Langsung ke konten utama

Cinta Yang Menyakitkan (Part 3)

Ujian Semester ganjil telah usai. Artinya jadwal libur panjang semester mulai berlangsung. Sudah menjadi hal yang rutin bagi Amir untuk pulang kampung. Namun libur kali ini suasananya berbeda. Ia tak hanya pulang untuk melepas rindu kepada kedua orangtuanya. Ia akan menyelesaikan persoalan hati yang belum usai. Sekarang, Amir terlihat memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas ransel. Sesuai tiket kereta yang sudah dipesan jauh hari sebelumnya, Amir dijadwalkan pulang pada 25 Januari 2010 pukul 15:45 wib. Tak ada barang khusus yang disiapkan, kecuali pakaian ganti. Namun belum selesai, suara pintu diketuk. “Mir, masakannya sudah siap. Makan dulu gih,” suara Santi dari luar kamar. “Iya, Kak.” Jawab Amir. Melangkah menuruni tangga, Amir kaget karena secara mendadak lemparan bola karet mengenai perutnya. Ia langsung menyadari terjadinya kehebohan di lantai bawah oleh aktivitas kedua ponakannya yang sedang bermain. Ia lalu bergegas membantu kakaknya menghidangkan makanan. “Tolong bantu ini,” ujar Santi sambil tergopoh mengangkat kuah yang sudah mendidih, irisan cabai dan bawang masih berada di telenan. “Htai-hati kak!” ujar Amir lalu menggantikan peran tadi. “Tolong masukkan kuahnya ke mangkok besar yang ada di lemari nomor 3,” sambutnya menunjuk lemari dapur yang terletak di samping kompor. “Sudah siap pulang?” kulik Santi. “Biar semuanya jadi lebih baik, insya Allah siap,” ujar Amir disambut tepukan Santi dibahunya. Selanjutnya Santi melangkah ke ruang tengah untuk memanggil kedua anaknya supaya lekas sarapan. Hari libur memang susah untuk mengajak keduanya sarapan pagi. Amir pun merayu kedua ponakannya untuk mau makan dan berjanji akan menyuapi mereka. Tak butuh waktu lama, mereka pun sudah berkumpul di meja makan dan siap menyantap soto masakan kakak ipar Amir tersebut. sedangkan Farid kakak kandungnya sedang berada di Makasar menghadiri seminar politik kebangsaan tempatnya bekerja. ***** Bayangan objek sudah mengarah ke timur, Amir menarik kopernya menuju pintu masuk Stasiun Pasar Senen. Tak seperti penumpang lainnya, Amir hanya membawa tas ransel ukuran sedang, isinya juga hanya lima pasang pakaian ganti. Melirik ke sebelahnya, terlihat seorang ibu paruh baya menduduki karung berwarna putih dengan membawa tas berwarna cokelat tengah menyantap nasi bungkus. Peron tempat menunggu kereta memang tidak tersedia banyak tempat duduk. Jumlah penumpang yang membludak tidak terfasilitasi dengan penuh. Terpapar beberapa perempuan menggendong anaknya berdiri. Anak-anak berlarian kecil juga mewarnai pemandangan di dalam stasiun. Waktu itu, penjual makanan masih berkeliaran di dalam stasiun, sampah tidak terkendali. Orang seenaknya saja membuang botol bekas minum tergeletak di lantai Peron. Kedatangan kereta Kertajaya diumumkan, penumpang mulai merangsek masuk menuju kursi yang sudah tertera di tiket kereta. Suasana berdesakan tidak terhindarkan ketika ada beberapa orang yang membawa barang di luar kapasitas dirinya. Jasa panggul menjadi warna tersendiri bagi penumpang. Rebutan kursi juga masih terjadi, meskipun sudah dijelaskan sesuai urutan A, B, C, D, atau E. Sebagian yang lain juga tampak acuh ketika posisi yang seharusnya diisi dirinya telah ditempati yang lain, asalkan masih sesuai dengan nomor bangku yang tertulis. Sekitar pukul 18:00 wib, perjalanan sudah sampai di Cirebon. Warna langit berubah temaran. Kaki-kaki pemuda desa saling berebut bola. Hamparan sawah dan pohon yang menjulang tinggi menyapa kilat penumpang kereta. Amir tengah menikmati alunan musik yang terbungkus di earphone miliknya. Pemandangan serupa juga terjadi pada penumpang lainnya. Sedangkan penumpang baru tampak berbondong masuk ke gerbong dan mengisi bangku yang tadi masih kosong. Satu penumpang duduk di depannya. Amir memperhatikan gelagatnya, perempuan tersebut terlihat mengambil nafas dan memejamkan mata yang dilapisi kacamata tersebut. Detik selanjutnya, perempuan tersebut menggerakkan bibirnya tanpa terdengar suaranya. Tangannya kemudian melakukan gerakan yang dikenali Amir. “Sungguh religius,” batin Amir. Langit abu-abu telah terbungkus oleh rona merah yang biasa orang sebut mega. Pertanda pergantian waktu dalam masa transisi, malam segera datang menyapa ratusan penumpang Kertajaya. Beradu keindahan dengan sawah-sawah dan perumahan warga yang sudah terlihat remang, bulan purnama menantang lampu jalan yang sesekali muncul dalam kecepatan laju kereta. Perjalanan memberi sensasi sebuah pemandangan perairan yang berlilin cahaya lampu, tanda penumpang segera memasuki Stasiun Semarang. Tidur lelap penumpang kembali terusik oleh hadirnya penumpang baru dari Semarang menuju Surabaya. Beberapa diantara mereka yang terlelap tidak menyadari kehadiran penghuni kursi di sampingnya. Mata Amir pelan-pelan dibuka seiring bunyi getarang ponsel di saku celananya. Ia membenarkan posisi duduknya dan mulai membuka isi pesan yang mampir ke layar ponsel. “Mir, sampean jadi pulang sekarang toh? Kondisi Lala semakin melemah drastis,” bunyi pesan Farikha, salah satu temannya. Amir pun langsung membalas pesan tersebut. Matanya memanas, ia berharap tidak datang sebagai orang yang terlambat. Dadanya nyeri ketika membayangkan hal buruk terjadi pada Lala. Air mata sempat membasahi pipinya, namun ia sadar berada di tempat umum. Segera ia mengambil tissue untuk menghapus dukanya. Dalam pikiran yang gamang, ia pun pelan-pelan tertidur. Ketika mata kembali terbuka, ia melihat ke jendela, hari masih petang meskipun udara pagi hari sudah menusuk ubun-ubunnya. Kaca yang terbuka membuat hembusan angin bebas masuk membelah kesunyian penumpang. Beberapa penjual minuman hangat silih berganti menawarinya untuk mencicipi kopi hangat racikannya. Tapi Amir sedang tidak selera untuk hal-hal sepele, pikirannya dipenuhi kegelisaan atas kondisi Lala yang semakin lemah. Akankah ia datang pada waktu yang tepat? Tak henti dia berdoa sama Tuhan untuk semua langkah yang terbaik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b