Benar kata orang, melalui
pernikahan kita justru mengenal lebih banyak hal tentang pasangan kita. Ku
mengira sudah mengenal Billy secara dalam, tapi justru itu baru luarnya saja.
Ada hal-hal kecil yang baru aku ketahui pasca menikah. Hal yang tak pernah ku
pikirkan, ternyata Billy setiap bangun tidur pasti bergegas ke balkon, berdiam
sejenak untuk menikmati udara pagi. Hal yang ku kagumi adalah, ia berucap
syukur pada Tuhan atas nikmat bangun tidur. Terkadang aku tertawa geli ketika
ia masih belum terbiasa menghilangkan gerakan tangan berbentuk Salib. Aku
paham, tidak mudah bagi siapa pun merubah kebiasaan yang sudah dianut sejak
kecil. Selepas itu Billy kemudian berucap istighfar.
“Apa indahnya kamu
berdiri di sini?” aku menghampiri Billy yang terdiam di balkon.
“An, bangun tidur adalah
anugerah yang setiap hari perlu disyukuri. Terlihatnya sama saja, tapi setiap
aku berdiam diri, posisi awan tak pernah sama. Tidak setiap pagi pun ada burung
berkicau dan kupu-kupu terbang. Kamu tahu, setiap hari pun kita menghadapi
masalah yang berbeda. Ini momenku untuk merenungkan semua dan bersyukur atas
hidup yang dikasih Tuhan,” ujarnya.
Aku menyimaknya dengan
penuh haru. Ia begitu mempesona dengan ucapannya. Sayangnya, aku tak bisa
setiap hari menemani dia di balkon. Lebih seringnya aku meninggalkan Billy ke
luar kota karena pekerjaan. Billy pun sebenarnya tak selalu ada di balkon rumah
kita setiap pagi, pekerjaan dia juga sering membawanya ke luar kota. Hanya saja
kebiasaan Billy tetap bisa dilakukan di hotel tempatnya menginap. Billy pernah
mengirimkan fotonya bersantai di balkon.
Memiliki Billy adalah
berkah. Aku yang hidup dalam ambisi besar,terkadang diimbangi dengan sikap
Billy yang santai, lebih ingin menikmati karunia yang diterima hari ini. Sehingga
ada satu momen aku harus lebih santai menggapai apa yang aku mau, rumah megah
misalnya, Billy tak menolak untuk memiliki rumah megah. Dia hanya ingin aku
berfikir manfaat apa yang bisa didapatkan dengan memiliki rumah megah. Hal
itulah yang akhirnya membuat kami menampung kerabat kita yang membutuhkan
tempat singgah sementara dalam membangun karir atau pendidikan. Keputusan itu
sangat menyenangkan, karena rumah kami yang megah terwujud bisa dinikmati
kerabat aku dan Billy. Setidaknya di rumah ada 7 sepupu dan ponakan yang
tinggal. Rata-rata mereka masih kuliah. Billy tak pernah keberatan ketika uang
kami habis untuk keperluan mereka. Kadang membantu uang kuliah, atau uang jajan
yang terkadang telat dikirimkan orang tua mereka.
“An, kamu nangis?” Billy
mendekap tubuhku.
“Terima kasih ya,” ucapku
padanya.
Aku menangis karena haru.
Nina, salah satu sepupuku bersedih karena batas akhir pembayaran uang semester
tinggal besok, sedangkan orangtuanya belum bisa mengirimkan uang. Hari ini dia
berniat akan mengajukan cuti kuliah. Sialnya, kebutuhanku lagi
banyak-banyaknya. Belum ada transferan uang dari klien yang meminta jasaku. Aku
tahu Billy pun uangnya sedang menipis, bahkan terhitung tidak cukup sampai
akhir bulan. Tapi dia bersedia membantu sepupuku.
“Kenapa kita khawatir
besok tidak makan, kalau sore nanti pun Allah dengan mudah meminta kita
kembali,” ucapnya.
Pemahaman agama Billy
berkembang begitu cepat. Namun ia tak pernah tampil seperti orang-orang yang
‘mabuk agama’ dengan mudah sekali menasehati orang yang bahkan baru ditemuinya.
Billy lebih sibuk menambah ilmu dibandingkan merubah penampilan tertentu.
Bahkan untuk satu hal yang selama ini belum bisa aku lakukan; memakai kerudung,
Billy tak pernah berkomentar. Hanya saja aku teringat satu momen, ketika aku
dan dia dalam proyek komunitas, aku tidak dijadwalkan mengunjungi sebuah
pesantren. Namun panitia mengatakan bahwa tokoh agama setempat ingin bertemu
dengan aku. Maka taka da pilihan selain datang untuk menghormati undangannya.
Billy paham apa yang aku gelisahkan.
“Kamu tenang An. Suamimu
ini siaga kok,” ucapnya sambil membentangkan kain berbahan tenun yang pas
digunakan sebagai penutup kepala.
Aku cukup terkejut dengan
tindakannya. Namun apa yang dilakukan itu berbuah manis. Sesampainya di
pesantren, sang ulama sampai mengomentari kerudung yang ku kenakan.
“Bu, lihatlah. Jenengan
tidak salah beli, nak Anna saja pakai loh,” ucap beliau ke istrinya, bu nyai
Aminah.
Berawal dari itulah Kiyai
Badrun menjadi lebih cair dari sebelumnya. Dia menanyakan banyak hal tentang
program yang sedang ku jalankan, termasuk pendidikan untuk kelompok santri. Ke
depan, kami akan saling bekerjasama untuk mengenalkan Islam yang moderat di
Indonesia, tak terkecuali kesempatan sampai ke mancanegara melalui jaringan
yang dimiliki Billy.
Begitulah Billy yang
selalu membuatku candu. Dia menjadi lelaki pertama yang kini mendukung setiap
langkahku. Untuk banyak hal, dia tidak hanya menjadi pembela, tetapi pengontrol
yang hebat. Sifat ambisiku yang sebelumnya sudah ku bilang, terkadang membuatku
mengambil keputusan yang beresiko mendapatkan pertentangan dari pihak-pihak
tertentu.
“An. Aku percaya, niatmu
baik membangun kerukunan antar umat beragama. Tapi lihatlah, banyak keputusan
dalam hidupnya yang berbeda dengan lainnya, dan mereka masih belum menerima
itu. Tidakkah lebih baik kegiatan ini tidak perlu diumbar? Yakinlah, permata
akan tetap menjadi permata walau berada dalam lumpur. Suatu saat orang akan
menemukannya,” ucapnya.
Benar saja, kegiatan
komunitasku yang bekerjasama dengan jaringan Gusdurian, tidak tampil di media
cetak atau online, tetapi aku mendapat apresiasi dari orang yang tak ku kenal
menghampiriku di Bandara Soetta.
“Kegiatan kemarin bagus
mbak. Jangan pernah berhenti ya menebarkan kasih,” ucap seorang ibu-ibu yang
mengenakan kalung Salib. Aku menyadari satu hal, bahwa hari ini orang tak hanya
mudah menyebarkan hoaks, melainkan kebaikan juga. Grup whatsapp yang pasti
dimiliki setiap orang membuat penyebaran informasi tak bisa dibatasi. Billy
benar, manfaatnya apa viral kalau malah menuai masalah?
Mengenal Billy tak
semudah mengenal pria-pria lainnya. Billy tetaplah sosok yang susah ditebak
prilaku dan pemikirannya. Persis keputusannya waktu itu untuk resign dari
proyek kerjasama dengan komunitas dakwah. Secara mengejutkan dia mengambil
keputusan untuk mengakhiri kontrak kerjanya dengan komunitas tersebut. Biasanya
dia meminta pertimbanganku untuk masalah apa pun. Ketika ditanya dia selalu
menghindar. Rasa penasaranku tak tertahankan, sehingga aku mengulik informasi
dari orang terdekatnya di komunitas.
“Ada desakan dari
komunitas bahwa siapa pun yang terlibat dalam proyek dakwah diwajibkan
berbusana muslim, termasuk pasangannya. Sedangkan kamu kan tidak berhijab An,”
begitulah penjelasan teman dekatnya Billy.
Informasi itu cukup jelas
bahwa Billy lebih memilih aku dibandingkan pekerjaannya. Aku tahu dia tak ingin
aku kecewa jika mendengar kabar tersebut. Apalagi pekerjaan itu lumayan
gajinya. Bagi Billy bukan masalah besar menghentikan kontrak kerja tersebut.
Bahkan ketika aku konfirmasi langsung ke orangnya, Billy menjawab ini.
“Betul, aku melakukannya
karena kamu. Karena tak boleh siapa pun merendahkan martabatmu. Tapi satu hal
yang kamu harus tahu, aku akan memperjuangkan untuk untuk sebuah prinsip bahwa
setiap orang berhak memilih jalan hidupnya. Manusia itu merdeka, kamu pun
merdeka,” jelasnya.
Aku semakin
mengangguminya. Tak ada kata lain yang mewakili perasaanku bahwa mencintainya
adalah candu. Banyak hal dalam konsep hidupku berubah karenanya bahwa uang
bukan lagi segalanya. Banyak hal dalam hidup tak selalu tentang uang yang kita
miliki, tetapi sejauh mana hidup kita memiliki arti.
Waah keren bgt dah
BalasHapusTerima kasih....
HapusWaaah kereeen
BalasHapusSepakat dengan cerita ini. Sebagai pasangan memang harus saling melengkapi. Ditunggu cerita selanjutnya..
BalasHapus