara seseorang mengekspresikan rasa cintanya, salah satunya adalah Menyok. Perempuan yang tinggal di desa terpencil di pulau Jawa tersebut memiliki tradisi yang unik. Menurut cerita yang dia tuturkan ke anaknya, orang tua Menyok memiliki nama yang berasal dari buah-buahan. Menyok adalah bahasa Jawa untuk Singkong. Ibunya Menyok memiliki nama Juwet atau popular di sebut Jamblang. Alasannya cukup sederhana, ketika sedang dalam kandungan, orangtuanya nyidam Jamblang. Nah, ketika Menyok lahir, bertepatan dengan panen raya singkong di desa tersebut. Bahkan kabarnya, hasil panen raya milik orangtua Menyok terbilang panen yang paling melimpah sepanjang hidup mereka. Jadilah nama itu melekat sebagai tanda syukur dan mengingat momentum tersebut. Ternyata tradisi itu tidak ditinggalkan oleh Menyok. Ia memiliki dua anak, pertama laki-laki, dan kedua perempuan. Anak laki-lakinya diberi nama Gethuk. Anak perempuannya diberi nama Lindri. Alasannya terbilang sederhana, ia menyukai makanan olahan tersebut. Terlebih, bahan baku dari Gethuk Lindri adalah Singkong. Sungguh cocok kan? Penjelasan tersebut membuat saudara dan tetangga tertawa lepas. Untung saja, Menyok hanya memiliki anak dua. Coba saja kalau ia melahirkan lagi satu anak, mungkin akan diberi nama Parutan Klopo. Karena Gethuk Lindri cocok kalau dicocol sama parutan kelapa. Begitulah guyonan yang sering dilontarkan para tetangga dan saudara. Tetapi, ada alasan yang cukup filosofis. Menyok menyebut bahwa pemberian nama Gethuk merupakan singkatan Gesit dan Mathuk (sesuai atau bisa dikatakan bertindak pada tempatnya). Lalu, singkatan nama Lindri gimana? Ia berseloroh; perempuan itu bisa lindungi diri sendiri. Tapi apalah makna filosofis bagi tetangga yang memang sudah sejak awal meremehkan keluarga Menyok. Tetap saja dianggap itu hanya lelucon. Apalagi sepeninggal suaminya, Wijo. Ia seorang diri merawat dan membesarkan kedua anaknya dalam kondisi ekonomi yang terbatas. **** “Lin.. Mas mu bangunin dulu. Waktu Subuh sudah mau habis” Menyok teriak dari dapur menyebut Lindri yang sedang menyapu ruang tamu “Iya Emak..” jawab Lindri tak kalah keras. Usai salat Subuh, Menyok memang sudah memulai aktivitasnya membuat Gethuk Lindri. Usaha yang dijalankan sejak suaminya meninggal sepuluh tahun lalu. Jajanan pasar tersebut menjadi sumber keuangan pokok di keluarga Menyok. Gethuk dan Lindri termasuk anak yang tahu diri, mereka tidak membiarkan Menyok banting tulang sendirian. Gethuk bagian mengupas kulit singkong dan memotongnya dengan ukuran sekitar 5 cm. Lalu, Lindri yang bertugas mencuci singkong tersebut supaya tanah atau kotoran yang ada hilang. Kegiatan itu dilakukan sore hari atau malam hari apabila Gethuk dan Lindri ada kegiatan ekstra kurikuler di sekolah. Menyok yang nantinya merebus dan menghaluskan adonan di pagi hari. Gethuk dan Lindri biasanya juga membantu mengemas sebelum berangkat ke sekolah. **** “Kenapa Lin? Mau bangunin Mas ya?” komentar Gethuk ketika melihat Lindri mau masuk ke kamarnya. “Mas sih, jam segini baru bangun,” sahut Lindri dengan ekspresi mengejek. Lindri lalu bergegas ke dapur untuk membantu Menyok. Lindri melihat Menyok sedang mengipas-ngipas kayu bakar yang tak kunjung nyala api nya. “Sini Emak, Lindri bantuin,” ucap Lindri mengambil alih tugas. “Kamu gak pergi belanja?” komentar Menyok. “Lindri baru mau tanya ke Emak, enaknya masak apa?” tanya Lindri. “Oh iya. Kan Pakde mu yang dari Surabaya mau ke sini ya? Dia kan sukanya Asem-asem Kothok (ikan Gabus). Kita masak itu saja ya, kamu bisa beli lauk yang lain,” jelasnya. “Uang belanja nya masih cukup kan Lin?” tanya Menyok memastikan. “Masih ada Emak. Kalau begitu, Lindri belanja dulu ya,” pamit Lindri. “Lin, Mas Gethuk pesan Angsle ya,” teriak Gethuk yang baru keluar dari kamar mandi. “Kamu ini Mas, kerja saja belum sudah makan yang diduluin,” cibir Lindri. “Halah, bawel kamu Lin. Mas bakal ngelupas kelapa,” timpalnya. **** Di tempat Mbak Sayur, Lindri bertemu dengan Tela, tetangga yang terkenal biang gosip. Ketika Lindri sampai di sana, terdengar sekilas tentang isu anak pegawai bank yang kabur dari rumah. Lindri hanya mengucap istighfar atas kelakukan tetangga itu. “Lindri makin cantik saja,” ia menyapa dengan pujian. Lindri waspada dengan kalimat pembuka tersebut. Karena bisa ditebak arah pembicaraan selanjutnya. Gak jauh dari “ikut campur urusan orang lain”. “Tapi Mas nya lebih segala nya loh Tela,” timpal Ruju. Rumahnya terpisah tiga rumah dari Lindri. “Ah, itu sudah dari dulu Mbak Ruju. Emak Menyok saja, mengakuinya. Sering kan dia ke kita cerita tentang Gethuk waktu sekolah dulu menang lomba ini itu, Duh. Sayang, aku lahir duluan,” sahut Tela. “Emang kalau dia yang lahir duluan kenapa? Gak sudi lah dia sama kamu,” timpal Ruju. “Huh. Sirik saja kamu Mbak…” jawab Tela. Lindri mulai memahami arah pembicaraan. Tapi ia tak menghiraukan. “Lindri diam saja,” Tela berusaha memancing emosi. “Tela, gak lelah apa dari tadi ngobrol terus. Kamu jadinya belanja apa?” Mbak Sayur menyanggah omongan Tela. Tela akhirnya diam juga. Ia lalu menyerahkan belanjaanya kepada Mbak Sayur dan membayarnya. “Sudah Lin, kamu gak usah dengerin omongan Tela,” hibur Mbak Sayur yang melihat Lindri sedikit murung. “Iya Mbak,” jawab Lindri singkat. “Ada ikan Kothok nya mbak?” Lindri sadar tujuannya ke tukang sayur ya untuk berbelanja. “Hanya ada sekilo, cukup?” jawab Mbak Sayur sambil menunduk ke dalam gerobak dagangannya. “Lebih dari cukup mbak,” jawab Lindri. “Tumben, beli ikan Kothok. Bukannya kamu dan keluarga mu gak makan ikan Kothok?” Mbak Ruju komentar. “Hari ini Pakde Pur mau ke sini Mbak. Dia kan sukanya Asem-asem Kothok,” jawab Lindri. “Wah, cocok Lin. Ini ikannya masih seger loh,” promo Mbak Sayur. Apa yang dikatakan memang benar. Ikannya masih hidup, tentu pekerjaan menyiangi ikan nanti diserahkan ke Gethuk. Selain membeli ikan Kothok dan belanjaan lainnya. Lindri bergegas pamit pada pembeli yang lain. Mbak Ruju pun menyusul. Sampai di rumah, Emak menatapku serius. “Kenapa tatapannya begitu sih Emak,” Aneh dengan sikap Menyok, Lindri curiga. “Kamu ada apa? pulang dari belanja kok malah sedih. Uangnya kurang?” tanya Menyok. “Ah perasaan Emak saja. Gak ada apa-apa kok, masih sisa nih,” Lindri tak terus terang. Hal tersebut diketahui oleh Menyok. Tapi ia tak mau memperpanjang cerita. Kalau situasinya sudah membaik, ia akan menanyakan ulang. Gethuk tampak sudah selesai mengelupas kelapa. Kerjanya sangat rapi sehingga tak ada setitik pun kulit kelapa yang tertinggal. Bulatan cokelat itu kini menjadi putih bersih. “Kalau hanya dilihat begitu, bisa-bisa mas gak bisa sarapan. Cepetan gih masak,” Lindri dikagetkan oleh ucapan kakaknya. Ia memang sedang melamun. “Iya… Iya..” jawabnya kesal. “Eh mana Angsle pesanan Mas?” tanyanya. “Tuh, masih di kresek. Sekalian tuh ikannya disiangin,” sahutnya. “Bereeees,” jawabnya. Sambil menunggu Ikan Kothok nya selesai disiangin, Lindri mencuci beras dan menyiapkan air panas untuk membuat sayur asem. “Pinter kamu Ge..” Lindri dengar Emak mengomentari pekerjaan kakaknya. “Apanya yang pinter? Bukannya dari dulu begitu cara nyiangin ikan?” Lindri merasa kesal. Padahal kalimat itu harusnya biasa saja. Tapi Lindri sedang gundah hatinya mengingat omongan Tela tadi. Pikirannya menerawang jauh, benarkan emaknya lebih bangga memiliki anak seperti Gethuk dibandingkan dirinya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b