Langsung ke konten utama

Perjuangan Cinta Menyok (Part 2)

Rasa penasaran Lindri terhadap bagaimana kasih sayang Menyok atas dirinya masih belum menuai titik terang. Namun tampaknya hal itu tidak lama lagi. Ada momen yang membuat Lindri menyadari satu hal, yaitu wajah berbinar emaknya ketika akan menghadiri pengambilan rapor kakaknya, Gethuk. Betul saja, cukup beralasan kenapa Menyok sangat berbahagia, karena Gethuk dinyatakan lulus dengan hasil UN terbaik se-Jawa Timur. Berbeda dengan Lindri yang bahkan sepuluh besar di kelas saja tidak. Semua warga kampung ikut berpesta dengan kelulusan Gethuk. Sampi pak Kepala Desa menyambangi rumah kami dengan memberikan hadiah ke Gethuk. Tela, tetangga rumah Lindri pun tak ketinggalan untuk komentar. “Wah, Emak Menyok bangga sekali pasti ya, punya anak pinter begitu.” Menyok mengangguk senang mendapat pujian tersebut. Ia tak sadar akan sosok yang sedang terluka batinnya. “Iya, Gethuk kan dari dulu gak pernah bergeser rankingnya di kelas, selalu juara,” timpal Mbak Ruju. Hal itu menambah luka yang semakin dalam buat Lindri. “Bagaimana Emak, beasiswa nya diambil tidak?” kini pak Kepala Desa yang komentar. “Masih dipertimbangkan Pak Kades, soalnya ada tawaran lain dari Pakde nya yang di Surabaya,” jawab Menyok. Orang-orang yang berkumpul di rumah pasti sudah mendengar informasi mengenai pilihan Gethuk. Ia ingin sekali melanjutkan pendidikan di Akademi Penerbangan. Sedangkan jalur undangan yang didapat Gethuk adalah universitas negeri dengan jurusan Teknik Industri. “Semoga Bapak bangga ya Emak, di alam sana,” Gethuk merangkul Menyok. Semua yang melihat ikut terharu. Lindri pun sebenarnya bangga dengan prestasi kakaknya. Tapi entah kenapa, obrolan selanjutnya, membuat dirinya terpojokkan. “Kalau Lindri, sekolahnya lanjut gak Emak?” Tela bicara lagi. “Tanya sama anaknya itu,” Menyok malah membuat suasana jadi serba salah. “Ah kayaknya sudah gak niat sekolah begitu. Bantuin Emak dagangan Gethuk saja, toh sekolah gak pernah dapat ranking,” Tela berhasil menghancurkan batas pertahanan Lindri yang sejak tadi berusaha ikut berbahagia dengan prestasi kakaknya. “Iya, anak perempuan ngapain sekolah tinggi-tinggi, Emak butuh teman di dapur,” kini Mbak Ruju menambah rasa sakit yang tak tertahankan. “Bapak di rumah sedang butuh buruh masak loh, kalau nak Lindri ingin punya kesibukan,” Pak Kades dengan polosnya tak menyadari bahwa sejak tadi Lindri sudah sangat ingin masuk ke kamar dan menangis. “Walah Bapak Kades, makasih atas tawarannya. Emak insya Allah masih ingin menyekolahkan Lindri. Tapi semua terserah dia yang menjalani,” pungkas Menyok yang menyadari ada hal yang gak tepat dari obrolan tadi. Menyok mulai sadar satu hal, ia terlalu larut dengan kebahagiaan atas prestasi yang dimiliki Gethuk. Hingga melupakan satu hal yang sebenarnya menganggu pikirannya belakangan ini. Ia pun teringat dengan obrolan beberapa hari lalu dengan Lindri. “Lin… kalau ngelamun begitu mana bisa matang Asem-asem Kothok nya,” tegur Emak duduk di samping Lindri. Menyok menyadari kalau Lindri gelagapan ditegur demikian. “Ada apa toh, Lin? Emak perhatikan kok sejak pulang belanja murung?” tanya Menyok. “Gak apa-apa Emak, sudah selesai adonan singkongnya?” Lindri berusaha mengalihkan pembicaraan. “Sudah digiling sama mas mu,” jawab Menyok. Hanya sampai itu saja obrolan yang terjadi. Menyok belum mendapatkan pertanda apa pun tentang masalah yang dihadapi Lindri. Mereka sudah disibukkan dengan persiapan dagang dan aktivitas sekolah Gethuk dan Lindri. Menyok berfikir aka nada waktu yang tepat untuk membicarakan hal tersebut. Jam sembilan pagi, kondisi dapur sudah bebas dari aktivitas. Emak sedang duduk di teras rumah menjajakan Gethuk Lindri. Lindri berencana bersama teman sekolah untuk mulai mendaftar di SMK. Sedangkan Gethuk waktunya berbelanja singkong untuk jualan besok pagi. “Kamu pulang jam berapa Lin?” tanya Menyok. “Belum tahu lah Emak. Berangkat saja belum,” jawab Lindri ketus. “Usahakan jalan terlalu sore, Pakde Pur kan Ba’da Dzuhur kemungkinan sudah datang,” ujar Menyok tak terlalu menyoal terkait nada bicara Lindri. “Iya Emak, Lindri usahakan pulang sebelum dzuhur,” balasnya. Tak lama setelah itu, teman Lindri datang menjemput. “Lindri pamit dulu ya Emak,” ia mencium tangan Menyok. Ternyata antusias anak-anak untuk masuk SMK sangat tinggi. Lindri tak menyangka bahwa akan ada banyak calon siswa yang mendaftar seperti dirinya. Antusiasme yang tinggi terlihat dari mereka yang antre dan Sebagian ada yang diantar oleh orangtuanya. Sempat terbesit rasa iri di hati Lindri, tapi ia menyadari tak mungkin merepotkan emaknya hanya untuk daftar sekolah. Apalagi tak ada pesan khusus dari emaknya untuk memilih jurusan tertentu. “Terserah kamu saja Lin. Emak ngikut saja kemauanmu,” ujarnya. Berbeda ketika Mas Gethuk meminta pendapat tentang kuliahnya, Emak sangat kekeh menyarankan supaya Mas Gethuk menerima penawaran Pakde Pur. “Lindri……” teriakan Wati membuyarkan lamunan Lindri. “Mikirin apa sih?” tanyanya penasaran. Ia pun menoleh kanan kiri. “Cieee, pasti bengong ngelihat cowok yang duduk di taman itu ya?” sentilnya. “Enggak, sudah ayo pulang. Aku janji ke Emak supaya segera pulang kalau urusan selesai,” Lindri tak merespon baik candaan temannya. Aktivitas penerimaan siswa baru tak terjadi di sekolah yang Lindri minati saja. Sepanjang perjalanan pulang, Lindri melewati sekolah paling bergengsi di kota tempatnya tinggal, yakni Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Banyak sekali mobil yang terparkir di sepanjang jalan dekat sekolah itu. Melihat pemandangan kasat mata tersebut bisa dipastikan hanya anak-anak dari golongan mampu yang bisa bersekolah di tempat tersebut. MAN setara dengan SMA 1 di kota kami, bahkan berdasarkan informasi terbaru, SMAN 1 kalah satu peringkat dengan MAN, dan nomor tiga yakni SMA MUHAMMADIYAH. “Lin, aku punya kabar gembira loh?” Wati memecah kebisuan Lindri. “Kabar apa? kelincimu hamil lagi?” Tebak Lindri asal. “Heh, baru juga kemarin lahiran. Ngaco kamu..” ujar Wati kesal. “Lalu apa?” kali ini Lindri serius memperhatikan. “Besok, aku diajak ibu beli mesin jahit,” ujarnya. “Wah enak ya, belum juga sekolah sudah disiapin perlengkapannya,” Lindri ikut senang. “Iya, nanti kalau sudah ada di rumah, kamu boleh main dan kita belajar menjahit bareng,” ujar Wati. Lindri mengangguk senang. Sampai di rumah, Lindri disambut dengan keadaan rumah kosong. Ia berfikir tumben emaknya belum pulang dari jualan. Sedangkan kakaknya pun tak terlihat, walau ia tahu sudah ada satu karung singkong di teras rumah. Artinya Gethuk sudah pulang belanja singkong. Maka Lindri pun memilih berdiam di kamar saja sambil mendengarkan musik. Dalam keheningan, Lindri memikirkan apa yang barusan ia dengar dari Wati. Ada perasaan bahwa Wati sangat beruntung, orang tua nya memberi fasilitas yang baik untuk sekolahnya. Mungkinkah hal yang sama juga ia dapatkan dari Menyok? Apakah emaknya memiliki tabungan yang cukup untuk membelikan mesin jahit? Ah seandainya punya uang, pasti prioritas untuk bekal kakaknya yang akan merantau. Siapa pun akan setuju bahwa membiayai Gethuk ada manfaatnya, banyak prestasi. Sedangkan dirinya, bisa jadi hanya akan buang-buang biaya saja. Begitulah berbagai pertanyaan dan jawaban yang bergelut di batin Lindri. Apakah tebakan Lindri benar?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b