Langsung ke konten utama

Memeluk Dua Jiwa (Part 1)

Bugh... tubuh Fandy terlempar menabrak tong sampah yang berdiri tegak di trotoar jalan. Ia terusir keluar dari kegaduhan para demonstran yang memenuhi depan gerbang Kementerian. Belum sempat menata diri, mendadak ada teriakan keras dari salah satu kerumunan. “Awas!” teriakan itu terdengar kencang. Fandy spontan menghindari hantaman kerikil yang hampir saja mengenai tubuhnya. Namun situasinya tak lebih baik, karena ia justru menabrak, jatuh, dan menindihnya. “Aduh maaf ya…” Fandy lekas bangkit dan berusaha menolong orang yang ditindihnya. Sadar pada sosok yang sedang ia tolong, Fandy kaget. “Kamu?....” Fandy masih tak percaya apa yang dilihat. Sama halnya dengan lelaki yang masih berusaha menguasai keadaan. Sayangnya, sebelum lelaki tersebut berhasil berdiri dengan posisi normal, Fandy memutuskan cepat pergi. Lelaki itu hendak mengejar Fandy. Namun sayangnya, ia dipanggil seseorang untuk segera kembali ke ruangan. Sebuah ketidakberuntungan terjadi. Fandy yang tadinya berlari, mulai berjalan normal. Ia merasa kecewa, lelaki itu tak mengejarnya. Hal yang tidak ia ketahui semakin membuat kesalahpahaman bertambah. Pikiran Fandy campur aduk. Ia tak bisa menjelaskan apakah marah, sedih, kecewa, atau justru bahagia atas pertemuan yang tidak sengaja tadi. Semua seperti saling berebut untuk menang di hatinya. Hingga ia merasakan pusing di kepala. Lupa bahwa ia sedang bertugas liputan demonstrasi. Bahkan satu pun narasumber belum sempat ia wawancarai. Ia mempertimbangkan untuk kembali. Sayangnya, hati kecil bilang supaya pulang saja. “Aduh… sial ini!” Fandy kesal sendiri. Ia tampaknya harus mencari alasan pada redakturnya bahwa ada kendala teknis di lapangan. Bukan hal yang baik dilakukan, hanya saja tak mungkin ia kembali ke lokasi demo apabila harus ketemu lelaki ditemuinya tadi. Alasan mendadak sakit tampaknya cukup membantu. Maka dengan terpaksa ia berbohong. Namun ia sudah mengatur supaya kesalahan dirinya tak fatal. Segera setelah itu ia memberikan rekomendasi salah satu teman kerjaya yang kebetulan berada di dekat lokasi, Sehingga pekerjaannya bisa dibantu oleh rekan kerjanya. Sampai di kosan, ia terbaring gusar. Pikirannya masih berkutat pada sosok yang baru saja ditemuinya tanpa sengaja. Padahal ia sudah berusaha mengalihkan dengan mendengarkan musik. Tetap saja ada yang menghantuinya. Ia coba menghubungi kekasihnya, Kristin. Namun nasibnya malang. Tak ada jawaban dari kekasihnya tersebut. Ia lalu menuliskan sebuah pesan: “Cobalah istirahat sejenak untuk makan siang!” dikirimlah pesan itu ke Kristin. Jarak 15 menit kemudian, baru direspon oleh Kristin. “Harusnya aku yang mengingatkan soal ini. Maaf ya Fan, baru buka pesan. Tadi lagi milih buku referensi,” balasnya. Kristin tak menunggu balasan pesan. Ia cukup tahu kesibukan kekasihnya ketika sedang liputan. Padahal Fandy justru tertidur. Tiga jam kemudian Fandy baru terbangun. Ia merasakan tubuhnya sakit semua. Kepalanya jadi pusing. Ia coba meraih ponsel yang ada di sampingnya. Dilihat ada pesan dari Kristin. “Makasih sayang” begitulah balasan singkatnya. Ia belum punya keberanian untuk menceritakan apa yang baru saja dialami. Melihat jam di ponsel, sudah jadwalnya untuk mandi. Tapi tubuhnya masih enggan bergerak. Ia lalu memainkan fitur di ponselnya. Tak ada yang menarik dan berhasil mengalihkan pikirannya terhadap pertemuan dengan lelaki itu. “Fandy!! Sudahlah, buang semua pikiran tentang siapa pun di masa lalu!” ia teriak untuk diri sendiri. Untung saja tetangga kos masih pada belum pulang kerja. Sehingga aksinya tadi tak mengganggu siapa pun. Ia pun kembali memejamkan mata. Dirasa sebentar, namun ia telah terlelap lagi selama satu jam setengah. Ia melewatkan waktu Salat Maghrib. Segera ia mandi. Usai mandi, ponselnya berbunyi. “Hallo sayang, kamu sudah pulang liputan?” suara Kristin. “Hah?” Fandy hampir saja lupa bahwa kekasihnya tidak mengetahui kalau dirinya pulang lebih awal. “Eh, iya. Ini mau pulang.” Jawabnya bohong. “Capek gak?” timpal Kristin. Duh, pasti Kristin mau memintanya datang ke rumah. Batin Fandy. “Mama lagi masak banyak ini. Gak tahu tuh, lagi rajin masak-masak. Kamu datang ke sini ya?” ucap Kristin. Nah kan, tebakan Fandy benar. Tentu saja Fandy tak ingin mengecewakan kekasihnya. Apalagi ini berhubungan dengan calon mertua. Ia pun mengiyakan, tetapi izin pulang ke kosan dulu untuk mandi dan ganti pakaian. “Gak malah capek ya? Kan kalau langsung ke sini lebih dekat,” Kristin heran dengan pilihan Fandy. Tapi belum sempat dijawab Fandy, terdengar Kristin diajak bicara sama mamannya. Tentu saja ia segera mengakhiri obrolan dengan Fandy. “Ya sudah. Ditunggu ya sayang,” tutup Kristin. Huh.. Fandy merasa lega. Walaupun ia merasa berdosa karena berbohong pada kekasihnya. “Ini semua gara-gara dia,” Fandy lagi-lagi ngomong sendiri. Ia lalu mencari pakaian yang pas di lemari untuk bertamu ke rumah Kristin. Ia semprotkan parfum yang dibelikan olehnya. Lalu segera keluar kamar menuju motor di teras kontrakan. “Wah mau ngapel nih Fan?” Sapa Ilham tetangganya yang bekerja di Alfamart. “Iyalah. Memangnya elo, pulang kerja tidur doang,” candanya. “Sial elo!” timpal Ilham. “Pulang bawa makanan ya,” lanjutnya. “Beli sendiri. Bentar lagi tukang nasgor ada di gang depan kan?” ledek Fandy. Lalu mereka kompak tertawa. Fandy memang anak yang terkenal ramah. Ia bisa ngobrol dengan siapa saja. Itulah modal yang dimilikinya sehingga bisa diterima di salah satu media berita bergengsi di kota Jakarta. Tiga puluh menit kemudian Fandy sudah sampai di rumah Kristin. Ia disambut oleh om Brata, papanya Kristin yang kebetulan sedang bermain-main dengan burung kesayangannya. “Sudah bisa ngomong om burungnya?” goda Fandy. “Kamu ini! mana ada dia bisa ngomong. Ayo masuk!” ajaknya. “Ma, ini calon menantumu sudah datang. Mana ini kok belum siap di meja?” teriak om Brata ke istrinya. “Papa mah gak mau bantuin,” cerca Kristin yang sedang membawa kuah sayur ke meja. “Bukan papamu kalau dia sudi berada di dapur. Ajak ngobrol di depan dulu si Fandy nya.” Ujar tante Ratna, istri om Brata. “Perlu saya bantu tante?” Fandy malah menawarkan bantuan. “Ah gak perlu. Ini urusan perempuan. Kamu bisa lepasin burung di sangkar itu saja. Biar om mu fokusnya ke tante seorang.” Tante Ratna malah ngajak bercanda. Begitulah keakraban Fandy dengan keluarga Kristin. Mereka kenal sejak Fandy kuliah semester tiga dan Kristin baru menjalani ospek. Lalu hubungan mereka diresmikan sebagai sepasang kekasih ketika Fandy akan wisuda. Acara makan malam berjalan tanpa ada gangguan apa pun. Fandy pun langsung pamit mengingat besok harus kembali bekerja dari pagi. “Fan. Ada hal yang menganggumu?” ucap Kristin yang menemani Fandy sampai di motor. “Enggak kok.” Jawa Fandy cepat. “Yakin?” Kristin coba mengulik lagi. “Percaya deh. Aku gak apa-apa,” jawab Fandy meyakinkan ke Kristin. Tampaknya sang kekasih cukup peka atas apa yang menganggunya. Namun, ia belum punya keberanian membuka cerita tentang masa lalu yang berkaitan juga dengan dimulainya kisah asmara keduanya. “Baiklah. Jangan pernah jadiin beban apa pun sendirian ya. Kan kamu punya aku,” ucap Kristin yang membuat Fandy tersentuh. Ia pun mengenggam tangan kekasihnya dan mengulum senyum. Dalam hati Fandy. Ia berharap tak ada kelanjutan apa pun atas kejadian tadi siang. Setidaknya dia tahu tempat yang harus dihindarinya. Akankah semua seperti yang Fandy pikirkan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b