Langsung ke konten utama

Cinta Yang Menyakitkan (Part 5)

Mendung menggantung di langit-langit Makam. Suasana duka masih menyelimuti keluarga Lala. Tanah kuburan baru saja menutupi jasat kembang desa itu. Bunga kamboja ikut berguguran mengirim rasa empati yang mendalam atas terpisahnya dua insan yang saling mencintai itu. Burung Gagak tak berniat lagi untuk bersiul, kehadirannya sudah cukup bukti bahwa duka kehilangan itu sangat nyata. Kepergian Lala diantarkan oleh orang sekampung. Menurut tradisi di kampung tersebut juga ditanamkan pohon pisang pada tanah makam. Hal itu dilakukan mengingat gadis tersebut belum menikah. Tak seperti biasanya, pemakaman Lala menjadi sangat istimewa dengan bumbu kisah cinta yang memilukan. Banyak pemuda desa yang mengagumi dan berniat untuk menjadi pendampingnya. Bahkan tunangannya merelakan diri pulang dari Malaysia demi ingin melihat jasad terakhir orang yang seharusnya ia nikahi nanti. Bapaknya pingsan berkali-kali di pemakamam, ketika sadar ia pun tak bergeming sama sekali. Prosesi mengadzankan jenazah pun diwakilkan ke pak ustad. Adiknya Lala yang duduk di bangku SMA mencoba menguatkan bapaknya hampir tak berdaya untuk berjalan. Ia mencoba lebih tegar demi keluarganya bisa menatap hidup barunya. Ia juga sedih kehilangan kakaknya, tetapi kepergian tetaplah kepergian. Dalam kampung itu, sesuai ajaran Islam yang diyakini. Perempuan tidak ikut mengantarkan jenazah ke pemakamam. Sehingga semua isinya adalah lelaki dan mereka tidak memakai baju hitam melainkan baju putih. Berbeda dengan di kota atau tempat lain yang mendapati kabar duka mengenakan baju hitam. Justru di kampung tersebut, warna putih sebagai pengingat bahwa yang hidup juga akan merasakan hal sama dibungkus dengan kain putih yang disebut kain kafan. Amir ikut menebarkan bunga yang disiapkan dari rumah. Tangannya mengusap lembut papan nama Lala. Matanya sayu dan wajahnya sembab. Air matanya sudah terkuras habis di rumah sakit. Kesedihan yang membanjiri hatinya tak pernah surut. Ia seakan kehilangan sebagian jiwanya siang itu. Amir mulai mengutuki dirinya sendiri kenapa waktu itu pergi begitu saja meninggalkan Lamongan dan merantau ke Jakarta. ini semua salahnya. Usai Moden (tokoh agama yang bertugas mengurusi ikhwal kematian dan kegiatan umat) membacakan talqin, lokasi makam sudah bersih dari manusia. Amir yang masih berat hati meninggalkan tempat tersebut dipaksa meninggalkan segera oleh kerabat dekat. Kehadirannya disitu justru akan mempersulit jalan selanjutnya bagi Lala. Sebentar lagi, tepatnya orang-orang meninggalkan gerbang pemakamam akan datang dua malaikat Munkar dan Nakir yang bertugas memberi pertanyaan seputar ketauhidan pada sang jenazah. ***** Suasana rumah tak jauh berbeda dari pemakaman, Farikha berkali-kali menghibur Bude Widya. “Sabaaar nggeh bude, ini semua sudah kehendak Allah” ujarnya. Bude Widya masih saja melamun dan sesekali menyebut nama anaknya. Siapa saja yang mengalami nasib seperti itu akan sedih, apalagi Lala adalah anak kebanggaan dan kembang desa yang menjadi rebutan siapa pun. Dulu ia dengan bangga menawarkan anaknya pada lelaki yang siap menafkahi lahir batin untuk anaknya dan keluarga. Hanya lelaki pilihanlah yang akan ia pilih. Sayangnya, justru lelaki yang sangat dicintai Lala adalah Amir. Sosok lelaki sederhana dari keluarga yang kurang berada. Ketika mengetahui itu ia justru memilih diam dan menganggap anaknya sedang menjalani cinta monyet. Setelah dipikir dan mencari jejak siapa itu Amir, dirinya mengetahui keistimewaan lelaki itu. Amir dibesarkan dalam keluarga ningrat, cucu dari penguasa kampung pada zaman itu. Kejayaan kakeknya dalam memimpin desanya mampu menyihir sampai tingkat kecamatan. Ibunya jelas-jelas menurunkan darah biru untuknya. Sedangkan bapaknya merupakan anak dari keluarga miskin yang memiliki keimanan kuat pada Tuhan. Keluarga bapaknya bagian dari kumpulan orang-orang santri. Maka bisa diperkirakan perjodohan keluarga besar itu adalah bentuk islah antara golongan abangan dan golongan putih. Hasilnya menakjubkan, tidak ada lagi pemisahan antara golongan abangan dan golongan putih hingga sekarang. Rombongan warga yang pulang dari pemakamam sudah terlihat. Amir tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke kediaman duka. Bude Widya yang melihat salah satu gerombolan itu adalah Amir, ia teringat salah satu pesan Lala sebelum meninggal. Ia harus menyampaikan pesan itu supaya ia bisa menebus rasa bersalahnya. Ia pun beringsut ke kamar Lala dan membuka laci. “Bude, istirahat saja dulu,” suara Fariha tak digubrisnya. “Nak Amir, kesini sebentar,” suara perempuan itu lemah. “Iya Bude, wonten nopo?” Amir menjawab sopan. “Ini ada pesan untuk sampeyan baca, Bude enggak tahu isinya. Siapa tahu ada hal penting yang bisa melegakan sampeyan,” jelasnya. Amir menerima surat tersebut dengan perasaan tidak menentu. Terlihat dari sampulnya, surat itu sudah lama ditulis. Amir membaca surat itu disaksikan oleh Fariha dan bude Widya di kamar Lala. Mereka bertiga khusyu menyerap apa pun yang terkandung di dalamnya. Terkadang butiran bening tak mampu mereka bendung. To: Amir Mungkin surat ini terbaca setelah raga ini tak lagi menyatu dengan nyawa. Setelah semua tak mungkin lagi mampu dijalani. Sebelumnya aku minta maaf telah mengungkapkan semuanya disaat semua telah berakhir. Amir,kamu orang yang ku kenal begitu baik, humoris, dan penuh dengan kepedulian. Kau sahabat setiaku. Orang yang tak pernah lelah menunggu cintaku. Orang yang selalu tulus membantuku. Begitu banyak kebaikan yang telah engkau berikan padaku.Akan tetapi aku tak sedikitpun mampu membalasnya. Sejujurnya selama ini aku juga mencintaimu. Tapi aku takut tak siap menjalani hubungan denganmu yang setiap harinya dikelilingi oleh banyak teman perempuan. Aku takut gara-gara aku mengekangmu menjadikanmu akan meninggalkan mereka semua. Sehingga hidupmu jadi terpenjara oleh hubungan ini. Akhirnya ku putuskan untuk memendam rasa ini dan mencoba membuangnya. Tapi aku gagal, aku telah rapuh hingga terserang penyakit yang sekarang telah aku derita dan mungkin akan menghantarkanku ke hadapan Tuhan. Kamu yang tak pernah berhenti mencintaiku membuatku makin terasa bersalah telah mengabaikan perasaan ini. Aku tahu aku yang bersalah, ku pikir ku bisa tanpamu, nyatanya aku tak sekuat itu. Ku mohon kau mau memaafkan sikapku ini. Aku yakin kau akan mendapatkan yang lebih baik dari aku. Kau sekarang telah hijrah ke Jakarta. Disana banyak perempuan yang lebih cantik dari aku. Biarlah cinta ini terkubur bersama waktu yang akan menjemputku. Aku percaya kau tetap mencintaiku. Tapi jangan kau sia-siakan hidup hanya untuk menggengam cinta yang mungkin tak bisa disatukan lagi. Salam kasih untukmu sayang, I Love U. From : Lala Kehadiran Lala sangat terasa di kamar itu. Tiba-tiba angin berhenti berhembus. Bude Widya semakin sesenggukan. Bude Widya semakin merasa bersalah. Apabila cinta itu diketahuinya jauh-jauh hari maka Lala tidak sakit. Amir mungkin tidak menerima tawaran untuk kuliah di Jakarta. Tapi semuanya sudah terjadi, waktu membuktikan sebuah kehilangan adalah pelajaran penting bagi masing-masing. Arti sebuah perjuangan, rasa memiliki, dan juga kasih sayang tidak akan ada artinya kalau waktu sudah menggariskan yang demikian. Dalam hidup ini, bagaimana kita selalu mensyukuri apa pun yang Tuhan berikan pada kita. Bersyukur tidak hanya ucapan bibir tetapi menjalaninya dengan sebaik mungkin sambil mengupayakan hal yang lebih baik lagi datang. Apabila pusara menjadi pelabuhan akhir, maka ketika itulah kita mampu meninggalkan semuanya dengan lapang. Cinta memang kadang menyakitkan, tapi bukan rasa sakit itu yang semestinya dikenang, melainkan ada dua hati yang diam-diam saling mencintai. Oh cinta….. TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b