Langsung ke konten utama

Mencintaimu Candu


Benar kata orang, melalui pernikahan kita justru mengenal lebih banyak hal tentang pasangan kita. Ku mengira sudah mengenal Billy secara dalam, tapi justru itu baru luarnya saja. Ada hal-hal kecil yang baru aku ketahui pasca menikah. Hal yang tak pernah ku pikirkan, ternyata Billy setiap bangun tidur pasti bergegas ke balkon, berdiam sejenak untuk menikmati udara pagi. Hal yang ku kagumi adalah, ia berucap syukur pada Tuhan atas nikmat bangun tidur. Terkadang aku tertawa geli ketika ia masih belum terbiasa menghilangkan gerakan tangan berbentuk Salib. Aku paham, tidak mudah bagi siapa pun merubah kebiasaan yang sudah dianut sejak kecil. Selepas itu Billy kemudian berucap istighfar.

“Apa indahnya kamu berdiri di sini?” aku menghampiri Billy yang terdiam di balkon.

“An, bangun tidur adalah anugerah yang setiap hari perlu disyukuri. Terlihatnya sama saja, tapi setiap aku berdiam diri, posisi awan tak pernah sama. Tidak setiap pagi pun ada burung berkicau dan kupu-kupu terbang. Kamu tahu, setiap hari pun kita menghadapi masalah yang berbeda. Ini momenku untuk merenungkan semua dan bersyukur atas hidup yang dikasih Tuhan,” ujarnya.

Aku menyimaknya dengan penuh haru. Ia begitu mempesona dengan ucapannya. Sayangnya, aku tak bisa setiap hari menemani dia di balkon. Lebih seringnya aku meninggalkan Billy ke luar kota karena pekerjaan. Billy pun sebenarnya tak selalu ada di balkon rumah kita setiap pagi, pekerjaan dia juga sering membawanya ke luar kota. Hanya saja kebiasaan Billy tetap bisa dilakukan di hotel tempatnya menginap. Billy pernah mengirimkan fotonya bersantai di balkon.

Memiliki Billy adalah berkah. Aku yang hidup dalam ambisi besar,terkadang diimbangi dengan sikap Billy yang santai, lebih ingin menikmati karunia yang diterima hari ini. Sehingga ada satu momen aku harus lebih santai menggapai apa yang aku mau, rumah megah misalnya, Billy tak menolak untuk memiliki rumah megah. Dia hanya ingin aku berfikir manfaat apa yang bisa didapatkan dengan memiliki rumah megah. Hal itulah yang akhirnya membuat kami menampung kerabat kita yang membutuhkan tempat singgah sementara dalam membangun karir atau pendidikan. Keputusan itu sangat menyenangkan, karena rumah kami yang megah terwujud bisa dinikmati kerabat aku dan Billy. Setidaknya di rumah ada 7 sepupu dan ponakan yang tinggal. Rata-rata mereka masih kuliah. Billy tak pernah keberatan ketika uang kami habis untuk keperluan mereka. Kadang membantu uang kuliah, atau uang jajan yang terkadang telat dikirimkan orang tua mereka.

“An, kamu nangis?” Billy mendekap tubuhku.

“Terima kasih ya,” ucapku padanya.

Aku menangis karena haru. Nina, salah satu sepupuku bersedih karena batas akhir pembayaran uang semester tinggal besok, sedangkan orangtuanya belum bisa mengirimkan uang. Hari ini dia berniat akan mengajukan cuti kuliah. Sialnya, kebutuhanku lagi banyak-banyaknya. Belum ada transferan uang dari klien yang meminta jasaku. Aku tahu Billy pun uangnya sedang menipis, bahkan terhitung tidak cukup sampai akhir bulan. Tapi dia bersedia membantu sepupuku.

“Kenapa kita khawatir besok tidak makan, kalau sore nanti pun Allah dengan mudah meminta kita kembali,” ucapnya.

Pemahaman agama Billy berkembang begitu cepat. Namun ia tak pernah tampil seperti orang-orang yang ‘mabuk agama’ dengan mudah sekali menasehati orang yang bahkan baru ditemuinya. Billy lebih sibuk menambah ilmu dibandingkan merubah penampilan tertentu. Bahkan untuk satu hal yang selama ini belum bisa aku lakukan; memakai kerudung, Billy tak pernah berkomentar. Hanya saja aku teringat satu momen, ketika aku dan dia dalam proyek komunitas, aku tidak dijadwalkan mengunjungi sebuah pesantren. Namun panitia mengatakan bahwa tokoh agama setempat ingin bertemu dengan aku. Maka taka da pilihan selain datang untuk menghormati undangannya. Billy paham apa yang aku gelisahkan.

“Kamu tenang An. Suamimu ini siaga kok,” ucapnya sambil membentangkan kain berbahan tenun yang pas digunakan sebagai penutup kepala.

Aku cukup terkejut dengan tindakannya. Namun apa yang dilakukan itu berbuah manis. Sesampainya di pesantren, sang ulama sampai mengomentari kerudung yang ku kenakan.

“Bu, lihatlah. Jenengan tidak salah beli, nak Anna saja pakai loh,” ucap beliau ke istrinya, bu nyai Aminah.

Berawal dari itulah Kiyai Badrun menjadi lebih cair dari sebelumnya. Dia menanyakan banyak hal tentang program yang sedang ku jalankan, termasuk pendidikan untuk kelompok santri. Ke depan, kami akan saling bekerjasama untuk mengenalkan Islam yang moderat di Indonesia, tak terkecuali kesempatan sampai ke mancanegara melalui jaringan yang dimiliki Billy.

Begitulah Billy yang selalu membuatku candu. Dia menjadi lelaki pertama yang kini mendukung setiap langkahku. Untuk banyak hal, dia tidak hanya menjadi pembela, tetapi pengontrol yang hebat. Sifat ambisiku yang sebelumnya sudah ku bilang, terkadang membuatku mengambil keputusan yang beresiko mendapatkan pertentangan dari pihak-pihak tertentu.

“An. Aku percaya, niatmu baik membangun kerukunan antar umat beragama. Tapi lihatlah, banyak keputusan dalam hidupnya yang berbeda dengan lainnya, dan mereka masih belum menerima itu. Tidakkah lebih baik kegiatan ini tidak perlu diumbar? Yakinlah, permata akan tetap menjadi permata walau berada dalam lumpur. Suatu saat orang akan menemukannya,” ucapnya.

Benar saja, kegiatan komunitasku yang bekerjasama dengan jaringan Gusdurian, tidak tampil di media cetak atau online, tetapi aku mendapat apresiasi dari orang yang tak ku kenal menghampiriku di Bandara Soetta.

“Kegiatan kemarin bagus mbak. Jangan pernah berhenti ya menebarkan kasih,” ucap seorang ibu-ibu yang mengenakan kalung Salib. Aku menyadari satu hal, bahwa hari ini orang tak hanya mudah menyebarkan hoaks, melainkan kebaikan juga. Grup whatsapp yang pasti dimiliki setiap orang membuat penyebaran informasi tak bisa dibatasi. Billy benar, manfaatnya apa viral kalau malah menuai masalah?

Mengenal Billy tak semudah mengenal pria-pria lainnya. Billy tetaplah sosok yang susah ditebak prilaku dan pemikirannya. Persis keputusannya waktu itu untuk resign dari proyek kerjasama dengan komunitas dakwah. Secara mengejutkan dia mengambil keputusan untuk mengakhiri kontrak kerjanya dengan komunitas tersebut. Biasanya dia meminta pertimbanganku untuk masalah apa pun. Ketika ditanya dia selalu menghindar. Rasa penasaranku tak tertahankan, sehingga aku mengulik informasi dari orang terdekatnya di komunitas.

“Ada desakan dari komunitas bahwa siapa pun yang terlibat dalam proyek dakwah diwajibkan berbusana muslim, termasuk pasangannya. Sedangkan kamu kan tidak berhijab An,” begitulah penjelasan teman dekatnya Billy.

Informasi itu cukup jelas bahwa Billy lebih memilih aku dibandingkan pekerjaannya. Aku tahu dia tak ingin aku kecewa jika mendengar kabar tersebut. Apalagi pekerjaan itu lumayan gajinya. Bagi Billy bukan masalah besar menghentikan kontrak kerja tersebut. Bahkan ketika aku konfirmasi langsung ke orangnya, Billy menjawab ini.

“Betul, aku melakukannya karena kamu. Karena tak boleh siapa pun merendahkan martabatmu. Tapi satu hal yang kamu harus tahu, aku akan memperjuangkan untuk untuk sebuah prinsip bahwa setiap orang berhak memilih jalan hidupnya. Manusia itu merdeka, kamu pun merdeka,” jelasnya.

Aku semakin mengangguminya. Tak ada kata lain yang mewakili perasaanku bahwa mencintainya adalah candu. Banyak hal dalam konsep hidupku berubah karenanya bahwa uang bukan lagi segalanya. Banyak hal dalam hidup tak selalu tentang uang yang kita miliki, tetapi sejauh mana hidup kita memiliki arti.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Singgah

Usai membahas tentang Pare. Amir kali ini menceritakan tentang kehidupannya di Plantinum Camp. Sebuah asrama yang berfungsi untuk tinggal sementara para pelajar bahasa Inggris. Ada beberapa aturan ketat yang perlu dipatuhi oleh penghuni. Salah satunya, wajib menggunakan bahasa inggris selama berada di lingkungan asrama. Oh iya, pemimpin Asrama adalah Mister Gio. Dia juga seorang pengajar di lembaga kursus Platinum. Namun, selama Amir tinggal di asrama tersebut, lebih banyak waktu yang dipilihnya untuk belajar di lembaga lain. Satu kamar berisi antara 4 hingga 6 orang. Kalau sedang musim libur sekolah, bisa lebih dari itu. Nah, di awal masuk, kondisi kamar masih normal. Selang dua minggu kemudian, datanglah rombongan anak SMP dan SMA yang memilih liburannya dengan belajar bahasa Inggris. Jadilah, kamar yang awalnya diisi 4 orang bertambah. Tapi bukan masalah besar. Justru ada perasaan senang karena tambah teman. Suasana keakraban di Platinum Camp selayaknya rumah. Walaupun baru kenal,

Waktu Bersamamu

Ilustrasi Copyright : Evan S. Aku berjalan penuh semangat menuju ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta Terminal III. Aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya, menjemput Oma yang ingin merayakan Natal di Jakarta. Ku lihat ornamen natal sudah mulai menghiasi sudut-sudut Bandara. Pemandangan ini memang sudah biasa aku lihat di ruang-ruang publik. Aku bersyukur tinggal di Indonesia, karena walaupun agama yang aku anut adalah minoritas, tetapi mendapatkan sikap baik dari negara dan masyarakat lainnya. Jujur, masih banyak kasus diskriminasi di daerah lain terkait susahnya mendirikan Gereja. Aku pikir itu hanya masalah waktu, kita semua pada akhirnya akan saling dewasa menyikapi perbedaan. Mengingat masalah sikap dewasa terhadap perbedaan, aku jadi teringat seseorang. Dia pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, keluargaku, dan khususnya bagi Kak Tania. Sudah lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Oh, aku salah. Bahkan dia tak pernah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.

Misi Rahasia Din Part 5

Masuk UKM Teater menjadi pilihanku. Dunia yang sudah aku impikan sejak SMA, hanya saja di sekolahku tak ada kegiatan ekstra tersebut. Kalau mengikuti kegiatan di luar sekolah seperti kelompok seni di Taman Ismail Marzuki, tentu biasanya lebih mahal. Makanya dulu aku biasa membuat drama sendiri di kamar. Eh tidak juga, kegiatan 17 Agustus, aku turut berpartisipasi membuat opera bersama teman-teman Karang Taruna. Lita, panggil saja aku Lit. Kalian yang sudah baca cerita sebelumnya, pasti tahu bahwa aku temannya Lisa. Kami memang tak terpisahkan. Hampir semua perkuliahan kami sekelas. Hanya saja ketika kami memutuskan masuk UKM yang berbeda, mulailah susah menyempatkan waktu untuk jalan berdua. “Ini kita belum pada punya cowok loh Lit.” Begitulah Lisa menyindirku dengan waktu yang mulai menyita kebersamaan kita. “Tenang kok, aku gak bakal lupa sama teman sebaik kamu.” Ucapku memberikan dia jaminan. “Janji ya?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Ih, kayak bocah pakai b