Tiga pekan berlalu. Kegiatan Fandy tak berubah. Setiap hari ia disibukkan dengan liputan peristiwa terkini. Sesekali ia menemani Kristin ke toko buku untuk menyelesaikan skripsi yang sedang dijalani kekasihnya itu. Pikirannya tentang sosok lelaki yang pernah ditemuinya perlahan hilang. Apalagi kesibukan yang melelahkan fisik dan pikiran, tentu tak lagi ia gunakan untuk memikirkan seseorang, kecuali Kristin.
Hari ini ia kembali dibuat gusar. Hal itu disebabkan sang redaktur mengagendakan dirinya untuk mewawancarai seorang pejabat di kementerian yang sempat terjadi demo besar. Bukan hal yang mustahil bagi Fandy untuk bertemu dengan lelaki itu. Tapi ia sempat bernafas lega ketika nomor yang diberikan oleh sang redaktur bukan sosok yang ingin dihindari. Fandy pun berfikir, seandainya lelaki itu bekerja di instansi tersebut, bukan di posisi yang terkait dengan dirinya.
Pukul Sembilan pagi, Fandy sudah tiba di kantor kementerian yang mengurusi tentang pangan dan pertanian. Ia dan tim mendaftarkan diri ke resepsionis untuk mengonfirmasi janji wawancara dengan salah seorang pejabat terkait. Tak lama menuliskan daftar nama dan keperluan, Fandy diminta untuk menunggu di kursi lobi kantor. Sambil menunggu, dia mengirimkan pesan ke nomor yang semalam sudah konfirmasi mengawal wawancara yang ingin dia lakukan. Sayangnya, belum juga dapat respon.
Tak ingin ada waktu terbuang, ia kembali membuka catatan kecil yang disiapkan supaya pembicaraannya tetap fokus pada isu yang terkini. Ia juga tak lupa memasukkan daftar pertanyaan yang diminta oleh sang redaktur. Ada beberapa poin yang menjadi perhatian media tempat Fandy bekerja. Salah satunya tentang keputusan pemerintah untuk melakukan impor pangan di tengah panen raya di berbagai tempat.
Tak lama Fandy duduk, salah seorang resepsionis mengabari bahwa narasumber yang ingin ditemuinya telat datang. Fandy harus menunggu setidaknya setengah jam lagi. Cukup menjenuhkan pekerjaan menunggu, tapi Fandy sudah terbiasa menghadapi beberapa pejabat yang tidak menghargai waktu. Ia memutuskan untuk kembali menggali informasi terbaru mengenai isu pangan.
Tempat yang berbeda, terlihat Kristin menyusuri koridor kampus dengan langkah cepat. Hari ini dia memiliki 3 jadwal mata kuliah. Artinya, dia harus mendekam di kelas sampai jam 4 sore nanti. Dalam perjalanan, ia sempatkan diri untuk mengamati kejadian sekitar. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah papan pengumuman yang ramai dikerubungi mahasiswa. Dia teringat bahwa hari ini adalah pengumuman bagi penerima beasiswa kampus. Ia yang ikut mendaftar tentu gembira ketika melihat namanya masuk dalam daftar penerima beasiswa riset. Artinya skripsinya mendapat bantuan dana untuk hasil yang lebih sempurna. Namun ia tak bisa melampiaskan kebahagiaan yang berlebih, ia harus segera masuk kelas.
Jam pertama ia menghadapi dosen yang terkenal killer. Apalagi dia mendapat giliran untuk mempresentasikan tentang “Hubungan diplomatik Barat dan Politik Ekonomi negara-negara Maju”. Sebagai mahasiswi Hubungan Internasional, ia harus memahami bidang studinya. Untung saja dosen datang setelah Kristin telah masuk ke ruangan.
Sebelum dosen membuka kelas, Kristin menyempatkan membuka ponselnya yang sedari tadi berdering. Ternyata ada tiga panggilan tak terjawab dari lelakinya. Lalu ada satu pesan masuk yang segera dibukanya.
FANDY; Kamu hari ini ada presentasi kan? Anggap saja sedang mendongeng di hadapan anak taman kanak-kanak. :D
Kristin tertawa geli dengan pesan yang dibacanya. Aneh-aneh saja, batinnya. Belum sempat membalas, dosen sudah membuka kelas dan mendadak kelas sunyi. Penghuni kelas langsung menghentikan aktivitas apa pun, bahkan menggerakkan pena pun segan.
Waktu berjalan lambat sekali. Kristin dibrondong pertanyaan yang menyudutkan analisanya. Sang dosen menganggap presentasi Kristin tidak menyuguhkan realitas yang sesungguhnya. Sedangkan Kristin menganggap bahwa sebuah kajian ilmu tetap perlu menjaga marwah pengetahuan yang selalu mengajarkan hal baik meskipun prakteknya sering diselewengkan oleh pelaku. Hingga akhirnya Kristin menyampaikan sebuah teori yang membuat sang dosen harus mengakui kecerdasan mahasiswinya.
Kembali ke tempat Fandy, ternyata ia harus menunggu lebih lama lagi dengan alasan ada tamu penting yang tidak bisa ditunda. Lalu ia yang harus mengalah. Ia sempat mengabarkan ke redaktur dan keputusannya tetap menunggu karena berita itu akan menjadi headline di medianya. Ketidakpastian juga diperparah bahwa nomor kontak yang dihubungi malah melempar tanggungjawab ke orang lain. Ia sudah malas untuk menghubungi nomor baru yang diberikan padanya.
Pesan masuk dari Kristin;
“Sayang, kamu semangat ya wawancaranya. Kabari kalau sudah selesai.” Tulisnya.
“Selesai apaan, ini saja belum mulai,” balas Fandy.
“Wah, kamu salah jadwal kah?” timpal Kristin.
“Pejabatnya tuh yang lupa jadwal,” sungut Fandy.
“Duh kasian pacarku. Sabar ya…” kali ini Kristin mengirimkan pesan suara.
Tentu hal tersebut membuat Fandy jadi bersemangat.
Setengah jam berlalu. Fandy sudah mulai bosan. Ia menyandarkan kepalanya ke punggung sofa. Hingga dia tak menyadari bahwa ada seorang lelaki dengan setelan jas hitam rapi mendekat ke arahnya.
“Maaf ini dari media Transika?” ucapnya pada sang kameramen. Fandy yang memunggungi lelaki itu segera berbalik.
Hah????
Fandy langsung kaget. Hal yang sama juga terjadi pada lelaki itu. Ia tak menyangka bahwa akan bertemu kembali dengan orang yang selama ini dicari.
Betul, dia adalah lelaki yang kemarin tanpa sengaja tertabrak tubuh Fandy. Dia memang tidak terdaftar langsung sebagai salah satu pegawai Humas yang menghubungkan wartawan dengan pejabat kementerian. Akan tetapi, dia ditunjuk oleh Menteri terkait secara langsung untuk mengawal segala isu dan pemberitaan di kementerian tersebut.
Suasana canggung tak bisa dihindarkan. Tidak mungkin Fandy beralasan lagi bahwa perutnya sakit atau mengalami sakit kepala. Untungnya kameramen yang bersama dirinya tak begitu memperhatikan gerak geriknya yang mulai salah tingkah.
Hal yang sama juga terjadi pada lelaki itu. Bedanya, ia sangat bahagia akhirnya bertemu kembali. Hal yang dikhawatirkan ternyata tidak terjadi. Namun ia cukup hati-hati untuk tidak lagi membuat kesalahan yang sama. Ia akhirnya memutuskan untuk tetap professional. Ia berharap situasinya tak terlalu formal nantinya, sehingga ia berkesempatan ngobrol empat mata dengan Fandy. Teringat dengan tugasnya menemui tim media tersebut, ia pun lantas berbicara.
“Maaf, saya diperintahkan untuk mengajak mas sekalian untuk menunggu di ruangan yang disediakan,” ucapnya.
Fandy melirik nama yang tertera di dada lelaki itu. Ia memastikan bahwa ia tidak bertemu dengan orang yang salah.
Dia adalah Elang Angkasa.
Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,...
Komentar
Posting Komentar