Langsung ke konten utama

Perjuangan Cinta Menyok (Part 3)

Menyok memikirkan banyak hal akhir-akhir ini. Sikap Lindri yang masih tak bisa ditebaknya, sekaligus mengenai rencana Gethuk yang akan lanjut kuliah. Ia mengingat hari di mana kakak dari suaminya datang berkunjung ke rumah. Kedatangannya berkenaan dengan rencana mengajak Gethuk untuk kuliah di sana. Entah kenapa, perasaan yang harusnya bahagia menjadi sulit dijelaskan. Sambil menunggu singkong rebusnya matang, pikirannya terus menerawang tentang masa depan keluarganya. “Berapa lama lagi matang emak?” Gethuk mengagetkannya. “Sampai kaget begitu emak. Lagi ngelamunin apa toh?” Gethuk menangkap gestur emaknya yang tampak tak fokus. “Jam berapa ya kira-kira pakdemu datang?” Menyok malah menyinggung tentang kedatangan Kakak Iparnya, yaitu Pur. “Masih dua jam lagi emak. Belum masak ya?” timpal Gethuk. “Nanti belikan saja rawon di warung dekat kator lurah ya nak,” ucap Menyok. Gethuk mengangguk. Menyok kemudian dikagetkan dengan sikap Gethuk yang mendadak memeluknya. “Gethuk pasti kangen banget sama Emak. Maaf ya emak, nanti gak bisa bantuin lagi belanja singkong.” Ucapan Gethuk membuat Menyok semakin tersiksa dengan perasaannya yang sejak tadi tak menentu. “Loh, emak kok malah nangis?” Gethuk merasa bersalah dengan ucapannya. “Nak, emak tak mungkin membiarkan kamu menjalani hidup yang begini saja. Kamu berhak meraih impianmu. Apalagi ada kesempatan dan kemampuan. Emak bakal terus mendoakan supaya kamu sukses ya, Thuk,” ucap Menyok. Tanpa terasa air matanya menetes. Gethuk berusaha mengusap derai air mata dari emaknya. Tanpa mereka sadari bahwa Lindri sejak tadi menguping pembicaraan keduanya. “Mas Gethuk bakal kangen aku gak?” ucapnya. Menyok dan Gethuk kompak menoleh ke sumber suara. Lindri boleh saja merasa iri dengan segala kesempatan yang dimiliki kakaknya. Tapi menyadari kenyataan bahwa ia akan berpisah dengan orang terdekatnya, maka tak terhindarkan perasaan sedih. “Emak sayang kalian berdua. Kalian hebat dengan cara masing-masing. Jangan pernah merasa ada yang lebih baik atau tidak baik ya,” ucap Menyok yang entah kenapa membuat Lindri tersindir. Lindri lalu berusaha mengakhiri drama perpisahan. Ia berinisiatif untuk pergi membeli rawon untuk menyambut kedatangan pakdenya. Dua jam kemudian, benar saja Menyok melihat Kakak Iparnya sudah berada di teras rumah. “Assalamualaikum..” sapanya yang sudah menyadari ada orang di dalam rumah. “Waalaikum salam..” jawab Menyok. Seketika Gethuk dan Lindri menampakkan diri ikut menyambut pakdenya. “Gimana Lin, kamu sudah diterima di SMK yang dituju?” Pur langsung membahas tentang sekolah Lindri. “Pengumuman seminggu lagi Pakde,” jawab Lindri. “Memang kenapa gak di SMA saja? Sudah males mikir ya. Kamu itu Lin, sekolah gak pernah dapat ranking, Pakde pikir sudah gak sekolah lagi,” ujar Pakde Pur dengan gelak tawa. Sepertinya dia tidak sadar bahwa ucapannya itu menyakitkan. Parahnya, Mas Gethuk dan Emak juga ikut tertawa. “Lindri, memang bakatnya bukan di ilmu sains Mas. Katanya, dia mau ngambil jurusan tata busana,” Menyok kemudian mengomentari ucapan Kakak Iparnya. “Harusnya kamu seperti Mas mu ini. Pintarnya gak ada yang ngalahin. Makanya Pakde gak rela kalau dia gak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Berapa pun biaya yang harus Pakde keluarkan, gak masalah demi ponakan Pakde yang membanggakan ini,” ujar Pakde berapi-api sambil menepuk pundak Gethuk. Suasana ruang tamu menjadi tidak bersahabat dengan Lindri. Tapi ia berusaha tetap tersenyum, lalu ia memutuskan untuk kembali ke kamar. Menyok tampaknya tidak memperhatikan perubahan sikap Lindri. “Lin, jaga ibu mu ya,” Pakde Pur kembali bicara pada Lindri. Ia mengangguk. Lindri kemudian ikut mengantarkan Gethuk dan Pakde Pur menuju mobilnya. Lambaian tangan menjadi salam perpisahan mereka. Kini tinggal Lindri dan Menyok di rumah. Tumpukan piring menjadi pekerjaan yang harus segera lakukan selanjutnya. Menyok turut membantu mengerjakannya. Mereka tak ada obrolan apa pun hingga selesai mencuci piring. Suasana rumah langsung terlihat berbeda. Usai mandi dan shalat ashar berjamaah dengan dengan Menyok. Lindri teringat kakaknya, Gethuk yang biasa menjadi imam setiap Salat. Tiba-tiba air matanya mengalir tanpa bisa terbendung. “Kamu kenapa nangis Lin?” ia kepergok oleh Menyok ketika ia selesai berdoa. “Mas Gethuk beruntung ya Emak,” kalimat itu yang malah dari mulut Lindri. Padahal yang ia pikirkan tadi bukan hal itu. Hal tersebut membuat raut wajah Menyok berubah. “Mas mu memang dari dulu menjadi kebanggaan banyak orang Lin, wajar kalau sekarang banyak yang ingin memiliki jasa padanya,” komentar Menyok. “Emak juga bangga kan sama Mas Gethuk?” Lindri coba mengulik isi hati Menyok. “Pasti Lin. Dia harapan Emak untuk keluarga ini. Melihat Mas mu, aku melihat semangat bapakmu dalam dirinya,” jawab Menyok. Jawaban itu tentu saja membuat suasana batinnya tersentuh. Entah kenapa ia merasa ngilu. “Kamu ada apa?” Menyok menyadari perubahan raut wajah anaknya. “Maafin Lindri ya Emak, gak bisa membanggakan seperti Mas Gethuk,” ucap Lindri. “Heeem.. kamu pasti kemakan omongan Tela dan orang-orang kampung,” komentar Menyok. “Kenyataanya begitu kan Emak? Pakde saja tadi bilang begitu,” timpal Lindri. “Sudah jangan pernah memikirkan itu. Sekarang kamu bantuin Emak ngelupas kulit Singkong,” pungkas Menyok tak ingin membahas kecemburuan Lindri. Sayangnya, Lindri justru ingin terus memastikan apakah Menyok lebih sayang ke Gethuk dibanding dirinya. Hal itu lantas membuatnya susah tidur. Banyak sekali pikiran-pikiran yang membuat Lindri merasa tak berguna. Keesokan harinya Lindri bangun telat. Dilihatnya Menyok sudah selesai merebus Singkong dan mengadoninya untuk siap digiling menjadi Gethuk Lindri. “Kamu pulas sekali tidurnya. Emak bangunin berkali-kali gak nyahut,” ujar Menyok yang melihat Lindri baru bergabung di dapur. “Kok cepat Emak, sudah hampir jadi Gethuk Lindri nya,” komentar Lindri. “Soalnya habis ini Emak mau mengajak kamu ke pergi,” timpal Emak. “Kemana Emak?” tanya Lindri penasaran. “Gak usah banyak tanya. Cepat bantuin Emak!!” perintahnya. Gak biasanya Emak pakai acara rahasia segala. Lindri heran dengan sikap Menyok yang memasang wajah senyum penuh arti. “Tok..Tok..Tok..” tiba-tiba ada suara ketukan pintu. “Siapa pagi-pagi bertamu Emak,” tanya Lindri memandang heran ke Emak. “Biar Emak yang melihat, kamu lanjut saja kerjaaanya. Gak usah ikut keluar ya,” pesan Menyok. Lindri tak mengindahkan omongan Menyok. Tanpa sepengetahuannya, Lindri mengikutinya dan menguping di balik pintu ruang tamu. “Emak, ini uangnya,” ujar suara perempuan. “Makasih ya Bu Marsih, sudah bersedia menyerahkan ke saya dulu,” ujar Emak. “Saya paham kok Emak. Semoga bermanfaat ya,” ujar perempuan tersebut. Obrolan pun selesai. Ada suara langkah kaki menjauh dari ruang tamu. Lindri pun menjauh dari usaha menguping. Segera ia kembali ke dapur supaya Menyok tidak curiga. Tak lama Menyok menyusul. Wajahnya terlihat lebih sumringah dari sebelumnya. “Dari tadi belum matang juga sayurnya?” komentar Emak melihat Lindriyang masih duduk di depan tungku. “Emak terlihat bahagia sekali. Abis ketemu siapa?” Lindri tak tahan juga dengan sikap Menyok yang buat penasaran. “Kamu mau tahu saja urusan orang tua,” jawab Menyok berusaha sebisa mungkin Lindri tak mengetahui rencananya. Belum sempat menimpali lagi, suara ponsel Lindri berbunyi. Ketika dilihat, ternyata Pakde Pur yang menelpon. Langsung saja ia serahkan ke Menyok. “Waalaikum salam Mas Pur,” ucap Menyok menjawab telepon. “Alhamdulillah sudah selesai, tinggal menjajakan saja,” ujar Menyok lagi. “Gethuk bagaimana kondisinya, Emak kangen dia,” Emak mulai membahas Gethuk. Cukup lama Emak mendengar jawaban dari Pakde Pur. “Alhamdulillah kalau begitu. Masalah itu, gak usah. Mas Pur sudah membantu banyak buat Gethuk. Izinkan saya kebagian menjadi orang tua yang bertanggungjawab Mas. Ya, walau pun jumlahnya gak seberapa dibandingkan yang Mas beri untuk Gethuk,” ujar Menyok. Lindri tak lagi memperhatikan apa yang mereka obrolkan. Ia mulai mengerti apa yang terjadi tadi pagi di ruang tamu. Emak sepertinya meminjam uang pada seseorang untuk keperluan kakaknya. Kenapa Emak gak cerita ke Lindri? Ah ini semakin mempertegas bahwa Lindri gak penting di keluarga ini. Begitulah prasangka Lindri yang semakin tak menentu. Padahal, kalau boleh mengungkapkan keinginan, Lindri sangat ingin memiliki mesin jahit seperti Wati. Hal itu pernah Lindri ungkapkan ke Menyok. Tapi waktu itu Menyok sama sekali tidak berkomentar. “Lin… ngelamun saja dari tadi, ayo cepat selesaikan!” tegur Menyok. Lindri pun menyelesaikan mengemasi Gethuk Lindri untuk diantarkan ke pemesan. Setidaknya ada 10 boks pesanan yang harus diantar. Sekarang Lindri pun mengerti, bahwa omongan Menyok yang ingin mengajaknya pergi adalah mengantar pesanan tersebut. Padahal sempat berfikir akan diajak jalan-jalan seperti yang dirasakan kakaknya sekarang dengan Pakde Pur. Waktu berangkat siang, Emak dan Lindri bersiap mengantarkan pesanan. Keduanya naik motor menyusuri jalanan sepanjang 2 kilometer dari rumah. Pemesan yang bernama Budhe Mining, ternyata melewati sekolah tempat Lindri mendaftar. Tak jauh dari situ, ada pertigaan dan melewati lima rumah. Budhe Mining, rumahnya bercat Ungu cerah. Selesai menyerahkan pesanan, Emak tampak antusias untuk menggantikan aku menyetir motor. “Emak aneh banget deh hari ini,” dengus Lindri masih belum paham apa yang akan terjadi. Lindri hanya pasrah ketika Menyok tetap memaksa menggantikannya menyetir. Keheranan Lindri bertambah ketika melewati sekolah tempat ia mendaftar, Menyok justru mengambil jalan berbelok. Padahal harusnya tetap lurus sampai ada pos ronda, baru belok kanan. Hendak Lindri protes ke Menyok, tapi ia urungkan. Menyok memberhentikan motornya tepat di depan sebuah Toko Mesin Jahit. rumah tangga. “Lindri…” teriak seseorang dari belakangnya dan ternyata itu Wati. “Ngapain kamu ke sini?” tanyanya. Lindri bingung mau jawab apa. Namun emaknya Wati yang bernama Budhe Arsih sudah lebih dulu menyela obrolan kita. “ Bu Menyok, jadi beli juga?” tanyanya. Lindri dan Wati menatap mereka secara bersamaan. “Wajahmu makin jelek Lin, kalau bingung begitu,” ujar Menyok. “Jadi Lindri belum dikasih tahu ya?” Budhe Arsih menatap Menyok curiga. “Dari kemarin dia murung terus, mana berani saya memberikan kabar ini. Takut merusak suasana hatinya yang galau,” jawab Menyok. Tanpa penjelasan lagi, Menyok dan Budhe Arsih jalan masuk ke samping toko perabotan tadi. Lindri dan Wati pun mengikuti mereka. Menyok dan Budhe Arsih kemudian masuk ke toko Mesin Jahit yang ternyata cukup besar ruangannya. Mereka sibuk memilih sendiri. “Jadi, kamu beli mesin jahit juga Lin?” kali ini Wati bicara. “Ayo kok malah bengong, kan kalian yang tahu mana yang pas buat kalian,” ujar Budhe Arsih. Sedangkan Menyok hanya senyum-senyum saja. Sepulang dari toko tersebut, Lindri masih tak percaya apa yang terjadi. Ia benar-benar dibelikan Mesin Jahit oleh Menyok. Namun, Mesin Jahit nya masih diantarkan nanti sore. Lindri pun penasaran dengan uang yang dipakai Emak untuk membelinya. Bukankah selama ini keluarga mereka hidup tidak berkecukupan? “Emak, punya uang darimana? Mesin tadi kan tidak murah?” tanya Lindri sambil membantunya mengelupas kulit singkong. “Pertanyaannya bukan itu. Tapi, sejak kapan pikiran negatifmu tentang Emak itu timbul? Alasan memberi nama kalian Gethuk Lindri adalah supaya menjadi kesatuan nama yang saling bahu membahu, merekat satu sama lain tanpa ada yang lebih hebat. Seperti kecintaan Emak terhadap jajanan Gethuk Lindri, tidak perlu menanyakan siapa yang paling enak antara Gethuk, parutan kelapa, dan gula? Tidak begitu. Tapi, bagaimana kita bisa menikmati makanan tersebut dengan kesatuan itu,” ujar Menyok. Lindri terkejut dengan jawaban Menyok. Ia menunduk malu, ia telah melakukan kesalahan besar. Lindri pun langsung merangkul Emak dan mengatakan maaf. “Kamu anak Emak,” ujarnya sambil mengusap rambut Lindri. Semua prasangka Lindri hilang sekejap seiring bukti perjuangan cinta Menyok yang berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya tanpa membandingkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b